Langgeng dan Hancurnya Peradaban

Langgeng dan Hancurnya Peradaban

Langgeng dan Hancurnya Peradaban
(Ilustrasi) Mehmed II dan pasukannya. (Foto: hariansejarah.id)

Suaramuslim.net – Sebuah peradaban tidak lepas dari prinsip dan gaya hidup masyarakatnya. Ketika masyarakatnya bergaya hidup sederhana dan menjaga kehormatan, maka masyarakat itu bisa bertahan dan langgeng. Bahkan di mata bangsa lain, masyarakat seperti ini sangat berwibawa dan disegani karena sulit untuk dipermainkan atau diperjualbelikan. Sebaliknya ketika prinsip hidupnya foya-foya dan menghalalkan segala cara maka akan secepat kilat masyarakat itu akan musnah. Secara perlahan, anggota masyarakatnya mudah diperalat dan rawan dipecah belah, sehingga antar kelompok masyarakat mudah sekali dibeli dan dipermainkan oleh bangsa lain.

Belajar dari Peradaban Islam

Fenomena kuatnya peradaban dan tingginya kehormatan benar-benar dirasakan oleh para sahabat Nabi. Sebelum kedatangan Islam, mereka tahu betul bahwa bangsanya demikian rendah di mata bangsa Romawi. Orang-orang Arab secara berkala mendatangi bangsa Romawi untuk menerima suatu pemberian. Setelah menerima pemberian dari raja Romawi, maka mereka langsung pulang dengan perasaan senang. Hal ini berlangsung ratusan tahun, sehingga dunia mengenal bahwa bangsa Arab dianggap sebagai budaknya bangsa Romawi.

Ketika Islam datang dan para sahabat melakukan ekspansi ke negeri Romawi. Salah seorang panglima Islam menghadap ke Raja Romawi untuk menyampaikan sesuatu. Raja Romawi secara spontan memberikan sesuatu kepada panglima yang datang. Dengan serta merta pemberian itu ditolak, dan menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk menyampaikan kalimat tauhid atau berperang. Otomatis pemandangan ini sangat mengherankan Raja Romawi, karena terjadi perbedaan yang kontras antara bangsa Arab yang dulu dengan bangsa Arab dihadapinya saat itu.

Keberanian panglima Islam saat itu tidak lepas dari prinsip hidup “Hidup mulia atau mati syahid.” Dari dahulu, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang tidak memiliki sumber daya alam yang cukup untuk menghidupi anggota masyarakatnya. Sehingga anggota masyarakatnya rela mengadakan perjalanan yang jauh untuk mendapatkan sesuatu dari raja Romawi. Tradisi ini berhenti ketika Islam datang. Islam tidak memberi iming-iming duniawi dan kehidupan mapan, tetapi menanamkan prinsip hidup sederhana dengan memelihara kehormatan.

Keberhasilan Nabi dalam menanamkan hidup sederhana dan memelihara kehormatan benar-benar dijalankan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab ketika menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Islam benar-benar disegani dan dipandang mulia oleh masyarakat manapun. Bahkan Islam benar-benar dikagumi dan disegani serta dipercaya sebagai peradaban yang mampu memberikan harapan hidup yang tinggi. Hal inilah yang membuat Islam demikian mudah diterima, tanpa harus melalui peperangan fisik.

Budaya Permisif dan Hancurnya Peradaban

Begitu era kepemimpinan Utsman bin Affan yang berlanjut pada Ali bin Abi Thalib, kondisi umat Islam telah berubah. Berbagai kemenangan dari upaya penaklukan mendatangkan kekayaan (ghanimah) yang demikian besar. Kemakmuran sudah mulai dirasakan kaum muslimin, sehingga hidup mewah dan boros mulai menjadi gaya hidup. Inilah awal mula terjadinya perpecahan yang berujung pada konflik dan perang internal, dan musuh mudah mengadu domba dan mempermainkan untuk menghancurkan Islam.

Kehancuran peradaban Islam, yang disebabkan oleh kemewahan dan gaya hidup hedonis ini, mengingatkan kita pada sabda Nabi yang disampaikan oleh Ubadah bin Shamit, seorang sahabat Nabi, yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila Allah menghendaki kelestarian atau kemakmuran suatu kaum, maka Dia memberi rezeki berupa sifat ekonomis dan memelihara kehormatan. Dan apabila Dia menghendaki perpecahan suatu kaum, maka Dia membukakan bagi mereka atau dibukakan untuk mereka pintu khianat.”

Realitas perpecahan dan konflik berakar dari gaya hidup mewah yang ingin menikmati memaksimalkan kenyamanan hidup. Menikmati hidup dan mencintainya secara maksimal mendorong orang untuk menghalalkan. Khianat merupakan pintu masuk terjadi kekacauan, karena dia merusak tatanan sosial yang sudah mapan. Ketika masyarakat sudah jujur dan amanah, maka pasti akan muncul kekacauan ketika sebagian anggota masyarakat melakukan kecurangan dan pengkhianatan.

Realitas ini bisa disandarkan pada apa yang digambarkan oleh Ibnu Katsir ketika menjelaskan QS Al-An’am ayat 44 “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”

Ketika sebagian besar masyarakat bersifat permisif terhadap apapun yang membuat mereka sedang dan bergembira, maka itu awal kehancuran sebuah peradaban. Setiap anggota masyarakat membenarkan segala sesuatu yang diyakini akan mendatangkan kesenangan dan memenuhi kepentingannya.

Fakta inilah yang bisa menjelaskan mengapa Indonesia yang memiliki kekayaan dan sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi pendidikan yang cukup baik, tetapi sebagian besar masyarakatnya berada pada garis kemiskinan yang akut. Bahkan kalangan terdidik, birokrat, dan pemuka masyarakatnya menjadi tak berdaya dan harus menerima kenyataan sebagai pembenar dan suruhan orang asing. Kondisi ini menjadikan sebagian besar masyarakat hidup tertekan dan menderita serta takut hidup di tengah kekayaan alamnya yang melimpah ruah.

*Ditulis di Surabaya, 30 Nopember 2018

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment