Suaramuslim.net – Politik etis itu membawa racun Kristen, demikian kesimpulan Natsir muda yang dikutip Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah.
M. Natsir adalah saksi sejarah akan racun Kristen tersebut, yakni ketika tanggal 5 dan 12 September 1928, Algemere Midlebare School (AMS), sekolah setara SMA tempat Natsir muda menuntut ilmu, kedatangan tamu pendeta A.C. Christoffels.
Di hadapan murid-murid AMS, pendeta senior tersebut berceramah dengan mengangkat tema ‘Muhammad als Profeet’ (Muhammad sebagai Nabi).
Tidak ada yang salah dalam judul tersebut, tapi dalam uraiannya, sang pendeta mengatakan bahwa Muhammad tak lebih hanya sebagai jalan pembuka bagi kebenaran Kristus yang sebenarnya.
Dr. Christoffels juga menghina Nabi Muhammad dengan menyebutnya sebagai sosok yang memiliki nafsu syahwat yang besar. Tidak cukup diceramahkan, rangkuman pidato Christoffels juga disebarkan lewat surat kabar berbahasa Belanda, Algemeen Indisch Dagblad (AID).
Tulisan dibalas dengan tulisan
Atas saran A. Hasan, sosok yang dijadikan guru di bidang agama oleh Natsir, ia diminta mengirimkan artikel bantahan dengan menggunakan bahasa Belanda. Pak Natsir kemudian menulis artikel bantahan dengan judul yang sama dengan pidato Christoffels, ‘Muhammad als Profeet’ (Muhammad sebagai Nabi) dan ‘Al-Qur’an en Evangelie’ (Al-Qur’an dan Injil).
Jawaban Natsir yang waktu itu berusia 18 tahun, atas pidato pendeta Cristoffels ini dibantah oleh sang pendeta dalam edisi selanjutnya. Natsir kembali membuat bantahan yang kedua, tapi sayang, kali itu Algemeen Indisch Dagblad tak berkenan memuatnya.
Natsir muda berhasil menunjukkan bahwa Christoffels tidak menguasai materi yang dibicarakannya, seperti mengatakan bahwa Ali adalah anak Nabi Muhammad, Nabi mengambil istri Ali. Bahwa fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah, haditsul ifk, terjadi sebelum pernikahannya dengan Nabi.
Muhammad Natsir juga menunjukkan kekeliruan Christoffels yang mengatakan bahwa Rasulullah Muhammad ikut berhijrah ke Abessinia.
Tuduhan Christoffels bahwa isi Al-Qur’an hanya campuran salinan dari Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ditambah dengan pendapat Muhammad sendiri juga dibantah Natsir dengan menyajikan sejarah turunnya wahyu dan penghimpunan Al-Qur’an.
Lemahnya pendapat Christoffels ini nampak dalam paragraf terakhir Natsir dalam artikel bantahannya, yang menampakkan kepercayaan diri yang tinggi dari kaum muslimin.
Untuk itu, Natsir muda bahkan melontarkan tantangan terbuka,
Selanjutnya, kami yang beragama Islam, tidak mempunyai alasan untuk merasa kehilangan keseimbangan setelah menerima serangan-serangan seperti itu. Malahan sebaliknya, kami berhasrat sekali untuk dapat berhadapan langsung dengan para pendeta, penyebar agama atau Doktor Theologi, yang ingin mengikuti langkah pendeta Christoffels, yaitu “menyoroti Islam dengan fakta-fakta”, secara “ilmiah” atau “falsafiah”, dengan “obyektif” serta “tanpa prasangka”, seperti yang mereka bangga-banggakan selama ini.
Semakin gencar serangan yang datang, semakin banyak kesalahfahaman dan kekeliruan yang dapat disingkirkan dan akan semakin bertambah terang benderang seluruh kebenaran dan keindahan yang ada dalam Islam.
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tiada membenarkannya. Ia menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang yang ingkar tidak menyukainya (Q.S. At-Taubah: 32). Kaum Muslimin, mari bela Islam, kebenaran pasti menang.
Natsir melihat, gencarnya aksi Missi dan Zending bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah gerak yang terencana dan terorganisasi secara rapi. Tidak begitu lama dari ceramah Pendeta Protestan Christoffels yang menghebohkan itu, seorang Pastor Jesuit di Muntilan yang bernama Jan Ten Berge, pada bulan April dan Juni 1931 menerbitkan dua artikel tentang Al-Qur’an dalam jurnal Studien yang dipublikasikan di Belanda. Pada akhir artikel kedua terdapat kata-kata sarkastik yang penuh kedengkian.
“Seorang dapat memahami bahwa menurut Muhammad, pemahaman umat Kristen tentang ayah, ibu dan anak ada dalam arti seksual. Bagaimana mungkin baginya, seorang anthropomorfis, orang Arab yang bodoh, bernafsu besar dan mempunyai kebiasaan tidur dengan wanita-wanita dapat memahami suatu konsepsi yang berbeda dan lebih tinggi tentang hubungan keayahan.”
Secara satire, Natsir mengkritik sikap netral terhadap semua agama yang didengungkan pemerintah kolonial, tetapi diskriminatif dalam pelaksanaannya.
Masih belum ada jalan rupanya buat pihak kekuasaan melarang penistaan itu. Memberi nasihatpun tidak. Satu bukti yang terang dan kuat bagi kaum Muslim Indonesia, bagaimana keteguhannya pemerintah mempertahankan kenetralannya dalam segala urusan agama.
Majalah Studen yang memuat karangan Pastur Ten Berge masuk Indonesia yang berpenduduk 90% dari orang muslim. Tak ada stopan masuk, tak ada larangan sebar. Lebih dari cukup bukti yang teguh dan terang kepada orang Islam, bagaimana kuatnya kenetralan pihak kekuasaan itu dalam semua urusan agama.
Pada tanggal 7 Agustus 1931, Wiwoho Poerbohadidjojo, seorang anggota Jong Islamieten Bond menyampaikan protesnya di dalam Voksraad.
“Pelecehan publik terhadap kaum Muslim secara diam-diam didukung dan aksi-aksi protes menentang pelecehan ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima oleh pemerintah. Hal ini hanya akan memperlihatkan cara untuk kian meningkatnya pelecehan-pelecehan semacam itu, dan semestinya dipandang sebagai hal yang tidak Kristiani bahwa pemerintah dari sebuah bangsa yang Kristen menerima kelanjutan pelecehan ini. Saya sungguh-sungguh berharap agar pemerintah akan mengambil langkah guna mencegah tindakan-tindakan seperti ini terjadi lagi di masa yang akan datang.”
Secara apologetic, protes Wiwoho di Majelis Volksraad dijawab oleh Kiewiet de Jonge pada tanggal 17 Agustus 1931, yang menyatakan bahwa tidak bisa ada penindakan terhadap Ten Berge karena artikel tersebut diterbitkan di Belanda.
Artikel tersebut sebenarnya lebih pada sikap pembelaan terhadap agama Kristen, meski menurutnya ada kata-kata yang memang tidak patut sehingga menyebabkan ketersinggungan umat Islam.
Pelecehan agama Islam
Namun ternyata, protes-protes yang dilakukan oleh umat Islam secara damai itu tidak menyurutkan gerakan misi dan zending. Berbagai pelcehan terhadap agama Islam terus dilakukan, bukan hanya melalui tulisan yang berkedok ilmiah akan tetapi juga melalui tindakan yang di luar nalar sehat umat beragama.
Pada tahun 1938, di Pesako Sulawesi Utara, pasukan Bala Keselamatan masuk ke dalam masjid dengan memakai sepatu dan alat-alat musik. Mereka kemudian memperdengarkan lagu-lagu Kristen di dalam masjid.
Di Solo, buku-buku Kristen yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab Pegon disebarkan gratis di Masjid Mangkunegaran ketika umat Islam sedang melaksanakan salat Jumat. Di Tasikmalaya, seekor anjing dibawa masuk ke mushalla.
Di Manado, seorang opsir Bala Keselamatan, Ernst Brand, pada tanggal 13 April 1938 dengan terang-terangan menghina Nabi Muhammad SAW di depan umum. Dia mengatakan:
“Muhammad seorang miskin dan penggembala. Ia menikah dengan Khadijah janda kaya dan menghabiskan hartanya. Muhammad mempunyai 14 istri, perampas istri orang dan menuruti hawa nafsunya. Mana bisa kesucian dari orang begitu. Siapa saja yang tidak mengikuti agamanya, ditusuknya dengan pedang terhunus.”
Wiwoho, perwakilan Jong Islamitien Bond di Volksraad menyebut rangkaian pelecehan dan penghinaan ini sebagai sebuah tindakan yang brutal.
“Keberanian propagandis-propagandis dari orang-orang yang beragama lain (maksudnya Kristen) di negeri Islam ini lama kelamaan berubah menjadi kebrutalan atau tidak tahu malu. Perkataan yang lebih halus tidak bisa lagi saya pakai,” tegas Wiwoho.
Gerakan massif Zending dan Misi Kristen, menggerakkan Natsir untuk menulis artikel dengan judul tulisan “Kristen di Belakang Pemerintah” (1930) yang diterbitkan oleh Pembela Islam No. 30 halaman 16 s/d 18.
Tulisan ini merupakan reaksi akan gambaran Volksraad (Dewan Pemerintah) bahwa orang Kristen Indonesia akan berdiri di belakang pemerintah yang beragama Kristen. Hal ini ditangkap oleh M. Natsir dari keterangan yang disampaikan oleh Notosusastro (Indonesier Kristen). Karena itu berdirinya partai baru (Partiy Masehi Indonesia) akan mengokohkan satu bangsa yang beragama Kristen.
Natsir tidak berhenti menulis untuk menanggapi gerakan Zending dan Misi yang pada waktu itu berjalan terbuka. Tulisan-tulisan Pak Natsir mengenai ketegangan relasi Islam dan Kristen dapat terlihat dalam buku M. Natsir, “Islam dan Kristen di Indonesia”.
Buku tersebut merupakan kumpulan karangan Natsir dalam Panji Islam dan Pembela Islam selama lebih kurang empat puluh tahun, sejak tahun 1930 hingga 1969.