Mampukah Jokowi Melawan Mega-Mafia?

Mampukah Jokowi Melawan Mega-Mafia?

Mampukah Jokowi Melawan Mega-Mafia
Area pembangunan gedung-gedung apartemen di kawasan Meikarta. (Foto: Tempo.co)

Suaramuslim.net – Seingat saya, istilah mafia, sebagai kelompok manusia pencoleng yang berhimpun dalam sebuah jaringan atau organisasi kejahatan untuk memeras pengusaha atau pebisnis kaya, atau menjadi debt collector bank-bank gelap, atau untuk melindungi bisnis ilegal seperti pembalakan hutan, perjudian, pelacuran, bisnis narkotika dll mulai dikenal oleh masyarakat luas sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an.

Kini, mafia di Indonesia semakin berkembang dan siapa tahu lebih berhasil dan lebih perkasa dibandingkan mafia Sicilia atau Italia tempat mafia berasal. Bila kita lihat bagaimana Pemerintah Indonesia sejak dari Pak Harto sampai Jokowi sekarang cenderung kewalahan menghadapi mafia Indonesia, bisa­-bisa mafia Indonesia semakin menakutkan, seperti Yakuza di Jepang, Triad di Tiongkok, Bratva di Russia, dan para gangster mafia di Italia sendiri.

Rakyat Sengsara Karena Ulah Mafia

Saya melihat ada 3 tingkatan mafia di Indonesia.

Pertama yang ecek­-ecek, mafia kecil­-kecilan yang ada di pasar, stasiun, tempat parkir.

Kedua, mafia tingkat menengah, di tingkat kota, kabupaten dan provinsi. Kerja mereka khas, memalak berbagai pabrik, toko, restoran, bank-bank swasta, tempat perjudian, tempat hiburan, hotel mesum, dsb. Pada level menengah ini seringkali ada oknum aparat keamanan yang keblinger menjadi bagian dari mafia itu.

Ketiga adalah super mafia, yang menghimpun diri dalam jaringan kuat, bahkan dapat berbentuk kartel dan merambah sangat banyak bidang kehidupan bangsa. Misalnya kita mengetahui ada mafia gula, mafia     beras, mafia garam, mafia daging, mafia cabe, mafia kedelai, mafia judi, mafia obat­-obatan, mafia narkotika, mafia pelacuran, mafia perdagangan anak, mafia perpajakan, mafia pertambangan, mafia kehutanan, sampai mafia pengaturan skor sepak bola.

Semua kegiatan mafia di atas membuat kehidupan bangsa kita lebih sengsara, karena misalnya harga ekonomi sebuah komoditas 7X rupiah,     tetapi karena  intervensi mafia menjadikan harganya di pasar 10X rupiah. 3X rupiah ini dinikmati oleh para mafioso dan pejabat­-pejabat serta aparat brengsek untuk kerugian rakyat banyak.

Mafia di tingkat nasional ini sulit diberantas karena para pejabat dan aparat brengsek itu tidak mungkin akan mengadili diri sendiri. Di samping berbagai mafia itu ada sebuah mafia lagi yang membuat penegakan hukum di negara kita menjadi sandiwara yakni mafia hukum.

Mafia Hukum

Presiden SBY pernah mencoba memberantas mafia hukum yang waktu itu (2009) dianggap sudah keterlaluan. SBY menerbitkan Keppres No. 37 Tahun 2009 tentang Satgas PMH (Satgas Pemberantasan Mafia Hukum). Tidak tanggung-tanggung, satgas PMH ini bekerjasama dengan MA, MK, BPK, KY, Komisi Ombudsman, Polri, Kejagung, KPK, Komisi Kepolisian Nasional, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan PPATK.

Dua tahun kemudian, Satgas PMH yang sempat menimbulkan harapan besar dari masyarakat, dinyatakan tidak diteruskan keberadaannya. Dibubarkan. Sudah tentu para kriminal yang bergabung dalam mafia hukum itu bergembira melihat kekuatan mereka lebih besar dan lebih menentukan daripada pemerintah. Bisa dimengerti bila 6 tahun kemudian di zaman Jokowi keperkasaan mafia semakin sulit dibendung.

Saya berpendapat di zaman Jokowi muncul jenis mafia baru yang lebih ampuh dari pada Yakuza (Jepang) atau Triad (Tiongkok), walaupun di mata publik mereka tidak seburuk atau sekejam mafia konvensional. Mereka itu pejabat­-pejabat tinggi yang berada di pusat kekuasaan. Jangan lupa, skala korupsi selalu berkorelasi dengan tingkat kekuasaan. Korupsi di tingkat Rukun Tetangga atau Rukun Kampung adalah terendah dan korupsi di sekitar istana pasti tertinggi. Tidak bisa tidak. Karena itu para pejabat tinggi itu kita sebut super mafia.

Mega-Mafia

Dewasa ini, setelah sekitar 30 tahun umat manusia hanyut dibawa arus globalisasi, penguasa puncak dunia bukan lagi satu atau dua negara, satu atau dua kerjasama regional tertentu, tetapi penguasa sesungguhnya adalah para korporatokrat yang bermental dan bergaya hidup seperti mafia.

Korporasi yang berjumlah puluhan, mungkin menjadi ratusan bila yang berkaliber sedang ikut kita masukkan, merupakan kekuatan ekonomi yang paling perkasa. Mereka mengidap profit pathology. Karena siang malam pikiran mereka hanyalah keuntungan belaka dengan segala macam jalan.

Seperti diakui oleh mantan tukang pukul ekonomi perusahaan-perusahaan besar di Amerika, John Perkins, kebanyakan korporasi yang menguasai eksploitasi sumber daya alam di planet bumi kita menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya, lewat antara lain laporan keuangan palsu, pemilu yang curang, sogokan, pemerasan, seks dan pembunuhan (fraudulent financial report, rigged election, payoffs, extortion, sex and murder). Karena kegiatan mereka hampir sama dengan para mafia hanya saja skala proyek mereka secara raksasa, maka hakikatnya mereka adalah mega mafia atau super mafia.

Kelakuan para mega mafia itu pertama kali mengguncang publik internasional ketika pada awal 1970-an Lockheed Aicraft Corp. ketahuan menyogok tokoh-tokoh kunci di berbagai negara, supaya mereka mau membeli pesawat dan helikopter berbagai jenis produksi Lockheed. Tokoh-tokoh itu berjatuhan dan jadi bahan cemooh rakyatnya, karena ternyata menerima uang pelicin atau sogokan dari pihak Lockheed sampai jutaan dolar.

Tokoh-tokoh Partai Sosialis dan Partai Kristen Demokrat di Italia, PM Tanaka dan beberapa menterinya di Jepang, Pangeran Bernhard di Belanda, beberapa pangeran di Arab Saudi adalah korban dari mega mafia dari Lockheed.

Pada dekade 1990-an dan 2000-an, sampai sekarang, suap model Lockheed itu dilakukan oleh puluhan korporasi di Barat maupun di Timur. Nah, saya ingin mengingatkan entah ke berapa kalinya, 3 mega proyek yang didanai Tiongkok, yakni Reklamasi Teluk Jakarta, Mega Proyek Meikarta, Kereta Api Cepat Bandung-Jakarta, proyek infrastruktur dan berbagai pembangunan pelabuhan, bandara dan irigasi yang berbiaya ribuan triliun rupiah, mustahil tidak melibatkan para pejabat tinggi di rezim Jokowi.

Tiga mega proyek di atas sampai berani menggasak, mengacak-acak tanah tanpa memperoleh izin sesuai ketentuan Pemeritah Daerah Jawa Barat maupun Pemda beberapa kabupaten di Jabar, pasti ada pemberi garansi di lingkungan istana.

Kira-kira bila kita gunakan bahasa rakyat mereka menyilakan: pukul dulu, urusan belakang. Jadi teruskan membangun belasan pulau, nanti izin diurus belakang. Kadang-kadang nongol satu, dua, pejabat tinggi di televisi untuk membela beberapa mega proyek yang belum lengkap izinnya itu dengan gaya mengancam, campur marah, dan sorot mata putus asa, agar proyek jalan terus.

“Apa kata dunia nanti tentang Indonesia?” Tanyanya. Yang dimaksud “dunia” oleh oknum tesebut saya kira dunia mega mafia yang sudah mengincar untuk menguasai ekonomi Indonesia.

Sayang sekali Jokowi tidak menunjukkan dengan jelas ketidaksetujuannya dengan 3 proyek raksasa di atas. Saya tidak tahu sebabnya. Tetapi bila proyek yang menghina bangsa Indonesia itu suatu ketika dapat dibedah secara apa adanya, pertanyaanya who got how much, when and how they got it, bisa kita ketahui bersama. Insyaallah.

Pak Jokowi, mengapa Anda takut melawan mega­-mafia? Kita semua mengharapkan jangan sampai pejabat tinggi kita, apalagi yang tertinggi, ketahuan belangnya seperti Pangeran Bernhard dari Belanda atau PM Tanaka dari Jepang. Logika sehat punya dugaan, mustahil tidak ada risywah atau bribery atau sogokan yang telah digelontorkan oleh tiga proyek besar-besaran di atas, untuk para pejabat tinggi.

Dikutip dari e-book karya Prof. M. Amien Rais berjudul “Hijrah; Selamat Tinggal Revolusi Mental Selamat Datang Revolusi Moral.”

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment