Management by Heart

Management by Heart

Management by Heart (6) “Level of Leadership”
Ilustrasi Prof. Joni Hermana. (Ils: Suaramuslim.net/Rian Oktanto)

Suaramuslim.net – Ketika mengakhiri jabatan Rektor ITS 2015-2019 bulan April 2019 yang lalu, saya menyelenggarakan kuliah penutup sebagai salah satu bentuk akuntabilitas publik atas amanah yang saya telah jalani, dengan judul “Management by Heart”. Kuliah penutup yang dihadiri oleh tidak kurang 600 orang dari kalangan internal maupun eksternal kampus ITS ini, masih menyisakan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan istilah ‘management by heart’ itu.

Terus terang, saat itu, saya tidak bisa menjelaskannya secara gamblang kecuali menjawab bahwa apa yang saya lakukan selama memimpin ITS adalah berdasarkan suara hati yang selalu membisikkan kebenaran dan tidak pernah bisa berbohong, kecuali kalau saya sendirilah yang membohonginya secara sengaja, sehingga saya seolah menjadi buta hati.

Beruntung sekali ketika seminggu kemudian saya hadir dalam sidang terbuka promosi doktor bidang Ilmu Psikologi Pendidikan Islam an. Dr. Achmad Ushuluddin di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang mempertahankankan disertasinya yang berjudul “Pendidikan Kesehatan Holisitik: Peran Ruhani dalam Perspektif Psikologi Islam”, barulah di situ saya sendiri ngeh bahwa yang dimaksud dengan istilah ‘Management by Heart’ di atas adalah menghadirkan Tuhan dalam kepemimpinan yang saya lakukan.

Meminjam pendekatan SMART Model Dr. Achmad Ushuluddin, yang menggambarkan matrix hubungan antara Sains/Imu Pengetahuan – Manusia – Ruhani – Tuhan, saya dapat menganalogikannya dengan apa yang saya terapkan saat memimpin ITS, yaitu sebagai berikut:

Agar pengetahuan, atau dalam hal ini kebijakan manajemen, yang saya terapkan jelas manfaat dan mudaratnya, maka ia harus “tunduk” kepada Tuhan.

Dalam praktiknya, ketundukan tersebut berupa termanifestasinya sifat ketuhanan pada diri saya saat berurusan dengan mahasiswa, rekan dosen, karyawan maupun stakeholders yang harus saya layani. Pendekatannya lebih mengarah kepada pendekatan relasi empati-simpati atau intersubyektif-berketuhanan yang dalam perspektif filsafat ilmu disebut sebagai relasi simetris, atau dalam bahasa awamnya relasi “kita”, bukan relasi “saya-kamu” yang lebih merupakan relasi intersubyektif.

Hal ini disebabkan karena adanya kesadaran bahwa sebagai pimpinan, saya hanya bisa merencanakan dan melaksanakannya semaksimal yang bisa dilakukan, sementara hasilnya Tuhan-lah yang menentukan. Kita berencana, Tuhan yang menentukan.

Karenanya, agar hasilnya sesuai dengan target capaian yang direncanakan, maka seluruh potensi indera yang saya miliki sebagai manusia, harus dapat menjadi cerminan sifat ruhaninya. Artinya saya harus banyak mendengarkan suara hati nurani yang baik dan benar, bukan suara hati nurani yang mengajak sebaiknya, kepada hal yang buruk dan salah.

Hal ini dapat dijaga dengan terus mewajibkan diri melakukan syariat agama yang diperintahkan Tuhan, termasuk salat, sedekah dan sebagainya. Dengan demikian sifat ruhani yang dimiliki akan terus terpelihara, yaitu sifat siddiq (berkata dan berbuat yang benar), amanah (selalu berusaha untuk menjaga kepercayaan yang diberikan), tabligh (selalu menyampaikan apa yang harus disampaikan), dan fatanah (berusaha cerdas dan bijak dalam menghadapi persoalan dan dalam memutuskan sesuatu).

Yang menjadi pertanyaan berikutnya, mungkin, bagaimana hal ini saya laksanakan dalam keseharian pada sebuah organisasi sebesar ITS? Baik, hal ini akan saya tulis dalam seri berikutnya.

Salam hangat

Joni Hermana
Rektor ITS 2015-2019

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment