Masa jabatan presiden tiga periode, pengamat: Orde Baru dengan bungkus baru

Masa jabatan presiden tiga periode, pengamat: Orde Baru dengan bungkus baru

Presiden Jokowi setelah melepas tukik-tukik bersama anak-anak Desa Griya Tegalsari, Cilacap, Jawa Tengah. Foto: Instagram Jokowi.

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan dirinya menolak usulan perpanjangan masa jabatan tiga periode. Hal itu disampaikan oleh Jokowi dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi di Istana Kepresidenan pada Rabu (15/9).

“Saya kan sudah bolak-balik menjawab, mau jawab apa lagi?” ujarnya.

Wacana mengubah masa jabatan presiden menjadi maksimal tiga periode kembali menjadi perbincangan beberapa waktu akhir setelah munculnya komunitas Jokowi-Prabowo (Jok-Pro) yang menginginkan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto berpasangan dalam Pilpres 2024.

Dengan demikian, dibutuhkan amandemen atau perubahan UU untuk mengubah ketentuan mengenai masa jabatan tersebut, misalnya menjadi maksimal tiga periode.

Bustomi, Direktur Intrapols, dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 FM pada Kamis (24/9/21) berpendapat potensi terwujudnya presiden tiga periode ini besar, dilihat dari komposisi di MPR yang terdapat 81% lebih suara dari pro pemerintah.

“Sangat mungkin tiga periode ini terjadi jika pihak yang berwenang menyetujui. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, mengapa guru besar ilmu politik seperti Amien Rais tiba-tiba memunculkan ide ini? Seharusnya kalau tiga periode dari zaman pemerintah SBY juga bisa,” ujar Bustomi.

Menurut Bustomi, faktor dan indikator kemungkinan kuat terwujudnya rencana ini bisa dilihat dari kekuatan politik dan perilaku aktor politiknya.

“Kekuatan politik di parlemen yang lebih dari 81% menjadi salah satu indikator kemungkinan terwujudnya wacana ini. Kemudian, perilaku aktor politik dalam konteks ini adalah Presiden Jokowi sendiri,” jelas Bustomi.

Ia menilai bahwa ketika Presiden Jokowi memberikan pernyataan penting, justru yang terjadi malah sebaliknya dan tidak sesuai dengan ucapannya.

“Misalnya dulu waktu jadi Wali Kota Solo, dia mengatakan tidak mikir Jakarta. Ternyata malah jadi Gubernur DKI. Lalu saat jadi Gubernur DKI bilangnya gak mikir Presiden, malah jadi Presiden sampai dua periode,” terang Bustomi.

Di sisi lain, menguatkan wacana jabatan Presiden 3 periode ini dianggap melemahkan Reformasi dan mengingatkan pada masa Orde Baru.

“Kita ini benci Orde Baru tapi melakukan apa yang dilakukan Orde Baru dengan bungkus yang baru,” katanya.

Bustomi mengutip pendapat pengamat politik dari Universitas Airlangga yang menyebut bahwa di era Presiden Jokowi saat ini sudah memasuki era The New Despotism seperti di dalam buku karya John Keane. Terdapat empat indikator pelemahan demokrasi di Indonesia.

“Pertama adalah oligarki makin menguat dengan tumpukan harta kekayaan terfokus pada satu kelompok satu persen. Lalu yang kedua, menjalankan proses pembungkaman kepada oposisi melalui UU, seolah-olah taat kepada aturan, pada aturan digunakan untuk membungkam,” papar Bustomi.

Kecepatan laju informasi dan penggunaan media juga menjadi indikator karena mengacu pada pembentukan narasi oleh media. Oleh karena itu yang harus dilakukan publik adalah counter narasi.

Indikator New Despotism yang terakhir adalah pola kerja yang membelah secara sosial.

“Saat ini yang bisa kita lakukan adalah sebisa mungkin meng-counter narasi dengan benar-benar melawan dan jangan memberikan engagement narasi yang ada. Konsistensi publik melakukan penolakan dengan counter narasi itu penting,” tutupnya.

Reporter: Zulnia Azzahra
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment