Masjid Sebagai Solusi Pemerataan Ekonomi Umat

Masjid Sebagai Solusi Pemerataan Ekonomi Umat

Masjid Sebagai Solusi Pemerataan Ekonomi Umat
Jamaah Aksi 313 berdatangan dari pintu masuk masjid Istiqlal depan Stasiun Djuanda

Suaramuslim.net“Kekayaan 26 billionaire terkaya di dunia setara dengan total kekayaan 3,8 miliar populasi termiskin yang ada di bumi.”

Itulah laporan Oxfam, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus melawan kemiskinan. Organisasi ini terus menerus melakukan kajian tentang inequality, ketidakmerataan sebaran kesejahteraan.

Laporan ini diluncurkan bertepatan dengan hajatan World Economic Forum (WEF) di Davos-Swiss. Momen berkumpulnya para orang terkaya di dunia, termasuk para penguasa yang berhak mengambil kebijakan. Mereka sedang berkumpul di daerah puncak tertinggi di Swiss: Davos, berselimut salju.

Nampaknya Oxfam memang ingin membuka mata dunia, bahwa sistem ekonomi dunia tidak berpihak pada pemerataan kesejahteraan. Oxfam merilis, kekayaan para billionaire naik menjadi 900 miliar dolar, sementara di 11% kekayaan lapisan populasi miskin tercerabut pergi.

Ini merata terjadi di hampir semua negara populasi crazy rich di dunia. Di Singapura, Credit Suisse Research Institute mencatat kenaikan orang kaya Singapura menjadi 183.737 orang, atau naik 11% dari tahun sebelumnya. Bahkan Crazy Rich Singapura yang memiliki harta lebih dari 50 juta USD menjadi lebih dari 1.000 orang singapura, atau naik 1,1% dari tahun sebelumnya.

Bagaimana dengan Indonesia. Hmmm, jangan kaget dengan data ini. Kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia meningkat dari 126M USD ke 129M USD di tahun 2018. Setara hampir 1844 T Rupiah. Padahal penerimaan kekayaan negara ada pada 1900 T kurang lebih. Berarti kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini hampir setara penerimaan negara selama 1 tahun.

Ketimpangan yang dipaparkan ini adalah fakta. Para pemerhati kemiskinan berpikir keras mencari jalan keluar atas kemiskinan yang kian nampak sistemik ini. Nampaknya mekanisme pasar yang dilepas begitu saja makin memperkaya para miliuner, sementara yang miskin kembali masuk ke lubang kemiskinan, terus menerus lintas generasi.

Oxfam mendesak dinaikkannya pajak bagi orang terkaya dunia. Oxfam membuat simulasi, jika pajak terhadap orang kaya dinaikkan 0,5% saja, maka 262 juta anak di dunia bisa lanjut sekolah, dan 3,3 juta masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.

Bahkan Alexander Ocasio, Anggota DPR Amerika Serikat mengusulkan pajak 70% kepada mereka yang berpenghasilan lebih dari 10 juta USD setahun, yang semula hanya 37%. Berlebihan memang, tapi nampaknya Ocasio memang emosi melihat ketimpangan ini.

Intinya, semua berpikir tentang bagaimana mentransfer kesejahteraan yang terhimpun di kelompok tertentu, kepada lapisan populasi yang tertinggal. Kemiskinan bukan lagi masalah kurangnya karakter dan kerja keras di lapisan masyarakat bawah, tetapi memang benar-benar sistem ekonomi yang membuat ini menjadi begitu timpang. Kita akan bahas lain waktu.

Mampukah Masjid Menjadi Solusi Kemiskinan?

Saya menulis tulisan ini untuk para aktivis masjid, apa hubungannya? Apa hubungannya masjid dengan kemiskinan? Apa hubungannya masjid dengan pajak? Kan masjid tempat ibadah, apa yang masjid bisa perbuat untuk menanggulangi masalah ini?

Inilah yang menjadi titik masuk kesadaran yang ingin saya bangun. Jika ketimpangan ini terjadi secara nasional, pastilah ketimpangan ini terjadi di lokal daerah pemukiman kaum muslimin.

Sebuah masjid di perumahan kelas menengah bisa saja berbatasan dengan pemukiman kumuh yang tertinggal. Hanya selang 1 lapis tembok. Hanya berselang 1 lapis kawat. Hanya berselang 1 aliran sungai berhutan bambu. Kemiskinan itu begitu terasa.

Jika para ahli berfokus pada solusi pajak yang memaksa, mengapa kita tidak kembali pada solusi ajaran Islam: zakat, infak, wakaf.

Jika 1 negeri ini berpopulasi 260 juta penduduk, tentu tidak mudah membangun pemerataan kesejahteraan pada negeri ini. Kita berhadapan dengan angka jutaan manusia. Namun pemerataan bisa dilakukan di lingkungan masjid. Rata-rata masjid memiliki coverage 300-600 KK.

Dari 500 KK, anggap saja ada 20% yang berada di bawah garis kemiskinan sementara 10% KK berada di atas garis kesejahteraan. Maka sangat mungkin dibangun persaudaraan keluarga asuh berbasis masjid. 1 keluarga kaya menghidupi 2 keluarga miskin.

1 keluarga kaya mengasuh dan membina 2 keluarga miskin. Menyediakan kebutuhan hidupnya, mencarikan jalan penghidupan, menyekolahkan putra-putrinya. Ini sangat mungkin dilakukan, jika platform masjid bekerja dengan baik.

Beberapa hari lalu saya juga menyampaikan tentang program GESMAT (Gerakan Sembako Jumat), bagaimana sebuah masjid bergerak menyediakan suplai kebutuhan pokok mingguan bagi fakir miskin di sekitaran masjid. Lakukan saja hal ini merata di 1 juta masjid di Indonesia, insyaallah ketimpangan itu akan terjawab dengan sendirinya.

Masjid sebagai Solusi Pemerataan Ekonomi Umat

Inilah obat dari negeri yang sedang timpang, masjid. Islam yang didengungkan sebagai solusi atas berbagai permasalahan kehidupan harus bertindak nyata dalam menyelesaikan masalah umat. Dan masjidlah pusat basis operasinya. Masjid harus hadir mengoperasi kemiskinan. Hanya dengan begitu kepercayaan umat pada Islam dan dakwah akan bangkit.

Hari ini masjid megah berdiri. Menyimpan saldo yang berlimpah. Melakukan renovasi berlebihan pada sesuatu yang sebetulnya tidak perlu. Padahal di sekitarnya masih banyak para fakir miskin dan anak yatim yang tidak tersantuni. Harus berjuang untuk sekadar membeli beras.

Semoga masjid segera bergerak menyelesaikan ketimpangan. Jembatani si kaya dan si miskin. Itulah solusi praktis pemerataan ekonomi umat. Tidak perlu menunggu berkuasa agar bisa mengatur pajak. Bergeraklah.**

Penulis : Rendy Saputra*

*Ketua Jejaring Masjid Titik Cahaya
**Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment