McDonaldisasi Terorisme

McDonaldisasi Terorisme

terorisme

Judul Buku: A Theory of ISIS
Penulis : Mohammad-Mahmoud Ould Mohamedou
Penerbit : Pluto Press, London, UK
Tebal : xii + 260 halaman
Cetakan : Pertama, 2018

Suaramuslim.net – Sejak muncul tahun 2014, kelompok ‘Islamic State of Iraq and Syria’ (ISIS) memang dipertanyakan publik dan media. Kelompok ini tak punya rekam jejak pada pergolakan perang dingin layaknya kelompok Al Qaeda. Namun, sebagian besar pakar melihat ISIS sebagai dampak intervensi AS ke Iraq. Campur tangan berujung salah urus AS atas Iraq usai penggulingan Saddam Hussein, telah memunculkan perlawanan seantero negeri itu.

Inilah beda antara Al Qaeda dari ISIS, apalagi belakangan menyeruak ketegangan diantara keduanya. Berbagai sumber menyebut, para pendukung al Qaeda, apalagi Ayman al Zawahiri, enggan gabung ISIS. Apalagi, operasi lapangan ISIS di kawasan Suriah pada kenyataannya justru melabrak berbagai kelompok lokal berafiliasi al Qaeda.

Elit ISIS, termasuk Abu bakar al Baghdadi, sering mengklaim diri telah membentuk kekhalifahan. Lalu, klaim ini meluas ke kelompok lain manapun yang mau tunduk serta patuh di bawah naungan al Baghdadi. Soal konsesi yang diberikan, itu soal lain. Yang jelas, cara-cara ISIS memposisikan diri dalam bentang kelompok jihadis yang tak hirau pada al Qaeda, tentu saja menerbitkan tanda tanya, siapa dibalik ISIS. Wajar saja, jika kemudian al Qaeda pun berjarak pada ISIS.

Menteorisasikan ISIS memang tidak mudah. Itu diakui penulis buku ini. Walau telah banyak kajian terfokus pada kelompok teror yang lahir dari rahim jihadis Iraq, namun tetap dibutuhkan pendalaman atas kelompok paling ditakuti pada satu dekade awal abad 21 ini.

Hasil-hasil kajian umumnya mengaitkan ISIS pada dampak hubungan Barat dan Timur-Tengah pasca globalisasi. Buruknya penanganan Barat, terutama AS dan sekutunya, pada negara-negara di kawasan Asia Selatan serta Timur-Tengah, menjadi pemicu kehadiran ISIS. Invasi AS ke Iraq dan Libya telah menciptakan destabilisasi kawasan.

Setelah menurunkan Saddam Hussein dan Moammar Khaddafy, lalu gembar-gembor pentingnya demokrasi, ternyata baik AS maupun sekutunya terbukti membiarkan kekerasan terus berlangsung.

Al Qaeda yang semula menjadi satu-satunya organisasi biang teror, pelan-pelan malah melebarkan pengaruh pada kawasan salah urus usai invasi koalisi pimpinan AS. Bak waralaba, beragam kelompok lokal di Libya, Suriah, Iraq, Somalia, serta Boko Haram Nigeria, antri bersumpah setia pada al Qaeda. Namun, di bawah kendali Abu Bakar al Baghdadi, ISIS atau Dais (Daulah Islamiyah) belakangan ingin mengukir sejarahnya sendiri, lepas dari al Qaeda.

Posisi Al Qaeda

Secara brilyan, profesor Mohamedou membagi ulasannya dalam empat bab ditambah kesimpulan. Diawali pembahasan matriks al Qaeda, yang menegaskan posisi al Qaeda, induk kelompok teror. Ada tiga alasan dalam soal al Qaeda ini.

Pertama, al Qaeda menegaskan penyebaran kekerasan transnasional non-negara. Kedua, militerisasi Islamisme radikal. Ketiga, profesionalisasi operasi-operasi teroris. Ketiganya saling berkelindan satu sama lain, tapi pada kesempatan berbeda, bisa saja satu penampakan lebih menonjol dibanding penampakan lain.

Selama perang dingin berkecamuk, aksi-aksi terorisme transnasional sering berkaitan pada aktor negara. Bahkan negara sendiri menjadi instrumen penyebar teror. Operasi pasukan Uni Sovyet di Afghanistan, operasi SAS di Irlandia Utara, kehadiran Israel di tanah pendudukan Palestina, semuanya dilakukan negara. Memang ada kelompok Brigade Merah Italia atau Baader Meinhof Jerman, namun kelompok ini justru dipandang sebagai kelompok gangster bermotif ideologis.

Usai perang dingin, negara-negara adidaya sibuk melakukan penataan diri. Termasuk Uni Sovyet yang menganeksasi Afghanistan. Terbukalah peluang bagi Al Qaeda yang sudah lama bersinergi pada kelompok Taliban. Afghanistan menjadi lahan subur persemaian ideologi jihadis, dan waralaba ideologi ini menyebar cepat ke seantero wilayah konflik.

Model waralaba ini berlangsung intensif mulai 2004 sampai 2008. Sejumlah cabang al Qaeda bermunculan. Terbentuk enam cabang resmi al Qaeda di jazirah Arabia di bawah nama ‘Tandhim al Qaeda fi jazirah al Arab’. Di Eropa, muncul ‘Jamaat al Tandhim al Sirri li Munadhamat Qaeda. Di Mesir, juga muncul ‘Tandhim al Qaeda fi Misr’. Ketika tahun 2014 Al Baghdadi mendeklarasikan IS (Islamic State), al Qaeda pun lantas membentuk ‘Tandhim al Qaeda fi Sinai’ di Mesir, dan ‘Tandhim al Qaeda al jihad fi Shibh al Qarra al Hindiyya’.

Setahun sebelumnya, pada 2003, AS melakukan blunder fatal menginvasi Iraq. Invasi ini telah mengingatkan kolonialisme terhadap kawasan mayoritas berpenduduk muslim. Dampaknya, muncul reaksi negatif dimana-mana. AS dibantu Inggris, sama sekali tak bergeming. Pemerintahan Bush menyamakan Saddam Hussein dengan al Qaeda dan Osama bin Laden. Entah apa alasannya, yang jelas blunder Bush ini berakibat Iraq menjadi lahan baru persemaian jihadis.

Jika Afghanistan identik dengan perlawanan atas brutalisme Uni Sovyet, maka Iraq dicap sebagai perlawanan atas kembalinya kolonialis dunia, AS dan Inggris. Penulis buku ini menegaskan, invasi AS ke Iraq menjadi penanda terjadinya desain ulang kolonialisme. Penjarahan lahan terjadi, perampasan hasil-hasil eksplorasi minyak berlangsung.

Kolonisasi ulang kawasan ini terjadi pada abad 21 atas nama ‘Perang Lawan Teror’. Spontan marak perlawanan. Pada 18 April 2017, media ISIS merilis sebuah video bertajuk ‘Rekaman Perang’, berisi sejarah kelompok itu melawan sekutu secara sporadis sejak invasi AS ke Iraq 2003.

Pada perkembangannya, ISIS meniru cara-cara penyiksaan Guantanamo dan Abu Ghraib. Cara sadis itu tersebar luas via media usai invasi sekutu ke Iraq. Sepanjang aksi terornya, al Qaeda tak pernah menunjukkan cara-cara ala ISIS ini. Aksi teror al Qaeda tertuju pada sasaran yang sudah direncanakan, lalu melakukan pernyataan bertanggungjawab.

Perbedaan ini, tegas penulis, menjadikan ISIS tampil sebagai jenis baru organisasi teror paling mematikan. Para pengusung ISIS tak segan-segan menggunakan cara sadis di depan kamera, lalu disebarkan.

Cara seperti ini meningkat setelah bergabungnya para jihadis Eropa ke sarang ISIS di Iraq dan Suriah. Nama ‘Jihadi John’ begitu kondang karena ulah sadismenya. Pelan namun pasti, nama ISIS lebih sohor dibanding al Qaeda. Apalagi fokus perhatian al Qaeda kemudian teralihkan dari Timur-Tengah ke kawasan Asia. Para pengusung al Qaeda asal Palestina, Mesir dan Saudi kemudian lebih memilih jalan gerilya politik dan aksi teror, ketimbang muncul ke permukaan.

Bagi para jihadis, ISIS dianggap lebih menjanjikan walau cara kekerasannya jauh super ekstrem. Kaum jihadis migran asal Inggris dan Eropa yang bergabung ke ISIS lantas memperkenalkan penyebaran cara sadis lebih gencar melalui media sosial. Kekhalifahan ISIS ditegakkan di atas pondasi teror serta kekerasan. Pasukan ISIS tak mau berkompromi pada kelompok jihadis lain. Bagi ISIS, kekhalifahan sudah tegak, jihadis kubu lain harus bersumpah setia. Jika tidak, nyawa mereka melayang.

Dalam dua bab terakhir dari buku ini, penulis menggambarkan aksi terorisme sudah berkembang jauh, menggantikan cara-cara penyelesaian damai. Bak waralaba dalam pemasaran, aksi teror menjadi cara utama kelompok-kelompok jihadis di Asia, Afrika dan Timur-Tengah melawan dominasi pasar wacana Barat. Invasi, aneksasi lalu dominasi hendak dipatahkan melalui pemasaran gerilya teror.

Al Qaeda memulai seruan jihad plus kekerasan. Menebar perang di manapun dominasi Barat berada. Namun, pengusung ISIS tetap beranggapan merekalah yang membangun kekhalifahan, bukan al Qaeda. Tentu saja, waralaba terorisme merupakan jenis waralaba paling mematikan pada abad 21 dan menjadi tantangan utama umat manusia untuk segera menghapuskannya.

Penulis: Rosdiansyah*
Editor: Muhammad Nashir

*Peresensi alumni FH Unair, master studi pembangunan ISS, Den Haag, Belanda. Peraih berbagai beasiswa internasional. Kini, periset pada the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP, Surabaya
*Resensi pernah dinaikkan di blog yang diasuh penulis pada 24 April 2018

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment