Melacak Sejarah Makanan Halal

Melacak Sejarah Makanan Halal

Melacak Sejarah Makanan Halal

Judul Buku: Halal Food, A History
Penulis : Febe Armanios dan Bogaç Ergene
Penerbit : Oxford University Press, UK
Tebal : xix + 375 halaman
Cetakan : Pertama, 2018

Suaramuslim.net – Makanan halal jelas penting. Kehalalan indikasi kesucian serta kebersihan. Makanan suci menempati prioritas dalam sejarah keseharian manusia. Sehingga boleh dikata, kehadiran konsepsi halal bagi manusia merupakan justifikasi dari kehendak untuk selalu bersih dan mulia dalam memilih sekaligus mengelola aneka jenis makanan serta minuman. Konsepsi yang menyejarah ini dipertegas oleh teks-teks suci. Makanan dan minuman menjadi bukan sekadar memenuhi rasa lapar serta haus, tapi kehadiran keduanya melengkapi ibadah umat manusia.

Buku ini melacak jejak sejarah makanan halal dalam Islam. Ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan jauh dari berbagai istilah teknis akademis. Kedua penulis merupakan guru besar ilmu sejarah. Febe Armanios mengajar di Middlebury College, Vermont, dan Bogaç Ergene di Universitas Vermont, AS.

Ulasan keduanya sangat mendalam serta menggunakan berbagai sumber referensi, termasuk referensi berbahasa Arab. Catatan di akhir buku sampai 64 halaman, di luar indeks dan daftar rujukan. Catatan tersebut memperlihatkan betapa serius kedua penulis dalam melacak sekaligus mengevaluasi sumber-sumber rujukan. Selain itu, pembahasannya yang murni sejarah juga menunjukkan keseriusan penulis mengungkap kenapa perkara makanan halal ini sangat diperhatikan kaum muslim. Itu perkara tak main-main, dan muslim tak ingin dipermainkan dalam situasi apapun.

Contohnya, tatkala keluarga muslim Inggris, Henna Khan dan Talib Husein, harus mengenakan semacam ‘keplek’ (tanda pengenal) ke baju depan tiga buah hatinya bertuliskan ”Halal Only” pada tahun 2014. Sebagai ibu, Henna merasa risau atas sajian makanan di kantin sekolah ketiga anaknya. Sajian itu bukan berasal dari bahan halal atau diproses secara halal. Berulang kali Henna komplain soal tersebut ke pihak sekolah, namun responnya tak memadai. Maka, Henna pun mencatumkan keplek bertuliskan ‘Halal Only’ ke dada baju bagian depan putra-putrinya. Persoalan ini pun jadi marak di Inggris dan memantik perbincangan soal halal.

Peristiwa demi peristiwa pun berjalan dan masuk ke ranah wacana publik. Soal halal kemudian dilihat bukan melulu perkara agama, tapi juga menyangkut penghargaan pada hak-hak individu yang paling dasar. Sebuah keyakinan bersumber kitab suci dan referensi keagamaan yang solid dan telah dipraktikkan berabad-abad, tidaklah bisa diremehkan hanya dengan alasan kesetaraan serta persamaan di publik. Jika dua alasan ini yang dipakai, maka soal keunikan dan kemajemukan pun layak dipertanyakan dalam praktik keseharian.

Keunikan merujuk pada perbedaan tanpa mengumbar kekerasan, begitu pula dengan kemajemukan. Makanan halal berada dalam wilayah keunikan ini dengan pondasi argumen yang kokoh serta dimensi keyakinan yang kukuh. Kaum muslim minoritas dalam sebuah negara seperti Inggris tentu perlu dihargai publik. Minoritas ini juga warga Inggris. Mereka lahir dan besar di Inggris, menyerap budaya Inggris serta cara hidup di negeri Ratu Elizabeth itu. Namun, keyakinan agama mereka juga menuntun mereka cara hidup dalam masyarakat majemuk. Minoritas muslim Inggris punya hak setara dengan warga Inggris lain. Sejauh mereka tidak berbuat kriminal, tentu saja hak-hak sebagai warga negara wajib diberikan. Termasuk hak hidup secara Islami, sesuai tuntunan ajaran Islam yang mengutamakan makanan halal.

Sebenarnya, bagi masyarakat Inggris serta Eropa, istilah halal itu sendiri bukanlah istilah baru. Nenek moyang mereka tentu sudah mengetahui bagaimana praktik keseharian muslim yang patuh pada ajaran Islam. Hanya saja, belakangan istilah itu selalu dianggap melabrak kesetaraan dalam ketersediaan makanan di publik. Sebuah anggapan publik yang keliru.

Buku ini berisi 10 bab ditambah pendahuluan serta kesimpulan. Diawali pembahasan seputar aturan-aturan dalam Islam tentang kehalalan makanan. Pembahasan ini bersifat historis melacak pada masa awal pembentukan ajaran Islam.

Kedua penulis banyak mengutip seruan dalam teks suci Al Quran, yang menjadi rujukan utama muslim dalam mempraktikkan makanan halal. Perbedaan antara halal dan haram sudah ditegaskan sedari awal ajaran Islam muncul di jazirah Arabia. Perbedaan ini berkait pada konsep kesucian dalam Islam. Segala yang tak suci otomatis kotor, bisa menjadi penghalang bagi muslim dalam berinteraksi sesamanya atau yang lebih penting berkomunikasi dengan Tuhan.

Konsep kesucian ini punya riwayat panjang dalam sejarah kuliner Timur Tengah, Mediterania dan Afrika Utara, bahkan sesungguhnya juga menjadi obsesi filsuf Yunani dalam soal makanan. Misal, Herodotus sudah mencap babi sebagai binatang tak bersih, bahkan Philo serta Plutarch menyebut babi sebagai hewan jorok, kotor serta menjijikan. Namun demikian, yang paling tegas menyatakan hewan itu haram adalah ajaran Islam, yang belakangan didukung oleh argumen-argumen ilmiah.

Keharaman suatu makanan berkait pada degenerasi moral. Keharaman ini menjaga moral manusia agar tak jatuh mirip hewan omnivora (pemakan segala). Moralitas berkait pada konsep ketuhanan. Selama berabad-abad setelah periode kenabian, perkembangan argumen makanan halal itu sangat mengesankan. Para fuqaha (ahli hukum Islam) kemudian merumuskan konsep mandub, mubah dan makruh yang merujuk pada istilah halal dalam inti ajaran Islam.

Dalam bab bertajuk ‘daging’ pada buku ini, kedua penulis mengulas bagaimana para ahli hukum Islam merumuskan fatwa terkait kehalalan daging hewan selain yang sudah jelas diharamkan dalam teks suci AlQuran. Misal, kehalalan belut, kaviar (telur ikan) dan sebagainya.

Setelah melalui pembahasan mendalam dengan melihat seksama praktik-praktik perumusan kehalalan dari para fuqaha secara historis, kedua penulis sampai pada simpulan peran fuqaha sangat menentukan dalam soal ini. Penafsiran yuridis berupa fatwa para fuqaha menjadi panduan bagi muslim atas status halal suatu daging. Sebaran ajaran Islam yang masuk ke wilayah-wilayah di luar jazirah Arabia pada gilirannya berhadapan dengan jenis-jenis kuliner masyarakat setempat. Berkat fatwa fuqaha maka status kuliner terkait bisa halal, tapi sering juga dipandang makruh atau bahkan mubah.

Selain daging, kehalalan juga menyangkut pada proses pemotongan hewal halal tersebut. Para fuqaha mencermati proses ini secara teliti, sebelum menentukan status daging hewan yang disembelih. Kecermatan serta ketelitian dibutuhkan dalam soal ini. Antropolog kondang, Johan Fischer menyebut proses tersebut sebagai ‘saintifikasi halal’, yakni suatu proses yang diperlukan fuqaha sebelum memberi status halal pada suatu produk. Di dalam masyarakat modern, proses saintifikasi halal ini sangat dibutuhkan karena muslim menghadapi aneka produk makanan serta minuman dari pabrik.

Secara keseluruhan, isi buku ini tampaknya bukan sekadar menjabar sejarah makanan halal dalam Islam. Namun, yang juga penting disinggung oleh kedua penulis adalah bagaimana interaksi muslim terhadap variasi makanan dalan sejarah manusia sejak Islam lahir. Muslim tidak hanya menempati suatu wilayah terbatas. Komunitas muslim bisa dijumpai dalam berbagai negara, dan mereka harus berhadapan dengan aneka jenis makanan serta minuman, yang boleh dikonsumsi sesuai koridor ajaran Islam. Inilah gaya hidup muslim, sebuah gaya hidup yang secara norma serta moralitas merujuk kepada panduan ajaran Islam.

Satu pesan penting yang kiranya tersirat dari buku ini adalah betapa gaya hidup (lifestyle) ‘halal food’ merupakan pembeda manusia dari hewan.*

Peresensi: Rosdiansyah*
Editor: Oki Aryono

*Resensi ini pernah diposting penulis di laman Surabayabookreview 14/10/18 dengan judul “Makanan Halal Dalam Sejarah”

*Peresensi alumni FH Unair, master studi pembangunan ISS, Den Haag, Belanda. Peraih beragam beasiswa internasional. Kini, periset pada the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP serta Pusat Kajian Islam dan Peradaban (Puskip), Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment