Melihat Islamisme Melintas Zaman – Bagian 1

Melihat Islamisme Melintas Zaman – Bagian 1

Melihat Islamisme Melintas Zaman

Judul Buku: Islamism
Penulis : Tarek Osman
Penerbit : Yale University Press, New Haven
Tebal : xx + 306 halaman
Cetakan : Pertama, 2017

Suaramuslim.net – kata ‘Islamisme’ tidaklah sepele. Bahkan jangan disepelekan. Kata itu menjadi penanda pertarungan antara modernitas lawan semangat keberislaman. Diawali pada paruh pertama abad ke-19 tatkala para elit, politisi, tokoh sosial, figur publik di dunia Arab mulai mengusung parameter modernitas untuk legitimasi politik, legislasi, tatanan negara serta identitas nasional.

Sejak itu, reaksi dari mereka yang mengklaim diri sebagai ‘Islamiyyun’ (Islamis) tak pernah surut dari teater politik Timur-Tengah. Konflik dan kekerasan silih berganti menghiasi panggung itu, pertarungan gagasan antara kaum sekular lawan kelompok-kelompok Islamis bertebaran di seantero Timur-Tengah.

Sementara itu, modernitas mulai merasuk ke dalam tatanan pemerintahan dan sosial. Tabu jender mulai luruh. Terjadi pergeseran kehidupan sehari-hari masyarakat Timur-Tengah, dari basis agraria dengan tumpuan pada produksi gandum, menuju era industrialisasi. Mereka memasuki keseharian baru berupa dagang katun dan minyak. Keduanya dominan mewarnai bisnis serta perekonomian di sejumlah negara Arab. Kelas menengah baru tumbuh dimana-mana. Mereka menyaksikan ketimpangan, kemelaratan serta ketidakadilan.

Pada satu sisi, kaum tersekularkan menguasai arena politik, pemerintahan bahkan militer. Pada sisi lain, warga biasa terus berhadapan dengan kegagalan mengartikulasikan aspirasi keislaman mereka karena disumbat saat mobilitas vertikal ke atas. Proses pembaratan gencar di lingkaran elit, proses pengentalan islamisme justru terjadi di lingkup warga biasa.

Observasi Tarek sangat fokus serta rinci. Menurutnya, secara historis telah terjadi penarikan diri sekelompok orang yang hendak mempraktekkan ajaran Salaf melalui penafsiran mereka terhadap sejarah kehidupan Rasulullah Muhammad dan periode Islam masa awal di jazirah Arab. Mereka menarik diri dari proses modernisasi, dan kelompok ini berkembang sedemikian rupa serta sering bertabrakan dengan masyarakat.

Di internal pengusung gagasan Islamisme itu sendiri terjadi perdebatan sengit soal agenda dan strategi. Satu kelompok Salaf mempunyai agenda anti-modernisasi sepenuhnya, sedangkan kelompok muslim lainnya melihat modernisasi hanyalah alat guna mencapai tujuan kejayaan Islam. Sedangkan kritik terhadap Islamisme dan pengusungnya berasal dari para pembawa gagasan liberal ke dunia Arab.

Usainya kolonialisme Barat atas wilayah Arab yang pada gilirannya melahirkan sejumlah negara-negara baru, ternyata juga berdampak pada pertarungan intelektual kaum Islamis versus bani sekular Arab. Sejumlah pemerintahan monarki telah menggunakan klaim-klaim kaum Islamis untuk basis legitimasi kerajaan. Elit monarki sangat mengharapkan dukungan penuh dari kelompok konservatif Islam.

Realitas di Sudan pada awal dekade ’90an menunjukkan bukti betapa rezim militer kemudian juga menggunakan klaim Islamis sebagai basis dukungan politik. Sebagai ideologi potensial, Islamisme acap luput dari perhatian para pengamat Timur-Tengah selama abad 20 dan awal abad 21. Umumnya, amatan utama lebih ditujukan pada perilaku politik kendali otoritarian, kekuatan militer Arab serta pengaruh kuat para sheikh.

Buku ini ditulis dalam sebelas bab disertai pendahuluan dan kesimpulan. Pada bab pendahuluan, Tarek mengulas kenapa kehadiran Islamisme menjadi signifikan dalam peta sosial-politik Timur-Tengah yang dimulai sejak usainya kolonialisme Barat. Tak lain dikarenakan ideologi Islamisme tumbuh sedemikian cepat usai kolonialisme hengkang dari bumi Arab.

Diawali dengan terhapusnya kekhalifahan Turki Usmaniyah, lalu berimplikasi pada kebebasan para pemimpin wilayah bekas dominasi Turki, untuk memilih jenis pemerintahan. Bani Hasyim yang semula menguasai Hijaz lalu bekerjasama dengan kekuatan Inggris berbekal harapan bisa menempatkan salah-satu anggota keluarga bani itu menjadi khalifah baru. Situasi Mesir juga sama. Tunisia tak jauh berbeda. Para elit di kawasan yang sudah bersentuhan dengan monarki modern ala Eropa, mulai mempraktekkan hal serupa di kawasan masing-masing, dengan Islam dasar legitimasi.

Seiring dengan ini, wacana khilafah pun kuat menderu di kalangan terdidik dalam bingkai kebangkitan kembali Islam. Pun, semangat ini tampak jelas dari kehadiran guru sekolah pada akhir dekade ’20an, Hassan al Banna di Mesir. Kehadiran Ikhwan al Muslimin (IM) di Mesir menjadi kanalisasi upaya-upaya kebangkitan muslim terdidik di berbagai daerah. Selama bertahun-tahun, al Banna menyerukan penguatan identitas keislaman. Misi utama Ikhwan adalah pada dunia pendidikan.

Berkat seruan bersemangat al Banna, jumlah anggota Ikhwan tumbuh pesat. Sampai dekade ’40an, keanggotaan Ikhwan mencapai sekitar 450 ribu orang. Kharisma al Banna menarik perhatian politisi Mesir, bahkan Raja Faruk kala itu harus mengakomodir keberadaan organisasi ikhwan di masyarakat Mesir.

Oleh: Rosdiansyah
(Alumni FH Unair, master studi pembangunan ISS, Den Haag, Belanda. Peraih berbagai beasiswa internasional. Kini, periset pada the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP, Surabaya)

Lanjutan artikel baca di Melihat Islamisme Melintas Zaman – Bagian 2

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment