Meluruskan Polemik Salam Lintas Agama

Meluruskan Polemik Salam Lintas Agama

Meluruskan Polemik Salam Lintas Agama
Jabat tangan. (Foto: @chrisliverani)

Suaramuslim.net – Polemik mengucapkan salam lintas agama kembali muncul ke permukaan. Fenomena salam lintas agama merupakan fenomena gunung es yang tidak bisa dilepaskan dari para pejabat negara ketika mendatangi masyarakat atau komunitas yang berbeda agama.

Salam lintas agama menjadi persoalan karena tidak lepas dari muatan atau isi salam, yang tidak bisa dilekatkan dengan aqidah suatu agama. Ketika dikaitkan dengan akidah, maka salam lintas bagi seorang pemeluk agama akan mengaitkan dengan Tuhan agama orang lain. Sementara Tuhan agama orang lain itu berbeda dengan Tuhan yang dipercayainya. Di sinilah pengucapan salam lintas agama menjadi problematik bagi seorang pemeluk agama tertentu.

Problem Teologis Salam Lintas Agama  

Sebagaimana dilansir sejumlah media bahwa wacana salam lintas agama telah melahirkan sikap tegas dari beberapa elemen, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sikap yang ditunjukkan oleh MUI Jawa Timur dengan menerbitkan surat himbauan agar pejabat tidak perlu mengucapkan salam lintas agama dalam agenda resmi. Artinya, ada larangan mengucapkan salam sederet semua agama.

Alasannya, salam itu termasuk doa dan doa itu ibadah. Salam campuran itu dinilai mencampuradukkan agama. Pluralisme agama tidak boleh. Menurut Ketua MUI Jawa Timur, KH. Abdush-Shomad Bukhori, agama itu eksklusif karena keyakinan adalah sistem. Agama itu sistem keyakinan dan agama punya sistem ibadah sendiri-sendiri. Sementara toleransi bukan berarti dengan menyebut semua salam, dan itu bukan wujud kerukunan tetapi justru perusak ajaran agama tertentu.

Himbauan MUI Jawa Timur ini disambut positif MUI Aceh dimana sebagai salah satu bentuk tugas ulama guna menjaga akidah umat Islam. Menjaga akidah umat agar selamat dunia dan akherat. Menurutnya, adanya orang yang kontra dan menolak himbauan ini menunjukkan ketidakpahaman terhadap agama Islam di tengah berkembangnya paham pluralisme agama di Indonesia.

Dalam ajaran Islam, mengucapkan salam kepada non-muslim dengan salam Islam dilarang Nabi karena memberikan salam mengandung doa keselamatan dan keberkahan. Mengucapkan dengan salam Islam kepada non-muslim saja dilarang, maka terlebih lagi mengucapkan salam dengan salam agama lain. Karena mengucapkan salam agama lain mengandung kesyirikan yang bisa merusak tauhid dan akidah seorang muslim. Mengucapkan salam dengan salam agama lain sama saja mengamalkan ajaran agama tersebut. Hal ini bisa dikategorikan sebagai menyerupai kaum lain.

Memaknai Salam Tiga Agama

Kalau dalam perspektif agama Hindu, ucapan “Om Swastyastu” bermakna semoga selamat dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ida Sang Hyang Widhi dimaknai sebagai Tuhan yang memberi keselamatan. Sementara “Haleluya” dalam ungkapan orang Nasrani berarti ajakan untuk memuji kepada Tuhan. Dengan mengucapkan Haleluya berarti ajakan untuk menaikkan pujian penyembahan kepada Tuhan atau ajakan untuk menyembah Tuhan. Sementara dalam Islam, ucapan “Assalamu’alaikum” berarti semoga keselamatan bagi kalian. Umat Islam meyakini bahwa yang mendatangkan keselamatan tidak lain adalah Sang penguasa dan pemelihara alam semesta, yakni Allah.

Tiga contoh salam tiga agama di atas merupakan doa atau harapan baik dari seorang pemeluk suatu agama kepada orang lain. Ucapan salam ini melibatkan Sang Tuhan. Dalam memahami Tuhan, masing-masing agama memiliki perspektif sendiri-sendiri dan masing-masing agama juga memahami Tuhan agama lain juga dengan perspektif yang berbeda. Bisa jadi Tuhan yang dipahami oleh orang Islam berbeda dengan Tuhan yang dipahami pemeluk Nasrani. Bahkan orang Islam tidak mengakui Tuhan pemeluk Nasrani dengan berbagai alasan dan argumentasi. Oleh karena itu, sangat wajar bila ungkapan salam lintas agama penuh dengan polemik dan berpengaruh pada akidah memeluk suatu agama.

Ketika orang muslim menganggap bahwa Allah merupakan penguasa dan pemelihara alam semesta yang tidak bersekutu dengan yang lain, sementara Tuhan agama lain memiliki perspektif Tuhan yang berkolaborasi dengan yang lain. Maka sangat wajar bila orang muslim menggunakan salam agama lain, berimplikasi pada keyakinan agama lain yang tak sesuai dengan agamanya. Orang muslim mengakui bahwa Allah Esa, tunggal tanpa tandingan dan tak tertandingi, maka bermasalah ketika mengucapkan salam agama orang lain yang mengakui bahwa Tuhan bersekutu dengan yang lain, Trinitas.

Maka di sinilah problem teologis ketika mengucapkan salam lintas agama. Belum lagi, mengucapkan salam merupakan perintah suatu agama, sehingga bagi seorang yang mengucapkan salam agama orang lain, berarti dia melaksanakan ajaran agama lain. Di sinilah problem teologisnya, di mana seorang pemeluk agama harus konsisten dalam menerapkan ajaran agamanya, bukan mengamalkan ajaran lain. Kecuali ketika mengikuti pandangan bahwa tidak mengaitkan salam dengan perspektif teologi agama orang lain. Dengan kata lain, seorang pejabat ketika mengucapka salam lintas agama, tidak mengaitkan dengan akidah, dan hanya sekedar ucapan kosong tiada makna teologisnya.

Mengucapkan salam lintas agama, bukanlah bentuk toleransi beragama atau kebhinnekaan. Toleransi beragama tidak harus dipahami dengan berbaur dan mengikuti ritual agama lain agar terlihat membaur dan toleran pada pemeluk agama lain. Toleransi adalah menghargai dan menghormati kebebasan orang lain dalam menjalankan agamanya masing-masing. Mengucapkan salam lintas bukanlah toleransi beragama, tetapi justru mencampuradukkan agama dan merusak keyakinan pemeluk suatu agama.

Surabaya, 19 Nopember 2019

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment