Memahami Khilafah Sesuai Contoh Nabi

Memahami Khilafah Sesuai Contoh Nabi

Memahami Khilafah Sesuai Contoh Nabi

Suaramuslim.net – Postingan-postingan terkait khilafah sepertinya terus saja muncul. Di satu sisi dimaknai begitu longgarnya sehingga bentuk pemerintahan apapun disebut sebagai khilafah, bahkan Donald Trump dinyatakan layak disebut khalifah. Di sisi lain dinilai sangat kabur dan utopis, seluruh dunia ini dihapus saja sekat-sekat negara, menjadi satu pemerintahan Islam tanpa penjelasan mulainya dari mana dengan cara apa.

Di kesempatan lain muncul pula gagasan bahwa khilafah itu berarti mengurusi umat Islam saja, dimana pun di seluruh pelosok dunia, umat akan diurusi hajat hidupnya oleh khilafah. Yang terakhir ini bahkan menyebutkan bahwa konsep khilafah itu justru sudah dilaksanakan oleh agama lain.

Dengan postingan makna khilafah seperti itu, maka umat tentu akan masih saja kehilangan waktu berharganya karena dipakai debat pendapat tentang khilafah, terus berpolemik yang tidak ada titik temunya. Coba dicermati, jika begitu longgar, atau begitu luasnya jangkauannya, atau begitu sempitnya arti khilafah, lalu bagaimana kaitannya dengan Indonesia yang dihuni muslim jumlahnya terbesar sedunia itu?

Untuk mengatasi hal yang menguras energi umat ini sangat diperlukan ada uraian ringkas tentang apa sesungguhnya khilafah itu, khususnya dalam bentuk operasional sehingga cepat dipahami dengan mudah.

Uraian ringkas apa itu khilafah amat diperlukan supaya umat cepat paham makna operasional terkait perjuangan Islam di negerinya. Dengan penjelasan ringkas diharapkan polemik berkepanjangan bisa berhenti, lalu fokus pada perjuangan Islam politik di negeri ini selain dakwah ritual dan amal sosial Islam.

Acuan standart untuk memahami Khilafah

1. Khilafah adalah pemerintahan sebuah negara yang berpenduduk plural dengan satu model dasar pemerintahan mencontoh pemerintahan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin saat mengelola negara Madinah. Jadi khilafah itu berarti:

  • Bukan pemerintahan yang hanya mengelola umat Islam seluruh dunia yang tinggal di ratusan negara yang terpencar antara kutub Utara dan Selatan bumi.
  • Juga bukan pemerintahan yang mengelola seluruh dunia yang berpenduduk plural oleh satu pemerintahan tunggal. Bukankah Nabi mencontohkan pemerintahan negeri Madinah dengan wilayah negara yang jelas batas areanya, bukan memerintah seluruh wilayah bumi.
  • Khilafah juga bukan pemerintahan negara yang boleh berbentuk macam-macam apapun seenak mau penguasanya, mau monarki, kekaisaran dll. Pemerintahan negara Madinah jaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin bukan model kekaisaran Romawi ataupun Persia yang kekuasaan tertinggi di negeri diberikan ke anak keturunan penguasa. Pemerintahan yang dicontohkan Nabi punya tujuan bernegara yang khas yaitu penyelamatan dan penyejahteraan rakyat, bukan untuk kemewahan dan kemegahan diri si pemimpin. Kebijakan pemerintah termasuk undang-undang yang dibuat dan kriteria figur yang boleh menjadi pejabat juga tidak semau penguasa, tapi dikendalikan tuntunan wahyu dari Allah SWT. Begitulah model pemerintahan khilafah. Jadi tidak semau manusia belaka.

2. Untuk bisa memiliki pemerintahan bernama khilafah seperti yang dicontohkan Nabi itu maka prosesnya harus dimulai dengan membentuk “hizbullah” (partai politik Islam di negeri tertentu, bukan parpol yang berskala dunia tanpa batas negara), juga bukan wadah sejenis ormas atau LSM yang aktifitasnya hanya mengajak ritual dan amal sosial.

3. “Hizbullah” sebagai partai politik yang bertujuan mengelola negeri sesuai syariat itulah wadah atau instrumen sosial politik yang berjuang untuk memenangkan persaingan dengan pesaing-pesaingnya, yang di dalam Al Quran disebut dengan nama “hizbussyaiton” (partai non-Islam alias partai sekuler, yang mau mengelola negeri dengan metode di luar ajaran Islam).

4. Proses pemenangan persaingan antara “hizbullah vs hizbussyaiton” itu juga harus meniru cara-cara politik yang dilakukan Nabi dan sahabat beliau sesudah hijrah ke Madinah. Bukan cara penaklukan militer, namun dengan cara politik, yakni membuat-membesarkan-menguatkan “hizbullah” lalu bersaing dengan berani menghadapi “hizbussyaiton”.

Apakah persaingan itu bisa melalui mekanisme pemilu? Pemilu sebagai unjuk pembuktian obyektif kekuatan partai politik tidak ada larangan syar’i nya. Maka proses persaingan bisa saja dengan mekanisme pemilu, asalkan diadakan sebagai wahana penentu pemenangan tersebut tidak penuh kecurangan.

5. Sesudah memenangkan pemilu maka silahkan “hizbullah” atau partai Islam itu memerintah negerinya sesuai syariat seperti cara Nabi mengelola Madinah.

Dengan uraian di atas maka tidak perlu lagi umat Islam di negeri manapun berkepanjangan debat atau berpolemik tentang apa dan bagaimana bentuk pemerintahan khilafah itu. Kita lalu bisa fokus untuk memenangkan partai Islam melalui pemilu. Stop, jangan sekali-kali mendukung dan menguatkan partai sekuler. Kalahkan partai sekuler supaya negeri bisa dikelola secara syar’i untuk mewujudkan Indonesia yang maju damai sejahtera dalam berkah Allah SWT.

Oleh: Fuad Amsyari, Ph.D.*
Editor: Oki Aryono

*Ketua Umum Syarikat Islam Politik
**Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment