Soerabaia Tempo Doeloe “Es Poeter“

Soerabaia Tempo Doeloe “Es Poeter“

Soerabaia Tempo Doeloe Es Poeter
Foto asli penjual es poeter diambil dari harian Radar edisi Senin 23 April 2001 koleksi Dukut Imam Widodo

Suaramuslim.net – Surabaya, adalah kota pahlawan yang banyak meninggalkan kenangan. Ketika kita mendengar nama Surabaya, maka akan memunculkan berbagai macam persepsi dan itu menarik untuk dicermati. Karena memang Surabaya mengandung banyak cerita dan perlu disebar luaskan kepada warga kota yang sekarang banyak tidak mengerti akan sejarah kotanya.

Bagi penulis yang lahir dan besar di Surabaya tepatnya di wilayah Ampel. Banyak kenangan yang dapat dijadikan inspirasi untuk menapak kehidupan yang penuh tantangan dan perlu penyelesaian. Untuk menyongsong Hari Ulang Tahun Surabaya yang ke 725 di tahun 2018 ini, penulis ingin berbagi cerita sebagai kado untuk kota tercinta Surabaya.

Cerita Soerabaia tempo doeloe, didapat penulis dari berbagai sumber. Di antaranya dokumen pribadi penulis berupa kliping yang disimpan 17 tahun yang lalu (dari Koran Radar edisi Senin, 23 April 2001 koleksi Dukut Imam Widodo), serta hasil investigasi sederhana dan cerita-cerita dari para senior sesuai dengan peran yang dilakoni.

Insya Allah, mulai edisi ini akan ditulis kembali secara bersambung dengan format baru tanpa mengurangi dan mengubah makna sebenarnya. Untuk edisi perdana ini penulis akan mengangkat salah satu kuliner legendaris kota Soerabaia tempo doeloe yaitu “es poeter“.

Es Poeter

Soerabaia, dari dahulu sampai sekarang dikenal dengan kota yang udaranya puanaas banget. Telah berdiri beberapa pabrik es, yang dalam bahasa Belandanya adalah “ijsfabrieken”. Beberapa pabrik es yang sudah berdiri tempo doeloe di Surabaya adalah: Ijsfabrieken Petodjo di Raderrsmatraat, NV. Ijsfabrieken Ngagel dan NV. Ijs En Handel Mij di Passar Toeri, dll.

Rasa solidaritas pedagang es tempo dulu sudah maju dan kreatif. Hal ini ditandai dengan dibuatnya perkumpulan pedagang es dengan nama SIJVO (Soerabaiasche Ijsverkoop Organisatie) yang berkantor di Societe Itstraat 19. Maksud dibuatnya perkumpulan tersebut, diantaranya adalah agar suara mereka (pedagang es) lebih didengar dan diperhatikan oleh penguasa dan yang lebih penting dari itu adalah untuk memudahkan dalam koordinasi dan pembinaan untuk meningkatkan daya saing.

Sekarang, es kan banyak macamnya. Seandainya dibentuk perkumpulan menurut spesifikasinya, gimana ya? Misalnya PPED (Persatuan Pedagang Es Dawet ), PPET (Persatuan Pedagang Es Teler) dll. Pokoknya banyak dan unik sekali minuman yang mengandung unsur es.

Menurut sejarahnya “es poeter”, merupakan salah satu jajanan tradisional yang menjadi ciri khas Indonesia termasuk di Surabaya. Sejarah “es poeter” berawal dari keterbatasan orang Indonesia (termasuk Surabaya) untuk menikmati es krim yang pada masa itu hanya bisa dinikmati oleh kaum tertentu. Karena keterbatasan dan rasa ingin menikmati es krim yang luar biasa, memunculkan kreatifitas untuk memodifikasi pembuatan es krim dengan cara mengganti bahan utama yaitu susu dengan santan kelapa.

Penggantian bahan utama inilah yang sebenarnya membuat rasa dari es ini menjadi lebih gurih. Dengan memadukan santan kelapa ditambah buah-buahan lokal seperti kelapa muda, nangka atau durian, terciptalah es krim yang “lebih Indonesia“, selanjutnya kita kenal dengan sebutan “es poeter”. Nama “es poeter” diberikan karena dalam pembuatannya, adonan diputar-putar dalam alat pembuat es hingga mengkristal.

Kita mengenal “es poeter” sejak kecil sebagai jajanan di depan sekolah, yang dijual oleh pedagang keliling. Rasanya memberikan kenangan tersendiri bagi setiap orang yang menimbulkan rasa kangen untuk menikmatinya kembali.

Untuk di Surabaya, khusus orang-orang Belanda atau bangsa Eropa telah tersedia tempat yang istimewa (eksklusif) yang bernama Restoran “Ijspaleiisje Tutti Frutti“ yang terletak di Toenjoengan, dengan menu khusus yaitu es krim. Selain itu juga ada “Renato Zangrandi’s Ijspaleis”. Dengan demikian yang namanya es krim itu bukan jenis minuman baru di Surabaya, akan tetapi jauh sebelumnya sudah ada bahkan lebih dulu es krim bila dibandingkan dengan umur kita dan bahkan mungkin umur kakek nenek kita.

Akan tetapi pada saat itu es krim sudah dapat saingat berat. Maksudnya “berat pikulannya”. Ya… berat juga menjajakannya. Karena harus keluar masuk perkampungan. Seperti kampung Plampitan, Peneleh, Kepoetran, Nyamplungan, Pabean dll. Nama saingan es krim tersebut adalah es poeter. Kenapa es poeter dapat dikatakan sebagai saingan? Mari, kita perhatikan dengan seksama, foto penjual es poeter tempo doeloe ini. Walaupun dengan bertelanjang kaki alias “nyeker”, sambil membawa bel yang dibunyikan klining… klining… klining, untuk menarik pembeli.

Lihatlah gelas-gelas es poeter itu. Gelas itu, biasa dipakai oleh tuan dan nyonya besar bangsa Belanda, jika sedang makan es krim Ijspaleisje Tutti Frutti di Toenjoengan atau Renato Zangrandi’s. Jika ada pesta-pesta dan ada hidangan penutup es krim, maka gelas-gelas yang dipakai menyajikannya persis sama seperti gelas penjual es poeter itu. Kreatif sekali para penjual itu.

Es poeter memang rasa pribumi, tapi penampilannya tidak kalah dengan restoran, yaitu gelasnya harus bergaya luar negeri. Woow keren!!!. Namun sangat disayangkan, gelas-gelas itu dibiarkan terbuka tidak ditutupi, sehingga aspek kebersihannya kurang terjamin (debu-debu yang tidak bersahabat menempel di gelas-gelas itu). Yang mengherankan, dan itu mungkin karena keikhlasan dan kegigihan dalam berusaha, tidak pernah mendengar orang yang habis minum es poeter sakit perut, mules-mules dll.

Pelan tapi pasti, lama kelamaan tuan dan nyonya Belanda itu akhirnya “kepincut” (jatuh hati) dan beralih dari es krim ke es poeter. Mereka (tuan dan nyonya Belanda) itu mengatakan rasa es poeter lebih alami dan rasanya tidak kalah dengan es krim.

Walaupun es poeter yang rasa pribumi itu pun tidak semua orang dapat membelinya, karena harganya memang mahal. Jadi hanya kalangan tertentu saja yang bisa membelinya. Dengan kata lain es poeter adalah untuk pribumi kalangan atas (priyayi).

Oleh: Washil Bahalwan
Editor: Oki Aryono

*Penulis adalah pemerhati sosial

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment