“Memahromkan” NKRI

“Memahromkan” NKRI

Arti Sebenarnya “Memahromkan” NKRI

Suaramuslim.net – Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang kepribadiannya berbeda, sehingga Anda merasa berhadapan dengan 2 orang atau lebih? Istilah kepribadian ganda (kepribadian terpecah/kepribadian majemuk atau Multiple Personality Disorder) sekarang istilah itu berganti menjadi Gangguan Identitas Disosiatif (GID).

GID adalah gangguan kepribadian ketika seorang individu memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Masing-masing kepribadian itu mempunyai sifat dan ingatan yang spesifik dalam satu tubuh seseorang. Kepribadian ganda sering juga diasosiasikan sebagai alter ego.

Mengapa Bisa Terjadi?

Penyebab munculnya gangguan kepribadian ini dapat disebabkan oleh beragam faktor. Salah satunya dari pengalaman masa lalu (traumatis masa lalu) seperti korban kekerasan, pelecehan seksual, dan juga “bulliying” hebat.

Pada kepribadian orang dengan kepribadian ganda, seringkali dijumpai dia bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Misalnya akibat pengaruh masa lalunya yang penuh dengan kekerasan, dia bisa menjadi pelaku kekerasan baru bagi lingkungannya. Sehingga seringkali mereka yang berkepribadian ganda melakukan sesuatu yang bisa merugikan dan membahayakan orang lain.

Penderita bisa mengalami kejadian seperti berada di suatu tempat, namun tidak ingat bagaimana dia bisa berada di tempat itu, atau menemukan suatu benda di sekitarnya, tapi tidak tahu bagaimana benda itu bisa berada di situ.

Penderita juga seringkali tidak mengingat sesuatu yang pernah diucapkan atau dilakukan. Amnesia yang dialami penderita terjadi sementara dan tidak konsisten tergantung pada kepribadian tertentu yang sedang aktif.

Penderita kepribadian ganda juga mengalami kesulitan dalam beraktifitas, pekerjaan, dan hubungan dengan lingkungannya karena gangguan kepribadian yang dia alami.

Bangsa Berkepribadian Ganda

Apa yang kita saksikan hari ini sejatinya menggambarkan sebuah potret betapa anomalinya ibu pertiwi. Negeri yang elok dengan rangkaian aksara cinta dan panorama, ternyata menghadirkan potret rakyat yang kebalikannya.

Negara yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya, ternyata masih kita jumpai peristiwa bu Sumini mencuri singkong tetangga karena kelaparan. Bu Surti ditangkap polisi karena mencuri susu kaleng untuk bayinya, si Sarif tak mampu sekolah karena tak ada biaya.

Seperti Inikah NKRI?

Saya Pancasila, Saya Indonesia… Katanya. Tapi adakah rasa kita menjadi satu bangsa dan satu negara… Ah ternyata tidak. Kalian bilang JasMerah, Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah, sejarah yang mana yang kalian baca? Tak banyak yang bisa memahami karena memang pribadi sudah terbelah.

Kalian peralat Pancasila dengan makna nista, seolah Pancasila adalah saya dan kalian tidak. Kalian nista Indonesia, seolah anda pemilik sah negeri yang lain harus pergi. Pengalaman traumatik masa lalu bernegara telah membuatnya lupa bahwa Indonesia milik bersama.

Indonesia punya banyak cerita, sehingga kita punya banyak pilihan makna dalam membangun negara. Sejarah masa lalu meski dalam membangun negara diwarnai konflik dan perbedaan, tapi sejatinya para pendiri bangsa sudah mencontohkan wujud Indonesia yang tak berkepribadian ganda.

Lahirnya Pancasila merupakan potret bernegara yang luar biasa, betapa tidak ketika Piagam Jakarta disepakati menjadi dasar negara dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya dihapus dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan kebesaran jiwa bernegara.

Sejarah telah diputarbalikkan, fakta telah digoyah, sehingga terjadi batas-batas antara saya dan kamu. Hati kita pun tak menyatu dengan akal dan rasa yang ada. Sehingga pribadi yang tergambar adalah pribadi yang terbelah, pribadi yang tak bisa menyatu, pribadi yang tak mampu “memahromkan” antara akal, rasa dan hati.

Kebudayaan Sebagai Alat “Memahromkan” Kembali Bangsa

Ibarat akan membangun mahligai rumah tangga, maka dibutuhkan kemampuan menerima perbedaan satu sama lain. Kemampuan menerima perbedaan akan melahirkan perjanjian suci yang disebut dengan pernikahan. Asalnya segala sesuatunya dilarang, tapi akibat perjanjian suci itu semuanya dibolehkan.

Kebudayaan adalah sebuah upaya cipta karsa dan rasa manusia. Kebudayaan adalah jalan menghaluskan akal budi manusia. Dalam kebudayaan kita bicara rasa manusia, dan agama menjadi standar ukurnya. Sehingga tak ada ruang menjadikan agama dan budaya berjarak makna. Karena apa yang dilakukan manusia adalah produk budaya yang disesuaikan dengan nilai-nilai agama yang dianut.

Menyatukan kembali rasa keindonesiaan kita merupakan kerja agama dan kebudayaan. “Memahromkan” kembali Indonesia hanya bisa dilakukan bila rasa kita sudah menyatu, tidak ada kata aku dan kamu, tidak ada kata saya Pancasila, saya Indonesia. Yang ada saya Isa Ansori, saya Indonesia.

“Memahromkan” Indonesia… Kita harus besar, kita harus jembar, tak mungkin “memahromkan” Indonesia dilalukan oleh mereka yang tak besar dan tak jembar. Sehingga saya Isa Ansori, saya Indonesia, menunjukkan kebesaran jiwa saya sebagai rakyatnya dan bisa bersedekah untuk Indonesia.

Kebesaran dan kejembaran jiwa hanya diasah oleh mereka yang berbudaya dan beragama. Sehingga “memahromkan” kembali Indonesia yang paling memungkinkan dilakukan dengan jalan rekonsiliasi kebudayaan dengan menjadikan agama sebagai standar nilai-nilai yang disepakati bersama.

Rekonsiliasi Kebudayaan Sebagai Sebuah Keniscayaan

Memandang masa lalu sebagai sebuah ingatan adalah kewajaran, sehingga kita bisa belajar dari masa lalu itu. Namun yang harus disadari adalah bahwa hidup itu menghadapi masa depan, sehingga pengalaman traumatik masa lalu seharusnya bisa menjadi pengingat untuk masa depan yang lebih baik.

Kebudayaan adalah bahasa yang bisa disepakati bersama, sehingga dengan menjadikan kebudayaan sebagai panglima dan penguasa, sejatinya kita telah kembali menjadi bangsa baru, bangsa yang saling menghargai dan bangsa yang menyatu antara rasa dan jiwa, menjadi “mahrom”.

Akhirnya luka sejarah masa lalu harus diakhiri dengan kemampuan diri menerima perubahan dan upaya mempertemukan kembali rasa dan jiwa yang lama terpisah. Rekonsiliasi budaya akan melahirkan rekonsiliasi rasa dan rekonsiliasi jiwa. Semoga saja!

* Ditulis di Surabaya, 27 Maret 2018
* Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment