Membenturkan konsep rahmat dengan perintah jihad

Membenturkan konsep rahmat dengan perintah jihad

Beginilah Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Ilustrasi menara masjid, tempat peribadatan umat Islam. (Ils: Gabriel Reyes-Ordeix/Dribbble)

Suaramuslim.net – Pegiat pluralisme agama menuduh Islam sebagai agama kontradiktif. Di satu sisi, menggaungkan Islam sebagai agama “rahmatan lil alamin” tetapi di sisi lain mengobarkan jihad (perang).

Mereka berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang membawa kedamaian dan rahmat, sehingga kebebasan beragama merupakan sesuatu yang mendasar. Namun perintah berperang, atas nama jihad, justru berlawanan dengan Islam sebagai agama damai.

Para ulama sudah menjelaskan bahwa misi nabi dan rasul berupaya mengembalikan kehidupan fitrah manusia yang mengagungkan Allah dengan mentauhidkan-Nya. Di tengah perjuangan menegakkan misi itu, para utusan Allah menghadapi orang-orang yang sombong, membangkang, dan tidak mau mengambil pelajaran.

Di sinilah terjadi benturan antara tegaknya tauhid dan terbiarkannya kesyirikan. Allah memang memiliki sifat rahmat bagi mereka yang taat aturan, tetapi siksanya sangat pedih dan keras terhadap para pembangkang dan pelaku maksiat.

Islam dan rahmat

Rasulullah diutus sebagai rahmat bagi alam semesta dan memberi kabar gembira bagi umat manusia. Namun para penolak kebenaran seringkali menghilangkan keberadaan beliau sebagai pemberi peringatan.

Sebagai rahmat, diutusnya Rasulullah memberi keselamatan dan kenyamanan bagi mereka yang taat dan patuh kepada syariat. Namun pada saat yang sama, beliau memberi ancaman dan azab yang pedih kepada mereka yang membangkang terhadap perintah-Nya.

Sebagai pemberi kabar gembira, Rasulullah memberi berita adanya balasan atas perbuatan manusia, baik di dunia maupun di surga kelak. Rahmat yang baik akan didapatkan di dunia, dan ketika di akhirat akan memperoleh surplus bagi siapapun yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Sebaliknya Rasulullah menegaskan adanya ancaman berupa kehinaan di akhirat. Dengan kata lain, keberadaan Rasulullah mendatangkan rahmat bagi para pembangkang, berupa tertundanya siksaan dunia, dan menundanya hingga hari kiamat. Karena bisa jadi orang kafir hidupnya nyaman dan tentram saat di dunia, namun di akhirat mereka akan disiksa dan dihinakan,

Rasulullah telah memberi panduan berperilaku yang baik terhadap sesama manusia, maupun alam semesta. Beliau memberi contoh cara bermuamalah terhadap anak, keluarga, dan masyarakat. Termasuk bagaimana mengagungkan Allah dengan menaati segala perintah-larangan sekaligus cara beribadah kepada-Nya.

Namun kebanyakan manusia memiliki cara sendiri untuk beribadah, yang berbeda dengan tuntunan yang disampaikan nabi. Di sinilah terjadi penyimpangan dalam beribadah kepada Allah, dan tidak jarang apa yang mereka lakukan bertentangan dengan perintah-Nya.

Di sinilah relevansi perintah kepada Nabi untuk mengobarkan jihad di jalan Allah. Jihad yang diperintahkan bukan untuk merusak dan menciptakan kerusuhan tetapi untuk membebaskan manusia dari kegelapan yang bertumpuk-tumpuk menuju cahaya dan memberi petunjuk menuju jalan yang lurus.

Inilah konteks perintah Allah sebagaimana firman-Nya:

“Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang yang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (At-Taubah: 73).

Perintah untuk mengobarkan perang tidak lain sebagai upaya untuk membunuh karakter manusia yang sombong, membangkang, dan melawan berbagai praktik kehidupan yang menyimpang.

Alih-alih tunduk pada aturan Sang Pencipta alam semesta sekaligus Pembagi rezeki, para penolak kebenaran justru menampakkan sikap sombong dan membangkang terhadap apa yang disampaikan nabi.

Kemaksiatan dan azab

Kemaksiatan terbesar dan tak terampuni dosanya adalah tersebarnya kesyirikan di muka bumi. Misi besar diutusnya para nabi dan rasul adalah untuk menghentikan praktik-praktik mempersekutukan Allah.

Kedatangan utusan Allah tidak lain sebagai upaya untuk mengembalikan fitrah manusia yang mengagungkan Allah dengan mentauhidkan-Nya. Ketika mengajak ke jalan yang benar, muncul manusia-manusia congkak dan sombong menghalangi dakwah. Di sinilah perintah jihad dikobarkan guna membungkam manusia-manusia durjana.

Sejarah mencatat bahwa jihad di jalan Allah, dengan memerangi musuh-musuh-Nya, merupakan sebab terbesar tersebarnya agama serta bisa membebaskan manusia dari gelapnya kekufuran menuju cahaya iman.

Terselamatkan dari kekufuran merupakan rahmat terbesar yang diperoleh para hamba sehingga terhindar dari siksaan neraka. Neraka merupakan tempat yang layak bagi mereka yang senantiasa mempermainkan aturan Allah.

“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia. Maka pada hari ini (kiamat), Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan hari ini, dan karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 51).

Sikap orang-orang yang membangkang terhadap aturan dan disertai rasa angkuh diancam Allah dengan balasan yang menghinakan dan dijauhkan dari berbagai kenikmatan yang tidak ada bandingannya.

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat.” (Al-A’raf: 40).

Para nabi dan rasul diutus untuk menyampaikan risalah agung, yang mengajak manusia untuk menyembah hanya kepada Allah. Dalam menyampaikan risalah ilahiyah itu, utusan Allah memberi kabar gembira berupa kelayakan hidup yang hakiki ketika di akhirat, berupa surga. Sebaliknya memberi ancaman bagi mereka yang menyimpang dari dari jalan yang benar, seperti mempersekutukan Allah.

Mempersekutukan Allah merupakan kejahatan terbesar dan tak bisa diampuni. Ketika kejahatan terbesar ini tersebar luas, maka Allah mengutus nabi-rasul untuk berjihad guna mengembalikan kepada fitrah manusia.

Fitrah manusia adalah mengagungkan Allah dan menyembah serta mengikuti aturan Allah sesuai dengan kemampuannya. Siapapun yang patuh dan tunduk pada ajakan nabi akan mendapatkan rahmat (surga), dan yang menolak dan membangkang akan jauh dari rahmat Allah, mendapatkan kehinaan di akhirat berupa siksa neraka.

Surabaya, 20 Januari 2022
Dr. Slamet Muliono R.
Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya (2018-2022)
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment