Membuat Jurnal Syukur, Belajar Dari Bunda Khadijah

Membuat Jurnal Syukur, Belajar Dari Bunda Khadijah

Artikel ini disarikan dari program Mozaik Suara Muslim Radio Network.

Suaramuslim.net – Akhir-akhir ini kita banyak mengalami kekhawatiran, melihat keadaan yang setiap harinya mendengar kabar duka. Rasa syukur akan sangat diperlukan agar kita tetap tenang dalam menjalani hari.

Salah satu yang mengundang rasa syukur adalah membuat jurnal syukur catatan harian sederhana tentang apa yang sudah dan yang sedang kita rasakan dalam setiap detik kehidupan kita.

“Teringat dalam surat Luqman, ‘Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.” Ujar Bunda Kurniati Laila dalam talkshow Mozaik Suara Muslim Radio Network, Rabu (7/7/21).

Sepertinya, imbuh Bunda Kurnia, rasa syukur ini harus terus kita tumbuhkan di masa yang penuh ujian Allah ini.

“Karena setiap kita diberi satu rasa sakit, maka kita harus cari dua atau tiga kenikmatan lainnya. Dengan seperti itu kita akan menjadi pribadi yang bersyukur,” jelasnya.

Ternyata, satu nikmat yang Allah cabut hanya sebagian kecil bila dibandingkan dengan nikmat-nikmat lainnya.

Bagaimana makna syukur dalam kisah Bunda Khadijah?

Dengan bersyukur, Bunda Khadijah menjadi pribadi yang bijaksana. Seperti yang kita tahu di era jahiliah dulu, bayi perempuan dibunuh hidup-hidup. Bunda Khadijh adalah sosok perempuan yang memiliki fitrah kasih sayang yang luar biasa.

“Ketika melihat lingkungannya membunuh hidup-hidup perempuan, Bunda Khadijah langsung mengambil bayi-bayi yang hendak dikubur, kemudian ditampung dan diasuh di rumahnya,” imbuh Bunda Kurnia.

Yang terjadi di tahun-tahun berikutnya, beberapa penduduk Mekkah yang dulu membuang anaknya, ketika melihat sang anak tumbuh sehat, mereka meminta anaknya kembali.

Kemudian Bunda Khadijah bertanya, “Apakah bisa menjamin bila kembali kepada engkau anak ini akan baik-baik saja?”

Orang yang bersyukur pasti akan mengambil langkah di balik ujian yang tidak ia sukai. Jadi dalam kondisi yang tidak nyaman sekalipun, Bunda Khadijah tetap bersikap sangat bijaksana, melakukan sesuatu yang bisa dilakukan mulai dari yang terdekat.

Ini bisa kita kaitkan dengan kondisi saat ini, ketika Allah menguji dengan adanya pandemi. Kita sebagai orang yang sehat lakukanlah apa yang bisa kita lakukan.

Ketika mengetahui saudara kita postif dan sedang isolasi mandiri, kita bisa memberi madu, buah atau bantuan lainnya. Karena dengan kita memberi, itulah wujud rasa syukur kita kepada Allah dan itu adalah langkah bijaksana.

Rasa syukur ini tidak cukup hanya mengucap Alhamdulillah, tapi mari kita lihat sekeliling untuk bijaksana menyikapi apa yang bisa kita lakukan agar saudara kita yang mendapatkan ujian sakit ini bisa lebih mudah menghadapi dengan bantuan kanan kiri.

“Salah satunya kesadaran kita mewujudkan rasa syukur itu dengan empati yang aman. Kalau kita tidak berani mengantar langsung, lakukan dengan hal lain seperti dikirimkan melalui ojek online,” imbuh Bunda Kurnia.

Bentuk syukurnya Bunda Khadijah yang kedua adalah dengan mementingkan orang lain. Terutama suaminya.

Sebelum menikah dengan Rasulullah, Bunda Khadijah memiliki pelayan yang sangat ia sayangi bernama Zaid bin Haritsah. Setelah menikah dengan Rasulullah, beliau terlihat sangat sayang dengan pelayan ini, maka yang dilakukan Bunda Khadijah adalah memberikan Zaid bin Haritsah kepada Rasulullah. Ketika apa yang disayangi diberikan kepada orang lain, maka akan tumbuh rasa cintanya.

Sikap Bunda Khadijah mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri, dapat kita jadikan referensi dalam jurnal syukur kita. Coba lakukan sesuatu yang dengannya orang lain akan mendapatkan manfaat dari keberadaan kita.

Belajar syukur dari Bunda Khadijah yang ketiga adalah menjadi orang yang sabar dan penuh harap kepada Allah.

Bisa kita lihat bagaimana kondisi Bunda Khadijah saat mendampingi Rasulullah kala mendapat wahyu pertama kali, yang dilakukannya adalah sabar namun tetap berikhtiar. Dari sabar inilah kita bisa mengambil pelajaran, bahwa sabar itu hakikatnya bukan hanya diam, tapi harus tetap diiringi usaha.

Buatlah standar bahagia sebagaimana Rasulullah membuat standar, karena kalau kita membuat standar sendiri, kita akan cenderung serakah dan tidak pernah merasa cukup.

Padahal sejatinya, untuk bersyukur itu tidak perlu menunggu kaya. Dengan hidup sederhana, jika kita melibatkan Allah dalam kehidupan kita dan selalu memberi kebermanfaatan bagi orang lain, maka kita akan menjadi pribadi yang serba cukup karena pandai bersyukur.

Kontributor: Sarah Syahida
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment