Memilih yang Kalah

Memilih yang Kalah

Memilih yang Kalah

Suaramuslim.net – Politik tidak bicara menang dan kalah saja. Apalagi saat pesta digelar dan beberapa kandidat bertarung apakah selesai? Yang terpilih dikatakan menang. Yang tidak terpilih dikatakan kalah? Tentu tidak sesedehana itu. Tukang becak ini punya pandangan sendiri.

Tukang becak termasuk kelas bawah. Itu ungkapan orang yang lambat belajar. Mereka punya cara menilai apa itu politik dan secara khusus politik praktis. Mereka punya bahasa sendiri yang tidak dimiliki oleh politikus. Bahkan oleh tukang ojek yang dipanggil oleh aplikasi. Sekarang mulai menjamur.

Becak dan sopirnya, tukang becak saat mereka tidak membawa penumpang mereka berkumpul di pangkalan becak sesuai dengan kesepakatan mereka dimana berkumpul. Membicarakan apa saja termasuk jika musim politik ya politik. Tapi tahukah apa pandangan mereka dengan politik? Secara khusus ketika dekat-dekat kontestasi di pemilu.

Sebut saja namanya Pak Yadi, bapak berumur 56 tahun dan sudah 25 tahun menjadi tukang becak di terminal Ngabean ini. Pak yadi, sering dipanggil punya pandangan politik yang unik. Dia selalu mencoblos calon walikota yang menurut beliau kalah. Untuk gubernur dia tidak memilih karena di Yogyakarta tidak ada pemilihan gubernur. Namun untuk pemilihan presiden bahkan calon legislatif beliau pilih atau coblos yang menurut beliau kalah. Dan prediksinya tidak pernah meleset. Selalu tepat.

Darimana orang tahu? Setelah tanggal pencoblosan, dia selalu bicara dengan teman-temannya jika dia habis memilih si A dan dengan percaya diri menyatakan yang dipilih tidak akan jadi. Tentu saja seperti biasa teman-temannya akan tertawa. “Kowe kok aneh-aneh saja to,” timpal temannya sesama penarik becak. Dan memang seperti biasa, ya, tidak jadi.

Cerita tentang Pak Yadi ini sampai di telinga calon walikota yang tidak terpilih di pilkada salah satu kabupaten di Jawa Tengah beberapa waktu yang lalu. Sebut saja Pak Ilham. Dia penasaran.

“Dengar-dengar jenengan selalu mencoblos yang kalah?” membuka percakapan agak serius setelah canda kesana kemari.

Kulo mboten dukun lo, Pak,” dijawab sedikit mengelak.

Nggeh mboten, kulo ngertos. Menawi kulo diwenehi ngertos kan mboten menopo to?

Nggeh mboten menopo.

Obrolan kembali akrab. Pak Yadi mengemukakan alasan kenapa selalu memilih yang kalah. dia tidak ingin mengingat-ingat setelah mencoblos. Dengan analisa dan mengikuti sepak terjang calon dan dinilai kurang, maka dia akan menjatuhkan coblosan ke calon tersebut. Setelahnya dia melupakan.

Saat ditanya kenapa “melupakan”, dia hanya menjawab. Aku sudah tua. Dan tidak ingin terus mengingat orang yang tidak bisa turun ke bawah. Menemui orang-orang yang makan susah.

Perkataan ini serasa menyindir Pak Ilham. Apakah selama ini dirinya kurang turun ke bawah? Atau minimal bergaul dengan orang-orang yang susah makan? Atau selama ini hanya berkutat dengan pondok dan pondok saja? Entahlah.

“Darimana Pak Yadi bisa mengambil kesimpulan seperti itu?” tanya Pak Ilham yang merasa tersindir.

“Gampang saja. Tukang becak kelas bawah. Dan mereka tidak saja berkumpul di terminal ini saja. Dan kita sering berkumpul. Dari obrolan mereka, tentu saja saya bisa mengambil kesimpulan.” jawab Pak Yadi

Kemudian dengan nada pelan dan tegas, “Saya tidak punya beban untuk mengingatkan pemimpin hasil dari yang saya pilih, jika mereka melenceng dari apa yang dijanjikan.”

“Ketika ditanya kenapa tidak golput saja?” tanya Pak Ilham. “Saya bersyukur dengan demokrasi yang ada di alam Indonesia ini. Meski demokrasi bukan ajaran dari negeri ini, tapi nilai yang ada dalam demokrasi sama dengan nilai kearifan yang ada di negeri ini.”

Pemimpin dipilih dari mayoritas suara. Seperti imam shalat yang disukai mayoritas jemaah lebih utama setelah syarat kemampuan tajwid dan kedalaman ilmu agamanya serta umurnya sama. Selain itu menyukseskan pemilu dengan pilihan pemimpin yang baik termasuk kesalehan politik.

Kontributor: Muslih Marju
Editor: Oki Aryono

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment