Suaramuslim.net – Anakmu bukan milikmu, mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu
Sebab mereka ada alam pikiran sendiri
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi
Kau boleh berusaha menyerupai mereka, namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak berjalan mundur, pun tidak tenggelam di masa lampau
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur
Sang pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya, hingga anak panah itu melesat jauh serta cepat
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana dikasihi-Nya pula busur yang mantap
-Kahlil Gibran-
Anak, selain sebagai penyejuk mata kedua orang tuanya, juga bisa berperan menjadi fitnah yang bisa menggoda, bahkan berpotensi menjerumuskan orang tuanya menuju jurang kenistaan. Cobaan ini bisa terjadi lantaran fitrah orang tua yang sangat mencintai anak-anaknya, sehingga terkadang apa pun yang menjadi tuntutan kebutuhan sang anak, selalu berusaha dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan tanpa reserve ini bisa menjadi salah satu sumber fitnah. Tak mustahil membebani kemampuan orang tua, sehingga tatkala tak terpenuhi, ia bisa menimbulkan intrik (masalah).
Fitrah sebagai khalifah menyiratkan pentingnya jiwa eksploratif, kritis tanpa batas. Untuk itu, sudah seharusnya sistem pengembangan human capital dan pendidikan yang islami dapat mendorong siswa didik untuk berpikir merdeka, kritis, inovatif dan terbuka. Pendidikan yang sesuai dengan fitrah manusia.
Kitabullah seharusnya menjadi dasar dari segala dasar penyusunan sistem pendidikan nasional, yang di dalamnya jelas-jelas menyampaikan bahwa tidak hanya edukasi kognitif semata namun juga pentingnya pengembangan kapasitas yang dibutuhkan di era kompetisi global ini.
Karena pada akhirnya penyembahan yang sempurna dari seorang manusia kepada penciptanya adalah menjadikan dirinya sebagai mandataris Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi dalam mengelola alam semesta.
Mandataris Allah ini salah satunya ditunjukkan dengan sikap kasih sayang dalam mendidik anak-anak. Kasih sayang yang tetap terwarnai dengan ketegasan dan kelembutan. Siapa pun menyukai kelembutan dan sikap simpatik. Hal ini sudah menjadi tabiat manusia, mereka lebih menyenangi sosok-sosok yang penampilannya sejuk tidak angker. Cerminan implementasi kasih sayang ini telah dicontohkan Rasulullah dan beliau mencela orang yang tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada anak-anaknya.
Apabila rasa cinta, kasih sayang orang tua (dan pendidik) kurang tercurahkan pada diri anak-anak, tak mustahil sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang berperilaku aneh di tengah komunitasnya. Misalnya, tidak pandai berinteraksi dengan orang luar, kurang memiliki kepercayaan diri, kurang memiliki kepekaan sosial, tidak mampu menumbuhkan semangat gotong royong atau pun pengorbanan. Kelak, kadang-kadang ia tidak bisa menjadi ayah yang penyayang, atau pasangan yang baik interaksinya dan efek negatif lainnya. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan cinta kasih kepada anak-anaknya.
Layak direnungkan perkataan Ibnu Khaldun, ”Barang siapa yang pola asuhannya dengan kekerasan dan otoriter baik (ia) pelajar atau budak, atau pun pelayan, maka kekerasan itu akan mendominasi jiwanya. Jiwanya akan merasa sempit dalam menghadapi kehidupan. ketekunannya akan sirna, dan menyeretnya kepada kemalasan, dusta dan tindakan keji. Yakni menampilkan diri dengan gambar yang berbeda dengan hatinya lantaran takut ayunan tangan yang akan mengasarinya.”
Orang tua yang sukses dalam mendidik anak harus menjauhi cara-cara hukuman fisik. Impian setiap pasangan adalah, anak-anak mereka tumbuh dan berkembang secara optimal agar kelak menjadi manusia yang memiliki kepribadian matang.