Mendidik Mental Anak Berani Meminta Maaf

Mendidik Mental Anak Berani Meminta Maaf

Mendidik Mental Anak Berani Meminta Maaf
Ilustrasi interaksi anak-anak. (Ils: @mamefuk/Twitter)

Suaramuslim.net – Semua orang tentu pernah berbuat salah, baik disengaja maupun tidak. Namun ada orang yang malu untuk mengakui kesalahan, bahkan kesalahan sering ditutupi dengan cara menghindar dan dapat menimbulkan permasalahan baru. Padahal orang yang berani mengakui kesalahan akan memperoleh pengalaman hidup agar lebih baik.

Mengakui kesalahan perlu dilatih sejak anak usia dini. Karena anak usia dini pun pernah melakukan kesalahan. Orang tua mana yang tidak ingin memiliki anak yang mudah ucapkan kata maaf, terutama jika ia telah menyakiti orang lain. Salah satu hal yang penting namun paling sulit diajarkan pada si kecil adalah untuk meminta maaf.

Padahal, hal ini penting dilakukan agar anak dapat bertanggung jawab pada kesalahan yang mereka perbuat. Karenanya, minta maaf sangat perlu diajarkan sedini mungkin, sebagai salah satu tahap untuk mendisiplinkan si kecil. Mengajarkan si kecil meminta maaf atas tindakannya yang salah merupakan bentuk pembelajaran terhadap proses bersosialisasi anak kelak.

Ini juga menjadi pembentukan mental anak menjadi pribadi yang tidak takut salah dan berani meminta maaf. Namun, baikkah memaksa anak meminta maaf saat ia salah? Memang benar, sikap dan ucapan meminta maaf tidak pernah memandang umur. Baik orang tua atau anak-anak, jika merasa dirinya salah maka sebaiknya meminta maaf. Tapi jangan sampai salah cara mengajarkannya pada anak.

Memaksa bukan solusi mengajari anak meminta maaf

Bagaimana jika si kecil tidak juga menyesal, malah semakin menjadi-jadi perilakunya, haruskah memaksa ia meminta maaf? Melansir dari huffingtonpost.co.uk, penulis dan ahli parenting, Sarah Ockwell-Smith, menuturkan bahwa memaksa anak untuk mengatakan kata maaf bukan pilihan yang baik menurut para ahli. Karena menyebabkan anak tumbuh menjadi kurang bijaksana.

Kita justru mengenalkan kebohongan pada anak. Sebab anak tidak merasa menyesal, namun ia harus mengucapkan maaf dan menyesali perbuatannya. Belum lagi rasa malu atau marah yang dirasakan anak ketika kita memaksa anak meminta maaf di depan teman-temannya. Ini justru membuat anak jauh dari rasa bersalah.

Membiarkannya juga bukan pilihan yang tepat. Kita perlu mengenalkan bagaimana mengenalkan rasa bersalah, menyesal, dan sehingga anak meminta maaf tanpa perlu dipaksakan.

Menanamkan empati kepada anak

Anak yang sudah memahami empati, ia bisa merasakan apa yang orang lain rasakan ketika ia melakukan sesuatu pada orang tersebut. Misalnya menarik kursi, padahal Ayah atau Bunda sedang ambil posisi duduk. Alhasil Ayah atau Bunda terjatuh. Si kecil baru bisa memahami bahwa Ayah dan Bunda terjatuh karena kursi yang ia tarik sebagai lelucon. Apalagi jika anak pernah melihat adegan serupa di televisi, yang selalu diikuti oleh tawa. Anak akan diam-diam belajar dari apa yang ia lihat. Lalu ia praktikkan.

Padahal sebenarnya, jika si kecil bisa larut dalam perasaan orang lain, ia akan tahu kita sedang merasakan sakit karena terjatuh. Lalu ia menyesal karena sudah membuat orang lain sakit, kemudian lahirlah kata maaf dari bibir mungilnya.

Ada beberapa hal, menurut Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang perlu dilakukan agar anak mau belajar mengakui kesalahan:

  1. Ajari anak bersikap jujur.

Sikap yang mencerminkan adanya kesesuaian antara hati, perkataan dan perbuatan, sikap apa adanya, tidak ditutup-tutupi atau tidak berbohong. Sikap anak masih polos sehingga akan sangat mudah kita latih untuk bersikap jujur. Namun anak akan sulit untuk bersikap jujur apabila setiap melakukan kesalahan anak dimarahi orang tuanya atau dihukum. Hal demikian akan membuat anak takut untuk mengakui kesalahan. Berilah reward atau penghargaan dan dukungan sekecil dan seberat apapun kesalahan anak.

  1. Ajari menyimpulkan bersama akibat dari kesalahan dan memperbaiki kesalahan.

Misal anak kita berbuat salah karena membuang kulit pisang sembarangan dan ada orang lain yang terpeleset. Saat itu kita bisa menyadarkan anak. ”Ade, tadi bunda lihat membuang sampah sembarangan, jadi teman Ade jatuh terpeleset kuit pisang. Ayo Ade minta maaf dan kita ambil kulit pisangnya sama-sama yuk!”.

Ajak anak untuk segera minta maaf dan mengajaknya untuk mengambil kembali kulit pisang dan membuangnya di tempat sampah. Jauhkan dari sikap menghakimi sendiri tanpa memberikan solusi saat anak berbuat salah.

  1. Berikan rasa aman dan jangan paksa anak mengakui kesalahan.

Jangan paksa atau marahi kalau anak menghindar dan masih takut untuk mengakui kesalahan. Anak akan semakin takut kalau kita menyudutkan dan memaksa untuk mengakui kesalahan. Berilah dukungan dan rasa aman kepada anak. Kalau mereka sudah merasa aman, biasanya anak pun akan jujur dan berani mengakui kesalahan.

  1. Ajarkan keberanian kepada anak.

Untuk mengakui kesalahan dibutuhkan keberanian. Bila anak belum berani meminta maaf, orang tua dapat menemani anak untuk meminta maaf agar timbul rasa percaya diri pada anak.

  1. Beri contoh nyata dan keteladanan.

Anak-anak adalah peniru ulung. Apa yang dilakukan orang tuanya akan menjadi contoh untuk mereka. Oleh karena itu, saat kita melakukan kesalahan dan diketahui anak, tidak usah malu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan. Berilah contoh nyata kepada anak-anak bagaimana kita bisa memperbaiki kesalahan.

Melatih anak untuk mau mengakui kesalahan dan minta maaf akan memberikan efek yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan serta kepribadian anak, bukan saja di Hari Raya Lebaran. Dengan mau mengakui kesalahan, anak pun akan cenderung dapat bersosialisasi dalam lingkungan dan dapat menjadikannya manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment