Suaramuslim.net – Selama ini gaung-gaung “hargai toleransi” masih terdengar, seakan ditujukan bagi orang yang dianggap intoleran. Kadang naik, kadang turun, tergantung momentumnya. Ada yang mengaku paling “Pancasilais” mendeklarasikan diri mereka sebagai yang paling “pro-kebhinnekaan,” paling toleran. Faktanya, yang disudutkan – sekali lagi – sebagai kaum intoleran adalah orang Islam, khususnya di Indonesia. Bahkan, tuduhan tersebut sampai pada, “anti-kebhinnekaan.” Lalu, apa sebenarnya makna toleransi itu?
Keyakinan dan Kebenaran
Kehidupan berbangsa dan bernegara meniscayakan adanya hubungan sosial masyarakat heterogen yang terus terjalin. Dalam konteks kehidupan dan kerukunan umat beragama, maka sebagai umat beragama kita harus memahami bahwa masing-masing agama memiliki ajaran yang berbeda-beda. Dari titik inilah akan muncul sikap setuju terhadap perbedaan (pluralitas) yang merupakan awal dari toleransi. Ditambah lagi, negara menjamin kemerdekaan tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya (UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29 Ayat 2).
Toleransi berasal dari bahasa Inggris, tolerance. Dalam bahasa Arab dikenal sebagai tasamuh. Dalam kamus Oxford, tolerance berarti kerelaan untuk menerima, terutama pendapat atau perilaku orang bahkan yang tidak kita setujui.
Namun, dalam kamus The New International Webster’s Comprehensive Dictionary, tolerance bermakna bebas dari kefanatikan atau prasangka tentang kebenaran ras maupun agama. Pengertian ini mengindikasikan adanya kebebasan dari kebenaran, termasuk kebenaran agama. Pemaknaan yang demikian mengarah pada makna pluralisme, paham yang menihilkan kebenaran mutlak, atau paling tidak menerima bahwa semua agama sama benarnya. Tentu ini menjadi sebuah masalah.
Di sisi lain, tasamuh menjadi padanan kata lain untuk merujuk pada kerukunan antarumat beragama. Turunan kata tasamuh dapat ditemukan pada hadis dalam Musnad Imam Ahmad, “ismah yusmah laka” (permudahlah, maka kamu akan dipermudah). Hal ini menunjukkan makna tasamuh sebagai tasahul, memudahkan, sebagaimana yang diperkuat Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kitabnya Fathul Bari.
Kemudahan dan keluasan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan hak asasi manusia yang merupakan bagian dari fitrah dari Allah Ta’ala. Dalam pelaksanaannya, tasamuh tetap menunjukkan kejelasan dan kebenaran ajarannya di tengah perbedaan tanpa merugikan ajaran agama lain.
Islam mengakui eksistensi keberagaman agama (pluralitas), namun Islam tidak mengakui kebenaran pada agama selain Islam. Toleransi yang dibangun dalam perspektif Islam adalah sikap saling menghormati tanpa mencampuradukkan keyakinan setiap agama, sehingga tidak sampai mengorbankan kebenaran agama sendiri.
Apa Batas-batasnya?
Toleransi yang dikenal dalam Islam memiliki batas-batas yang jelas. Islam bersifat eksklusif manakala ia berkaitan dengan akidah dan ibadah, sehingga otomatis seorang muslim harus meyakini bahwa agama Islam lah yang paling benar di sisi Allah (Ali-Imran: 19). Jika meyakini kebenaran juga terdapat pada agama lain, maka tidak diterima apa pun amalan darinya dan termasuk orang yang merugi (Ali-Imran: 85).
Toleransi tidak mencakup perihal akidah. Sebab, jika ia mencakup akidah, maka akan jatuh pada kesyirikan. Walaupun begitu, tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam bagi nonmuslim (Al-Baqarah: 256).
Islam menolak bahwa Allah punya anak, mengingkari konsep trinitas (Al-Maidah: 73), menimpali Allah adalah Isa (Al-Maidah: 72), memperingatkan kepada orang yang mengatakan bahwa Allah memiliki anak (Al-Kahfi: 3). Padahal, Allah itu Maha Esa (Ahad) tanpa sekutu (Al-Ikhlas: 1). Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tiada yang setara dengan-Nya satu pun (Al-Ikhlas: 3-4), tiada satu pun makhluk yang serupa dengan-Nya (Asy-Syura: 11). Akan tetapi, walaupun demikian, kita tidak boleh memperolok sembahan agama lain (Al-An’am: 108).
Dalam hal ibadah pun jelas tergambarkan bagaimana tata caranya. Asbabun Nuzul surah Al-Kafirun berkenaan dengan tawaran orang-orang kafir Quraisy kepada Rasulullah agar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mau beribadah kepada tuhan-tuhannya orang kafir Quraisy, dan sebaliknya. Kemudian turunlah surah Al-Kafirun yang tegas memberikan batas dalam beribadah antara kaum mukminin dan orang-orang kafir lakum dinukum wa liya din, untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Islam bersifat inklusif ketika ia berkaitan dengan muamalah kehidupan sehari-hari, saling menolong ketika membutuhkan, memberikan ucapan selamat jika ia memperoleh penghargaan, dan akhlak lainnya. Kaum muslimin diperintahkan untuk berbuat baik dan adil kepada seluruh manusia termasuk orang kafir yang tidak memerangi Islam (Al-Mumtahanah: 8).
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah pernah berdiri menghormati jenazah orang Yahudi yang melewatinya sebagai bentuk penghormatan dari sisi kemuliaan yang Allah berikan. Namun, Rasulullah tidak sampai mengikuti ritual pemakamannya.
Umar bin Khattab pada masa pemerintahannya berhasil menaklukkan Yerussalem tanpa peperangan. Seketika sampai di sana, beliau radhiyallahu ‘anhu malah membiarkan umat Kristiani di sana beribadah menurut agamanya. Dari sini kita bisa mengamati bahwa toleransi tidak hanya sekadar di dalam teks saja, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan dakwah umat Islam.
Kaidah-kaidah di atas semuanya mengacu pada Al-Quran yang merupakan sumber ajaran umat Islam yang diyakini kebenarannya, tiada keraguan baginya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (Al-Baqarah: 2), termasuk sunnah Nabi yang tercermin dalam Sirah Nabawiyah dan sahabat yang juga terdapat banyak praktik toleransi yang diajarkan.
Penutup
Jika ada yang berusaha menggiring untuk tidak membahas persoalan akidah umat, padahal akidah menempati posisi penting karena ia menjadi hal yang bersifat ushul (mendasar) bagi agama Islam, maka perlu diluruskan. Apalagi, malah menggiring untuk membahas; misalnya, isu lingkungan yang bahkan umat Islam, khususnya MUI sebagai pengawal akidah umat, pun sudah memberikan perhatiannya pula pada isu tersebut.
Islam hanya megakui pluralitas (keberagaman) agama, ras, dan kultur sebagai kehendak Allah (Hud: 118), sebab ia adalah sunnatullah. Namun, Islam menolak pluralisme yang memandang semua agama sama benarnya. Hal tersebut dikarenakan terdapat perbedaan mendasar secara teologis antar agama, khususnya tentang konsep ketuhanan. Toleransi dalam kehidupan beragama dapat diwujudkan ketika masyarakat dibebaskan memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya dan tidak memaksa orang lain mengikuti agamanya.
Oleh: Azrul Kiromil Enri Auni
Referensi
Buchori, K. A., 2015. Kerukunan Umat Beragama dalam Perspektif Globalisasi. In: A. Yaqin, ed. Bunga Rampai Kajian Islam: Respon atas Berbagai Masalah Kemasyarakatan dan Keumatan. Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur, pp. 527-535.
Buchori, K. A., 2015. Santri Menggugat JIL & Sekte Pluralisme Agama. Surabaya: MUI Provinsi Jawa Timur.
Nuriz, A. F., 2015. Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan. Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS).
Zarkasyi, H. F., 2012. Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSISTS-MIUMI.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net