Menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Falsafah Negara

Menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Falsafah Negara

Seminar Kajian Titik Temu Membangun Manusia Indonesia dalam Perspektif Pancasila. Foto: suaramuslim.net/Chamdika Alifa

Suaramuslim.net – Kita sebagai pewaris generasi berikutnya dari para pendiri bangsa, pertama-tama yang harus ada di hati dan pikiran kita adalah menerima Pancasila. Kita tidak boleh menolak Pancasila. Bahkan sering berfikir bahwa Pancasila ini sesungguhnya apabila benar-benar kita terima dan kita jadikan sebagai dasar dan falsafah negara, sebagai visi dan misi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila bukan hanya pantas untuk orang Indonesia, tetapi pantas untuk kehidupan dunia.

Pancasila bisa untuk ideologi bukan hanya bangsa Indonesia tetapi menjadi ideologi negara-negara yang lain. Sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa ini harus betul-betul kita hayati, bahwa Indonesia ini adalah negara kaum beragama, bukan negera agama tertentu. Bukan negara Islam, bukan negara Kristen, bukan negara Khatolik, dan sebagainya. Tetapi Indonesia adalah negara besar bagi kaum beragama. Indonesia adalah negara kaum beragama bukan negara agama tertentu. Oleh karena itu agama tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk mengganti Pancasila. Pancasila itu sejalan dengan agama.

Sila yang kedua yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Di Indonesia sering kali kita rasakan yang hampir tidak kita hayati apalagi kita amalkan. Sering menjadi “Keuangan Yang Maha Kuasa.” Karena keimanan Ketuhanan yang Maha Esa kita telah tergantikan oleh Keuangan yang maha kuasa. Segala persoalan di selesaikan dengan uang. Maka masuk pada sila yang kedua, kita menjadi manusia-manusia yang justru biadab.

Cita-cita merubah NKRI menjadi sistim khilafah atau bentuk-bentuk yang lainnya, ingin merubah undag-undang membandingkannya dengan Al-Quran, membandingkan Presiden dengan Nabi Muhammad, membandingkan Soekarno dengan Nabi Muhammad, suatu perbandingan yang tidak seimbang yang demikian ini kemudian mengganggu sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Setiap kita ingin membangun bangsa yang maju, kita harus bersatu. Bersatu dalam tujuan meskipun dengan cara-cara dan metode-metode yang tidak sama. Janganlah kita menjadi orang yang memecah belah persatuan dengan menyebarkan berita-berita yang tidak dibenarkan, menyebarkan fitnah, menganggu ketentraman yang menyebabkan kita tidak bersatu. Persatuan Indonesia bukan hanya slogan.

Memasuki sila yang keempat, sejak dulu kita menyelesaikan persoalan-persoalan bersama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia menuju pembangunan yang lebih maju, menyelesaikan urusan dengan musyawarah dan mufakat. Namun, apa kenyataan yang terjadi bahwa banyak diantara kita yang merasa kehendak-kehendak kita merasa paling benar. Kita sullit untuk bisa menerima pendapat orang lain yang berbeda.

Dan untuk sila yang kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Setiap pimpinan di negeri ini mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota, dan seterusnya ke bawah, kita semua harus mampu untuk men-administrasi keadilan sosial. Keadilan sosial itu harus dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Itu idealnya. Kenapa? Karena kenyataannya keadilan sosial itu baru dirasakan oleh segelintir orang. Ketidak adilan semacam inilah menimbulkan kekerasan-kekerasan yang terus-menerus di negeri kita.

Kalau kita melihat  sila-sila dalam Pancasila itu disitu juga terdapat titik temu dimana nilai Pancasila itu merupakan nilai-nilai universal yang bersumber dari nilai-nilai budaya dan masyarakat Indonesia. Sampai sekarang banyak negara yang belum memiliki ideologi yang cukup kuat, yang ada hanyalah  kepentingan yang kuat. Tetapi Indonesia ini di balik perbedaan kepentingan itu memiliki solidaritas yang kuat dan landasan ideologi mempersatukan bangsa ini.

“Bangsa Indonesia itu memang menjadi bangsa yang welas asih. Kemanusiaan yang adil dan beradab bisa dimaknai dengan welas asih. Manusia yang mempunyai sisi kesensitifan kemanusiaan. Terkadang kemanusiaan kita itu sudah tergeser dan tergusur oleh kekuasaan. Dan kemanusiaan itu menjadi manusia tetap menjadi manusia, tidak sebagai robot.” Tutur Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed sekretaris Umum PP Muhammadiyah dalam kajian Titik Temu dengan tema Membangun Manusia dalam Perspektif Pancasila di Universitas Airlangga Surabaya (20/11).

“Saya sempat ditanya seorang kawan dari agama Kristiani saat Muhammadiiyah bekerjasama dengan salah satu lembaga untuk program kemanusiaan tsunami di Aceh. Yang bertanya ini kawan saya yang Kristen juga. Bagaimana Muhammadiyah kok bisa bekerja sama dengan organisasi Kristen?

Saya jawab, pada sisi kemanusiaan kami membaca kitab suci yang berbeda-beda, tapi kita suci kami yang berbeda iitu mengajarkan hal yang sama bahwa siapapun yang menderita, yang perlu pertolongan harus kita beri pertolongan itu dengan panggilan agama yang berbeda, tetapi di lapangan kita bisa bersama-sama.

Problem kita selama ini adalah tidak adanya komunikasi dan adanya pandangan begitu berbeda tidak ada titik temu yang ada hanya titik seteru. Padahal kalau kita bicara secara terbuka dan mau melihat agama itu dalam konteks yang lebih luas lagi bahwa memang ada perbedaan ilahiyah dan uluhiyah, tetapi pada hal yang berkaitan dengan insaniyah atau kemanusiaan ternyata yang berbeda itu punya titik temu yaitu melayani mereka yang menderita, membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dan uluran tangan kita.

Kalau seperti ini di wadahi oleh negara, di atur oleh negara dalam ruang yang sama dimana kita ini menikmati udara Indonesia seperti menikmati udara kita semua, maka disitulah kita punya Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur atau dalam bahasa Muhammadiyah adalah Indonesia yang berkemajuan.

Disadur dari materi Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’ti dalam diskusi Titik Temu di Universitas Airlangga Surabaya, Rabu 20 November 2019.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment