Mengenal Bendera Rasulullah

Mengenal Bendera Rasulullah

Tiga Mengulang Takdir
(Foto: mediaumat.news)

Suaramuslim.net – Baru-baru ini, netizen dihebohkan dengan pembakaran bendera bertuliskan lafal: “Lailaha illallah muhammadun Rasulullah” oleh salah satu oknum ormas keagamaan. Pro dan kontra pun membanjiri media sosial. Banyak yang mencelanya karena itu merupakan bendera nabi. Tak sedikit pula yang mendukung dan membela diri bahwa yang dibakar itu adalah bendera ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).

Supaya tidak terlalu melebar dan malah menimbulkan konflik yang merugikan umat, yang perlu diketahui adalah gambaran tentang bendera Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam berikut adab muslim terhadapnya. Dalam buku “Fath al-Bāry” (1379: VI/126), ada penjelasan menarik dari Ibnu Hajar mengenai bendera Rasulullah.

Dalam bahasa Arab bendera bisa berarti “liwā” atau “rāyah”. Ada beberapa perbedaan antara keduanya, salah satunya: ‘liwā’ adalah bendera yang dikibarkan secara umum. Sementara ‘rāyah’ yaitu bendera yang dibawa oleh panglima dalam perang.

Sedangkan Ibnu al-‘Araby menjelaskan bahwa ‘liwā’ adalah yang diikat di ujung tombak dan dililit bersamanya. Sementara ‘rāyah’ adalah bendera dari semacam kain baju yang diletakkan di ujung tombak dan dikibarkan.

Lalu, bagaimana dengan gambaran bendera Rasulullah? Berdasarkan riwayat Tirmidzi, al-Hafidz Ibnu Hajar mencatat bahwa bendera (liwā) nabi berwarna putih. Bendera itu pernah dibawa oleh Rasulullah saat pembebasan Makkah. Sedangkan bendera (rāyah) berwarna hitam dari kain wol persegi empat. Riwayat Ibnu Abbas pun juga mengafirmasi kebenarannya.

Selain itu, sebagaimana riwayat Abu Dawud, ada juga bendera (rāyah) yang berwarna kuning. Bahkan pernah warna bendera yang dipakai untuk Bani Sulaim adalah merah. Keterangan ini bisa dibaca dalam kitab “al-‘Umdah al-Qāri” (14/323) karya Badruddin al-‘Ainy.

Masih menurut Ibnu Abbas, pada bendera (rāyah) nabi tertulis kata:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ

“Tiada ilāh yang patut disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.” Hanya saja, menurut Ibnu Hajar riwayatnya ‘wāhin’ (lemah).

Al-Khattabi menjelaskan bahwa nabi memiliki bendera (rāyah) yang bernama ‘al-‘Uqāb’ yang berwarna hitam persegi empat (As-Shiddiqy, 1415: VII/163). Ada juga yang berwarna putih dan terkadang dimasukkan warna hitam di dalamnya.

Jika dalam riwayat terdapat penjelasan yang berbeda-beda mengenai bendera Rasulullah, maka bagaimana cara mengharmonikannya? Badruddin al-‘Ainy (XIV/233) setelah menjelaskan berbagai riwayat tentang bendera Rasulullah beliau mengatakan perbedaan terjadi itu sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi.

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa dari sisi warna, bendera nabi ada yang berwarna hitam, putih, kuning dan merah. Terdapat perbedaan antara bendera ‘liwā’ dan ‘rāyah’. Sedangkan tambahan tulisan kata “La ilaha illallah muhammdun rasulullah” dipermasalahkan kesahihan riwayatnya.

Biar pun demikian, bukan berarti bisa seenaknya saja seseorang memperlakukan bendera yang di dalamnya ada nama Allah subhanahu wa ta’ala atau ada potongan ayat suci Al Quran. Di situ ada adab yang perlu dijaga bahkan ada konsekuensi.

Dalam buku “Hāsyiyatāny” (1956: IV/175-176) yang merupakan gabungan dari karya Qalyuby dan ‘Umairah –ulama bermadzhab Syafi’i- disebutkan bahwa orang yang dengan sengaja meludah, membuang kotoran atau menginjak sesuatu yang di dalamnya terdapat potongan ayat Al Quran atau asma Allah maka itu termasuk perbuatan yang mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Bukankah dalam bendera itu ada kata Allah dan Muhammad yang perlu dihormati?

Dengan penjelasan ini, penulis ingin mengingatkan kepada masing-masing pihak menyikapinya dengan kepala dingin. Bendera Rasulullah itu ada beberapa variasi dan tentunya menjadi semakin sempit ketika diseret pada kepentingan dan pengertian ormas tertentu. Di sisi lain, bagi yang membakarnya, katakanlah itu dianggap sebagai bendera HTI, coba turunkan ego sedikit, bukankah di dalam bendera itu ada asma Allah dan Muhammad sebagai Rasulullah yang perlu dihormati dan disikapi secara beradab?

Mari bersikap arif dan bijak. Jangan sampai konflik ini meluas sehingga menimbulkan perang saudara yang tentu saja berakibat buruk pada internal umat dan akan disukai oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment