Mengubah “Beban” Menjadi “Nikmat” untuk Energi Bangsa

Mengubah “Beban” Menjadi “Nikmat” untuk Energi Bangsa

Mengubah Beban Menjadi Nikmat untuk Energi Bangsa

Suaramuslim.net – Rabu pagi (28/3/2018), saya diundang dalam sebuah talkshow di radio Suara Muslim Surabaya. Dalam percakapan itu, saya bersama seorang pekerja anak, Mbak Riza yang merupakan bagian dari satuan gugus tugas perlindungan anak Jatim. Dalam kesempatan itu saya sampaikan bahwa tidak ada sebuah kejadian itu berdiri sendiri, semuanya melalui proses bersebab akibat. Sehingga apa yang terjadi tidak bisa dipisahkan dengan andil orang lain.

Sebagai contoh, kenapa bisa terjadi kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh ibunya sampai menyebabkan kematian? Bisa jadi orang yang ada di sekitarnya melakukan pembiaran, sehingga orang tuanya merasa tidak ada yang melarang. Bisa jadi dalam setiap persoalan yang terjadi di sekitar kita, ada saham kita untuk terjadinya peristiwa tersebut.

Bangsa yang Merawat Beban

Bukankah dalam setiap peristiwa selalu punya kesan? Ya, dalam setiap peristiwa selalu ada kesan. Kesan yang muncul tentu tidak selalu kesan yang baik, tapi kadang juga kesan yang kurang baik. Namun seringkali kesan kurang baik itulah yang selalu menjadi intensitas perhatian kita.

Sejarah bangsa ini banyak diwarnai dengan luka lama yang menganga, tapi anehnya kita sangat suka mencerna. Nah itulah karena memang kita terlahir dengan banyak beban masa lalu yang ada.

Beban masa lalu pengasuhan kita selalu ditekankan persaingan, bahwa untuk bisa memenangkan kompetisi kehidupan, kita harus bisa mengalahkan orang lain. Tak ada dalam benak kita untuk bisa memenangkan sebuah persoalan maka kita mesti bersinergi, gotong royong, melengkapi, sehingga memunculkan kesadaran saling melengkapi. Padahal sejatinya bersinergi adalah makna hakiki dari kebhinekaan yang kita miliki.

Ketidaksadaran merawat beban itulah yang selalu mewarnai jalan pikiran sebagian anak bangsa. Coba lihatlah bangsa ini seolah terbelah karena bangga merawat beban.

Kita sudah bersepakat bahwa NKRI dibangun atas dasar kebhinekaan, apa yang terjadi? Masjid dihancurkan, tapi semua pegiat HAM dan LSM diam. Bayangkan atas dasar HAM bangsa ini rela membebani dengan kebohongan.

Peringatan akan bahaya bangsa dianggap sebagai igauan, tapi ramalan Jayabaya diimani. Agama dianggap sebagai ilusionis sementara penyakit masyarakat dianggap sebagai gaya hidup. Terlalu banyak beban yang kita rawat. Rekonsiliasi kebudayaan dilawan atas nama Jasmerah, kebhinekaan seperti apa yang dipercaya?

Sejarah luka itu sudah selesai, mengingat boleh, tetapi kalau dijadikan sebagai sebuah pegangan untuk tidak menyatu, bagaimana bangsa bisa maju? Keberanian untuk berubah dan mau menerima adalah prasyarat terjadinya kebhinekaan.

Mulai Mengubah “Beban” Menjadi “Nikmat”

Pernahkah Anda lihat kelompok ibu-ibu yang senang bertemu dengan teman-temannya dalam sebuah kegiatan refreshing. Lalu dia menulis status “saatnya jalan-jalan”, “saatnya refreshing”. Atau kalau anaknya sedang menghadapi ujian sekolah atau punya keperluan apa, lalu menulis status “saatnya momong anak”, “saatnya menjadi tukang ojeknya anak-anak”, atau banyak lagi kalimat sederhana yang kita tulis dalam rangka menunjukkan kepenatan Anda ketika di rumah ataupun bersama anak.

Kepenatan adalah sebuah beban yang diakibatkan oleh aktifitas yang berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi pikir dalam otak. Sehingga untuk mengembalikan fungsi-fungsi itu diperlukan aktivitas alternatif agar tubuh atau otak merasa nyaman kembali.

Nah, akibat menjadikan tugas-tugas domestik sebagai seorang ibu, maka ibu perlu melakukan aktifitas alternatif agar merasa nyaman. Padahal sejatinya tugas-tugas domestik itu adalah “nikmat” yang menyenangkan.

Coba bayangkan mereka yang belum diberi momongan, mereka akan membayangkan betapa nikmatnya punya anak. Sehingga pilihan kalimat yang dipilih oleh seorang ibu ketika menemani anaknya belajar “saatnya menemani anak-anak konsentrasi belajar”, kata “menemani” bermakna kegiatan bersama dan menyenangkan dibandingkan dengan kata “momong” yang menunjukkan hubungan beban.

Mengubah pilihan kalimat bermakna beban menjadi kalimat bermakna energi akan menjadikan sebuah peristiwa ataupun aktifitas terasa menjadi nikmat.

Mendorong Terjadinya Rekonsiliasi Kebudayaan

Gagasan Sultan Hamengku Buwono memulai dari hal kecil untuk melakukan rekonsiliasi kebudayaan, sebagai upaya mengubah beban menjadi energi nikmat, sejatinya menunjukkan jiwa kebhinekaan yang sebenarnya.

Sultan memulai dengan memberi nama-nama jalan di Jogja dengan Jalan Gajah Mada dan Prabu Siliwangi secara berdekatan. Sederhana memang, tapi inilah bagian dari cara menyembuhkan luka dan membangun energi bangsa. Begitu juga yang akan dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat dan Jawa Timur.

Memang harus diakui setiap makna selalu ada peristiwa, dan setiap peristiwa itulah yang melatarbelakangi sebuah nama. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana semangat rekonsiliasi itu berjalan sebagai upaya mengubah beban menjadi energi nikmat membangun bangsa, tapi peristiwa sejarahnya juga bisa kita ingat sebagai pelajaran agar tak terulang lagi. Bagaimana agar rakyat tidak dirugikan dan energi kebaikannya bisa bertambah?

Bukankah kita sudah sepakat bahwa NKRI adalah simbol kebhinekaan dan pengakuannya. Lalu kalau kita masih berpedoman pada beban dan tak mau menerima nikmat akan jadi apa Indonesia?

“Barang siapa bersyukur atas nikmat yang AKU berikan maka akan AKU tambah nikmat-KU, Dan barangsiapa mengingkari nikmat yang AKU berikan, ketahuilah adzab-KU sangat pedih” (Q. S. Ibrahim: 14).

Kebhinekaan adalah nikmat kebangsaan, dengan kemampuan mengharmoni perbedaan maka akan ada energi besar yang kita dapatkan untuk membangun bangsa ini. Kalau nikmat ini kita sia-siakan maka hal sebaliknya akan terjadi. Semoga saja situasi yang terjadi hari ini bukanlah adzab yang kita terima! Semoga bermanfaat!

* Surabaya, 29 Maret 2018
* Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment