Sapa Cinta untuk Pak Dhe Karwo: Jasmerah!

Sapa Cinta untuk Pak Dhe Karwo: Jasmerah!

Sapa Cinta untuk Pak Dhe Karwo Jasmerah

Suaramuslim.net – Setiap orang pasti punya cerita masa lalu, karena dari masa lalulah orang menyusun sejarah masa depannya.

Masa lalu sering dipahami sebagai sebuah sejarah yang berisi tentang rangkaian peristiwa ataupun asal usul sebuah nama. Orang menyebutnya sebagai tetenger. Jadi nama merupakan penanda dari sebuah peristiwa.

Mengganti nama atau menghapus nama sama juga artinya dengan menghilangkan sejarah asal usul dan peristiwa masa lalu.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa para pahlawannya”, begitu ucap Soekarno, sang Proklamator.

Masih ingatkah kita, ketika pasukan RI bisa merebut Papua. Pada tanggal 19 Desember 1961, pemerintah mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora).

Ketika Papua bisa direbut, maka Papua diberi nama lain sebagai penanda wilayah NKRI dengan nama IRIAN BARAT, yang merupakan kepanjangan kata Ikut Republik Indonesia Anti Neitherland.

Belum lagi misalkan kenapa di Surabaya ada tugu yang dinamakan dengan Tugu Pahlawan. Karena ini sebagai pertanda bahwa pernah berkobar semangat perlawanan di Surabaya yang menyebabkan ratusan ribu rakyat Surabaya gugur dalam mempertahankan kemerdekaan RI dan dirobeknya bendera Belanda, Merah Putih Biru menjadi Merah Putih.

Berkaitan dengan nama kita yang diberi oleh orang tua, tentu orang tua kita mempunyai maksud terhadap nama yang diberikan. Ada makna doa dan harapan yang diberikan kepada anaknya dengan nama tersebut.

Begitu juga dengan nama tempat dan nama jalan. Tentu juga sebuah nama diberikan oleh para pendahulu kita bukan asal memberi nama, ada maksud dan doa serta harapan yang diinginkan dari nama tersebut.

Gunung Sari dan Dinoyo sebagai sebuah nama jalan di Surabaya, tentu diberikan oleh para pendahulu kita bukan tanpa maksud, ada maksud yang terkandung di dalamnya.

Nama kampung Dinoyo telah ada sejak tahun 1848, sehingga pemberian nama jalan Dinoyo merupakan sebuah keniscayaan pertanda disana ada kampung yang bernama Dinoyo. Konon cerita tentang kampung Dinoyo Surabaya ini dipahami tempat penampungan mereka yang terusir dari kampung Darmo. Berawal dari pembelian lahan Dinoyo oleh seorang tuan tanah Arab pada 1848, hingga kemudian dipadati penduduk yang terusir dari kawasan sekitar (terutama Darmo) di awal 1920-an.

Begitu juga tentang Gunung Sari, berdasarkan penelusuran cerita didapatkan makna bahwa gunung sari merupakan tempat yang bertekstur batu tapi bisa memancarkan inti bumi, yaitu air, sehingga daerah itu sangat subur. Nah kalau melihat makna tersebut, maka sejatinya kawasan Gunung Sari menampakkan sebuah wilayah yang subur dengan banyak hutan di daerah tersebut.

Sehingga menurut pemahaman saya, penamaan sebuah tempat, akan sangat erat kaitannya dengan asal usul dan harapan masyarakat terhadap tempat itu.

Maksud baik dalam mengubah nama jalan patut kita apresiasi, tapi maksud baik itu ada pada tempatnya. Maksud baik harus dilakukan dengan cara yang baik. Dalam kajian bab adab, di atas ilmu itu ada adab. Sehingga tidak mengubah nama sesuatu berdasarkan maksud ilmu, tetapi juga adab harus diperhatikan.

Adab seperti apa yang harus dipegang dalam belajar sejarah? Jangan sekali kali melupakan sejarah (Jasmerah). Nah kalau ukurannya adab, maka mengubah nama suatu jalan atau tempat yang mempunyai makna sejarah bagi para penghuninya merupakan tindakan nir adab.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadabannya, sehingga kalau rakyat menolak sesuatu yang diyakini sebagai penghapusan sejarahnya, tindakan ini merupakan tindakan keadaban.

Penolakan rakyat Surabaya terhadap upaya Gubernur mengganti jalan Dinoyo dan jalan Gunung Sari, mengingatkan saya pada perjuangan Bung Tomo, ketika tentara sekutu mengultimatum rakyat Surabaya dengan ancaman rakyat Surabaya harus meletakkan senjata, karena seluruh Surabaya sudah dibombardir oleh Sekutu, jawaban Bung Tomo mewakili rakyat Surabaya:

“Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamplet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.

Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan menyrahkan senjata–senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang. Mereka telah minta supaya datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah meminta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera merah putih tanda bahwa kita telah menyerah.

Saudara-saudara di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya. Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku. Pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi. Pemuda-pemuda yang berasal pulau Bali. Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan. Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera. Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada ini di dalam pasukan–pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan rakyat yang di bentuk di kampun-kampung telah menunjukkan satu kekuatan sehinggga mereka itu terjepit di mana-mana.

Hanya karena taktik yang licik dari pada mereka itu saudara-saudara dengan mendatangkan presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini, maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.

Saudara-saudara kita semuanya kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini dengarkanlah tentara Inggris ini jawaban kita ini jawaban rakyat Surabaya ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.

Hai tentara Inggris kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera merah putih untuk takluk kepadamu, kau menyuruh kita mengangkat tangan kepadamu, kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu, tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita:

Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga.

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! Keadaan genting! Tetapi saya peringatkan sekali lagi jangan mulai menembak baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu kita tunjukkan bahwa kita ini benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita saudara-saudara lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka semboyan kita tetap merdeka atau mati.

Dan kita yakin saudara-saudara pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar percayalah saudara-saudara Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar! Merdeka”

Nah kawan… Arek Suroboyo tak akan diam kalau ada yang mengusik sejarahnya, kalau kalian orang Surabaya dan berjiwa pahlawan, maka jangan diam. Ingatkanlah! Kalau tidak mau diingatkan, yuk kita sillaturahmi bareng-bareng ke Grahadi!

Selamat beraktifitas, mulailah hari ini dengan semangat melawan ketidakadilan dan upaya menghapuskan sejarah. (Ditulis di Surabaya, 8 Maret 2018)

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment