Menimbang Deklarasi Al-Azhar tentang Ucapan Selamat untuk Hari Raya Non-Muslim

Menimbang Deklarasi Al-Azhar tentang Ucapan Selamat untuk Hari Raya Non-Muslim

Menimbang Deklarasi Al-Azhar tentang Ucapan Selamat untuk Hari Raya Non-Muslim
Ilustrasi tempat ibadah berbagai agama. (Ils: Egindo.com)

Suaramuslim.net – Konferensi Internasional Al-Azhar tentang Pembaharuan Pemikiran Islam yang berlangsung 27-28 Januari 2020, menghasilkan 29 rumusan deklarasi. Sebagaimana diberitakan laman Kemenag RI, 29 rumusan tersebut dibacakan sendiri oleh pemimpin tertinggi Al-Azhar, Grand Syeikh Prof. Dr. Ahmed Thayyib pada penutupan konferensi.

Tentu keberadaan deklarasi ini mempunyai tempat tersendiri di mata publik umat Islam, mengingat reputasi Al-Azhar sebagai universitas Islam tua yang bergengsi dan diakui di dunia Islam.

Di antara ke-29 rumusan deklarasi tersebut, salah satunya terkait mengucapkan selamat atas hari besar umat agama non Islam yaitu terdapat pada poin 16 dari deklarasi.

Adapun redaksi poin 16 tersebut sebagaimana dimuat dalam El-Watan News sebagai berikut:

من البرِّ الذي دعانا إليه الإسلام تهنئة غير المسلمين بأعيادهم، وما يدَّعيه المتشددون من تحريم هو جمود وانغلاق، بل افتراء على مقاصد شريعة الإسلام، وهو من باب الفتنة التي هي أشد من القتل ومن باب الأذى لغير المسلمين، وليس في التهنئة أية مخالفة للعقيدة؛ كما يدعي المتشددون

Sehubungan dengan deklarasi ini, website dari Kementerian Agama RI telah mengalih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia secara lengkap, sebagai berikut: 

“Salah satu kebajikan yang diserukan Islam kepada kita adalah mengucapkan selamat kepada kaum non-Muslim saat perayaan hari besar mereka. Hukum haram terkait itu yang dikatakan kelompok ekstrem merupakan sikap kaku dan menutup diri (eksklusif), bahkan kebohongan yang mengatasnamakan tujuan umum syariat Islam. Klaim keharaman ini masuk dalam kategori fitnah yang lebih keras daripada pembunuhan, dan menyakiti non-Muslim. Ucapan selamat kepada non-Muslim tidak bertentangan dengan akidah Islam sebagaimana dikatakan kaum ekstremis.”

Memperhatikan rumusan poin 16 di atas, terasa ada hal aneh yang terkesan berlebihan, khususnya jika melihat diksi yang digunakan.

Pertama, menuduh orang yang tidak mau mengucapkan selamat kepada nonmuslim pada hari raya mereka, sebagai orang yang ekstrem (al-mutasyaddidun), jumud, melakukan kebohongan atas nama maqashid al-syari’ah. Lebih dari itu, pada rumusan poin 16 ini dinyatakan, bahwa orang-orang yang mengharamkan ucapan selamat kepada nonmuslim pada hari raya mereka, sebagai orang yang telah melakukan perbuatan fitnah yang lebih dahsyat dari pembunuhan. Tentu tuduhan ini adalah tuduhan yang berat.

Padahal, apabila dicermati dinamika pemikiran ulama saat ini, para ulama memang berbeda sikap dan pendapat dalam memandang hukum pengucapan selamat atau tahni’ah atas hari besar agama selain Islam. Perbedaan ini merupakan konsekuensi dari adanya ijtihad yang meniscayakan perbedaan pendapat, karena memang tidak terdapat nash yang secara tegas melarang melakukannya dan tidak ada pula yang memerintahkannya.

Sejumlah ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syeikh Shaleh Fauzan, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far al-Thalhawi dan sebagainya, menyatakan keharaman pengucapkan selamat atas hari besar dari agama selain Islam. Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin misalnya menyampaikan dalam fatwanya:

تهنئة الكفار بعيد الكريسمس أو غيره من أعيادهم الدينية حرامٌ بالاتفاق 

“Ucapan selamat kepada orang kafir seperti ucapan selamat natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan ulama.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, jilid III hlm. 45).

Ulama-ulama yang mengharamkan sebagaimana nama-nama di atas, sering diasosiasikan sebagai ulama dari kelompok Wahabiyah, sehingga memunculkan kesan, yang mengharamkan hanyalah ulama-ulama Wahabi saja. Kesan seperti ini seolah-olah entah sengaja atau tidak, oleh sebagain orang diangkat sedemikan rupa, untuk dibawa pada stigma bahwa yang mengharamkan identik dengan kaum Wahabi. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Ada banyak ulama termasuk para ulama di Indonesia yang tinggal di daerah yang mempunyai pandangan bahwa penghormatan ataupun pemberian selamat atas hari besar umat agama selain Islam yang dilakukan oleh seorang muslim adalah perbuatan haram. Para ulama daerah yang ada di  pelosok-pelosok ini merujuk pada pendapat ulama-ulama klasik yang menjadi panutan mereka. Misalnya bisa dicermati pandangan dari Ibnu Hajar al-Haitami dalam fatwanya:

ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك (الفتاوى الكبرى الفقهية 4/239) 

Kemudian saya melihat sebagian ulama muta’akhirin menuturkan pendapat yang sama dengan saya, dan mengatakan, di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi telah bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka.” 

Bahkan Ibnu Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang Nasrani apa pun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, atau pun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apa pun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, IV/239).

Pendapat senada dengan yang disampaikan oleh Ibnu Hajar di atas, yang juga dirujuk oleh para ulama di pelosok-pelosok adalah seperti yang disampaikan oleh Syamsu al-Din Muhammad bin al-Khatib al-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj, kitab yang menjadi rujukan pesantren di Indonesia. Dalam kitab ini Ibnu Khatib al-Syarbini menuliskan:

يُعزّر من وافق الكفار في أعيادهم ، ومن يمسك الحية ، ومن يدخل النار ، ومن قال لذمي : يا حاج ، ومن هنأه بعيده ، 

“Dikenakan hukum ta’zir seorang yang mengikuti orang-orang kafir dalam merayakan hari raya mereka, orang yang memelihara ular, orang yang menjerumuskan diri ke dalam api, orang yang berkata pada kafir dzimmi, “hai haji”, dan orang yang memberikan ucapan selamat kepada seorang kafir dzimmi di hari rayanya.” (Mughni al-Muhtaj, IV/255).

Pendapat seperti ini bisa ditemui pula dalam kitab fikih Syafi’iyah yang lain, yang juga dikaji di pesantren-pesantren seperti Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, (lihat Juz IX/181).

Pendapat yang juga menjadi rujukan dalam masalah ini adalah sebagaimana disampaikan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم ، فيقول : عيد مبارك عليك ، أو تهنأ بهذا العيد ، ونحوه ، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات ، وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب ، بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه 

“Adapun ucapan selamat dengan simbol-simbol kekafiran yang mencerminkan kekhususannya, maka haram berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat kepada orang kafir dengan hari raya dan puasa mereka. Misalnya ia mengatakan, hari raya berkah buat Anda, atau selamat dengan hari raya ini dan sejenisnya. Maka hal ini jika yang mengucapkan selamat dari kekufuran, hal tersebut termasuk perbuatan haram. Ucapan tersebut sama dengan ucapan selamat dengan bersujud kepada salib. Bahkan demikian ini lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, membunuh seseorang, melakukan persetubuhan yang haram dan hal-hal lain yang sejenis.” (Ibnu Al-Qayyim al-Jauzi, Ahkam Ahl al-Dzimmah, I/441).

Para ulama yang mengharamkan pengucapan selamat atas hari besar agama non Islam memandang, bahwa ucapan selamat pada saat hari besar keagamaan non Islam adalah bentuk partisipasi dalam pengangungan syi’ar atas praktik kekufuran, yang mengesankan seolah-olah ridha terhadap praktik kekufuran itu. Sedangkan Allah tidak ridha dengan kekufuran itu, sebagaimana firman-Nya.

وَلَا يَرۡضَىٰ لِعِبَادِهِ ٱلۡكُفۡرَۖ 

Dia (Allah) tidak meridhai kekafiran hamba-hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7).

Di sisi lain, terdapat sejumlah ulama kontemporer yang cenderung memperbolehkan memberikan ucapan selamat kepada nonmuslim di hari raya mereka. Terdapat nama-nama yang bisa disebut, seperti Syeikh Ali Jum’ah, Syeikh Mustafa al-Zarqa, Syeikh Yusuf al-Qardhawi, Syeikh Abdullah bin Bayyah, al-Habib Ali al-Jufri, dan lainnya.

Syeikh Musthafa al-Zarqa’ menyampaikan:

إنّ تهنئةَ الشّخص المُسلِم لمعارِفه النّصارَى بعيدِ ميلاد المَسيح ـ عليه الصّلاة والسلام ـ هي في نظري من قَبيل المُجاملة لهم والمحاسَنة في معاشرتهم. وإن الإسلام لا ينهانا عن مثل هذه المجاملة أو المحاسَنة لهم 

“Sesungguhnya ucapan selamat seorang muslim pada temannya yang Nasrani pada perayaan hari Natal menurut pendapat saya termasuk dalam kategori mujamalah (berbasa basi) pada mereka dan muhasanah (berbaikan) dalam pergaulan. Islam tidak melarang kita untuk bermujamalah dan muhasanah dengan mereka.”

Hal senada seperti disampaikan oleh Syeikh Wahbah a-Zuhaili:

لا مانع من مجاملة النصارى في رأي بعض الفقهاء في مناسباتهم على ألا يكون من العبارات ما يدل على إقرارهم على معتقداتهم. 

“Tidak ada halangan dalam bermujamalah (berbasa basi) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fikih berkenaan hari raya mereka asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) akidah mereka.”

Alasan kebolehan tahni’ah (ucapan selamat) atas hari besar agama non Islam menurut ulama yang membolehkannya adalah berangkat dari keumuman dari QS. Al-Mumtahanah [60] ayat 8. Hal ini misalnya sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Ali Jum’ah:

وأعتبر أن هذه التهنئة داخلة في قول الله تعالى: “لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ” 

“Saya mengambil i’tibar bahwa pengucapan selamat (atas hari besar agama non Islam) adalah termasuk dalam cakupan firman Allah (dalam QS Al-Mumtahanah ayat 8) (yang artinya): “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Surat Al-Mumtahanah ayat 8 ini turun berkaitan dengan kasus Asma binti Abu Bakar r.a. Suatu hari ia kedatangan ibunya Qatilah yang tidak lain adalah mantan istri Abu Bakar, yang saat itu masih dalam keadaan musyrik. Ibunya membawa hadiah untuknya, tetapi karena ibunya masih kafir, Asma menolaknya. Peristiwa ini kemudian disampaikan oleh Aisyah kepada Nabi Muhammad, maka turunlah Surat al-Mumtahanah ayat 8 ini (lihat Tafsir Ibnu Katsir, VIII/90).

Ayat ini secara umum menjadi dasar kebolehan berinteraksi dengan nonmuslim selama mereka bukan orang yang memusuhi umat Islam.

Setelah melihat adanya perbedaan ijtihad dari para ulama sebagaimana di atas, tidak pas rasanya jika pihak yang berbeda dianggap sebagai mutasyaddidun (kaum ekstrem). Lebih-lebih jika kelompok yang berbeda pendapat ijtihadnya dituduh telah berbuat fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan.

Ungkapan fitnah lebih kejam dari pembunuhan, di dalam Al-Qur’an terdapat di dua tempat, pertama dalam Al-Baqarah ayat 191:

وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ ثَقِفۡتُمُوهُمۡ وَأَخۡرِجُوهُم مِّنۡ حَيۡثُ أَخۡرَجُوكُمۡۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۚ وَلَا تُقَٰتِلُوهُمۡ عِندَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِيهِۖ فَإِن قَٰتَلُوكُمۡ فَٱقۡتُلُوهُمۡۗ كَذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلۡكَٰفِرِينَ 

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.”

Pada ayat 191 surat al-Baqarah ini menggunakan redaksi al-fitnatu asyaddu min al-qatli. Berkaitan dengan ini, Imam al-Thabari menafsirkan, yang dimaksud dengan al-fitnatu asyaddu min al-qatli adalah syirik itu lebih besar dari pada pembuhunan. Ungkapan kata fitnah diartikan dengan syirik adalah mengikuti pendapat Mujahid, Qatadah, al-Dhahak, dan al-Rabi’ (lihat Tafsir al-Thabari, III/293-294).

Penjelasan yang sama sebagaimana dimuat dalam tafsir Ibnu Katsir (lihat Juz I/525), juga penjelasan al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf (Juz I/396), bahwa syirik itu lebih besar dari peperangan yang dilakukan di bulan haram, padahal perang di bulan haram adalah masalah besar. Demikian pula bahwa perilaku orang-orang kafir menghalang-halangi kaum muslimin ke Masjid al-Haram adalah fitnah yang lebih besar dari pembunuhan di bulan haram itu sendiri.

Imam al-Baghawi menjelaskan ayat ini, bahwa fitnah yang dimaksud adalah kemusyrikan orang-orang kafir (yang memerangi kaum muslimin), hal ini lebih besar daripada pembunuhan yang dilakukkan kaum muslimin di bulan haram dan pada saat melakukan ihram (lihat Tafsir al-Baghawi, I/214). Penjelasan seperti ini pula yang disampaikan oleh KH. Bisyri Musthafa dalam tafsirnya yang berbahasa Jawa, Al-Ibriz (lihat Juz II/68).

Orang-orang kafir itu telah membuat fitnah, memaksa agar orang-orang Islam kembali kepada kemusyrikan, sehingga umat Islam terusir dari tempat tinggal mereka karena mempertahankan agama. Fitnah sepert ini lebih besar bahayanya daripada pembunuhan yang dilakukan kaum muslimin di bulan haram. Maka Islam memerintahkan memerangi mereka sekalipun di bulan haram. Namun demikian ada batasannya tidak diperbolehkan berperang di Masjid al-Haram kecuali karena orang-orang kafir itu memulai. Inilah penafsiran secara umum dari QS. al-Baqarah 191 ini.

Kemudian, ungkapan fitnah lebih kejam dari pembunuhan, di dalam Al-Qur’an juga terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 217:

يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلشَّهۡرِ ٱلۡحَرَامِ قِتَالٖ فِيهِۖ قُلۡ قِتَالٞ فِيهِ كَبِيرٞۚ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفۡرُۢ بِهِۦ وَٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ وَإِخۡرَاجُ أَهۡلِهِۦ مِنۡهُ أَكۡبَرُ عِندَ ٱللَّهِۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ أَكۡبَرُ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمۡ عَن دِينِكُمۡ إِنِ ٱسۡتَطَٰعُواْۚ وَمَن يَرۡتَدِدۡ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتۡ وَهُوَ كَافِرٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ 

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Pada ayat 217 QS. Al-Baqarah ini, redaksi yang digunakan adalah: al-fitnatu akbaru min al-qatli. Kata fitnah dalam ayat ini yang dinyatakan lebih kejam dari pembunuhan di bulan haram adalah perbuatan orang-orang kafir memaksa kaum muslimin untuk kembali pada kekufuran dengan menyiksa dan memperdaya.

Peperangan di bulan haram tanpa alasan adalah dosa besar, dan kaum muslimin tidak suka melakukannya. Namun demikian, perbuatan orang kafir yang kejam itu, yang memaksa kaum muslimin kembali pada kekufuran adalah lebih besar bahayanya dibanding dengan pembunuhan di bulan haram itu sendiri. Karena itu peperangan seperti ini diperbolehkan untuk menghindari dari fitnah keburukan ini.

Dengan memperhatikan penafsiran terhadap surat Al-Baqarah ayat 191 dan 217 di atas, bisa diambil simpulan bahwa penggunaan ungkapan fitnah lebih keras dari pembunuhan untuk orang-orang yang mengharamkan pengucapan selamat atas hari besar agama non Islam adalah tidak tepat.

Fitnah memang bermakna cobaan atau ujian, tetapi fitnah yang dinyatakan lebih besar dari pembunuhan dalam Al-Qur’an adalah fitnah berupa paksaan untuk kembali pada musyrik, bukan sembarang fitnah. Sementara itu, soal pengucapan selamat atas hari besar agama non Islam oleh umat Islam adalah soal perbedaan ijtihad, dan bukan fitnah. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Ainul Yaqin
Sekretaris Umum MUI Jatim

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment