Menjadi Insan Rabbani Pasca Ramadan

Menjadi Insan Rabbani Pasca Ramadan

Menjadi Insan Rabbani Pasca Ramadan
Ilustrasi orang berdoa (Ils: Dribbble/@Wildan Kurniawan)

Suaramuslim.net – Rasanya seakan baru kemarin Ramadan datang menghampiri kita, meskpun menyambutnya di tengah-tengah wabah corona. Kini ia telah pergi, karena datang dan pergi sudah menjadi bagian dari sunnatullah dalam kehidupan ini. Tinggallah kini kenangannya yang selalu membekas di hati.

Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa para sahabat mempersiapkan selama 6 bulan sebelumnya untuk menyambut kehadiran tamu agung dan mulia, Ramadan. Wajarlah ketika Ramadan itu datang, mereka mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam beribadah selama sebulan penuh itu.

Bagaikan bertemu dengan seorang yang sangat dirindukan, mereka berlama-lama bersama dengannya, menjamu, memberinya pelayanan sebaik mungkin. Dan barang tentu akan merasakan kesedihan yang teramat dalam ketika harus berpisah dengannya dan yang dirindu itu telah berlalu.

Demikian pula yang mereka rasakan usai kepergian Ramadan, mereka tidak tertarik dengan baju baru, kue-kue dan makanan ala lebaran seperti umumnya kita. Tapi mereka justru bersedih, karena kepergian tamu agung itu.

Menjaga istiqamah pasca bulan penuh berkah

Sebagai seorang mukmin, tentulah selalu bertanya dalam benak kita; apa yang terjadi sesudah Ramadan? Masihkah kita semangat ibadah dan amal saleh di bulan-bulan setelah itu? Ataukah sirna begitu saja seiring dengan kepergiannya?

Padahal ketika Ramadan, kita selalu taat kepada Allah, memperbanyak amal-amal ibadah wajib maupun sunnah, merasakan betapa nikmatnya ibadah dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, sering tadarrus (membaca) Al-Qur’an, iktikaf, menjaga salat jamaah, begitu ringannya kita melaksanakan semua perintah dan meninggalkan segala yang dicegah.

Semua terpulang pada prinsip kita untuk menjaga output tarbiyyah Ramadan berupa ketakwaan dalam segala aspek kehidupan. Ada beberapa prinsip dalam merefleksikan nilai takwa sekaligus mentransportasi ajaran-ajaran Ramadan untuk mengoptimalkan potensi diri, antara lain:

1. Musara’ah atau fastabiqul khairat

Yakni bersegara dalam merebut setiap peluang yang ada untuk melakukan kebaikan dan bersegera melakukan kebajikan guna meraih ampunan Allah swt dan surga-Nya (Ali Imran 133).

2. Mujahadah (kesungguhan) 

Melakukan amal saleh secara maksimal dan beribadah secara optimal. Dengan prinsip perjuangan dengan penuh pengorbanan.

Sahabat Ubay bin Ka’ab mengilustrasikan bahwa ketakwaan itu ibarat melewati jalan terjal yang penuh duri. Tentu butuh kehati-hatian dan kesungguhan. Ia berangkat dari niat yang ikhlas kemudian secara nyata ditunjukkan dengan amal yang serius dan penuh kesungguhan disertai kekhusyukan dalam doa. Maka Allah swt memuji dan berjanji menunjuki jalan bahagia hakiki di dunia ini menuju surga di akhirat nanti. (Al Ankabut: 69).

3. Mulazamah atau istimroriyah (kontinyu dan berkesinambungan).

Firman Allah Azza wa Jalla:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”  (Fushshilat: 30).

Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat, yang artinya: “Apakah amalan yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab: “Amalan yang dilaksanakan secara berkesinambungan (kontinyu) walaupun sedikit.” (Al-Bukhari).

4. Wasathiyyah atau tawazun (keseimbangan) 

Konsep maksimalisasi amal saleh tidak berarti harus bersikap ekstrem dalam mengaktualisasikannya. Akan tetapi melaksanakan ibadah sesuai dengan kesanggupan meskipun tidak juga memandang remeh apalagi dengan cara asal-asalan dan bersikap gegabah.

5. Khauf dan raja’ 

Hendaknya kita merasa takut akan amalan yang tertolak; puasa, salat malam yang panjang, tilawah yang khatam berulang-ulang, infak harta, serta segudang amalan ibadah lainnya.

Marilah kita lebih banyak berkontemplasi, dan bermuhasabah. Namun di sisi lain sekuat tenaga berusaha dan berharap kepada Allah agar amal-amal kita diterima-Nya. Di antara ciri diterimanya amal ibadah seseorang dalam bulan Ramadan adalah keringanannya dalam mengerjakan kebaikan dan ibadah, serta jauhnya mereka dari melakukan kemaksiatan kepada Allah Swt.

Begitulah sehausnya siklus hidup kita sebagai seorang mukmin, renggang waktu dari Ramadan ke Ramadan berikutnya diisi dengan taqarrub ilallah. Di samping itu, hendaknya kita memiliki kepribadian yang layak untuk diteladani sebagai insan Rabbani.

Walhasil, menjadi pribadi yang saleh pasca Ramadan bukanlah hal fiktif. Kita baru saja meninggalkan terminal ruhy, kita sudah men-charger diri kembali. Baterai full yang kita miliki, ditargetkan bertahan untuk sebelas bulan berikutnya. Berupa amalan puasa yang lain, puasa sunnah 6 hari Syawal misalnya. Sebagaimana riwayat dari Abu Ayyub Al Anshari, Rasulullah bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (Muslim).

Juga ada puasa sunnah lainnya, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa Arafah, Asyura, puasa Daud, dsb. Qiyamul lail juga masih tetap bisa kita lakukan. Seperti disebutkan bahwa Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat yang dilakukan di malam hari. (Muslim).

Intinya, kita tidak menjadi manusia Ramadan, yang optimal ibadahnya selama sebulan saja, dan free di sebelas bulan berikutnya. Tapi kita menjadi manusia rabbani, yang selalu mengingat Allah kapan dan dalam bagaimana pun kondisi kita, seperti karakter ulul albab yang termaktub dalam Al-Qur’an, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (Al Imran: 191).

Semoga kita termasuk kaum yang berkomitmen dan istiqamah dalam beramal saleh pasca Ramadan tahun ini dan dipertemukan lagi di tahun depan nanti dengan suasana yang lebih baik lagi. Aamiin. Wallahu A’lam.

Khozin Mustafid, S.Ag, M.Pd.I – Narasumber Program Solusi Ustaz Radio Suara Muslim

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment