SURABAYA (Suaramuslim.net) – Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi M. Nasir menegaskan kampus harus bersih dari politisasi. Untuk itu, calon presiden dan calon wakil presiden tidak boleh berkampanye di kampus.
Hal ini ia sampaikan ketika mengomentari pertanyaan tentang calon presiden dan calon wakil presiden yang datang ke lembaga pendidikan termasuk kampus.
Kampus dalam Pusaran Politik
Menanggapi hal ini, Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Dr. Bachrul Amiq melalui sambungan telepon dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 9.38 fm (15/10/18) menilai birokrasi pemerintah harus bersikap netral, baik dari sisi politik yaitu bukan merupakan bagian dari kekuatan politik tertentu (partai politik) maupun dari sisi administratif.
Akan tetapi, lanjutnya, ketika lembaga non pemerintah yang bukan institusi negara disamaratakan, tidak diperbolehkan mengadakan agenda yang berbau politik, sulit, karena semestinya politik merupakan bagian dari pendidikan di kampus.
“Akan tetapi, Indonesia sebagai negara hukum, Komisi Pemilihan Umum pun sudah menerbitkan peraturan tentang penyelenggaraan pemilu yang menyebut lembaga pendidikan harus netral. Maka kampus sebagai lembaga pendidikan harus terbebas dari kegiatan politik praktis,” ungkapnya.
Menurut Dr Amiq, dalam peraturan itu yang tidak diperbolehkan jika ada kegiatan kampanye pemilu 2019 di lembaga pendidikan. Namun menjadi tidak mungkin apabila seorang politisi dilarang memasuki kampus, karena dari kunjungan para politisi itulah bisa dibuka ruang diskusi seperti seminar, yang justru membawa pembelajaran politik bagi mahasiswa.
“Kita taat dan tidak menjadikan kampus tempat kampanye bagi calon presiden, calon wakil presiden, calon bupati, walikota dan calon legislatif. Namun saat ada misi yang berbeda dari hadirnya politisi ke kampus, untuk memberikan pendidikan politik, kami sangat senang dan memberikan apresiasi agar dapat memberi pencerahan bagi mahasiswa,“ ungkapnya.
Kampus Dilarang Memihak?
Dr. Hufron, Dosen Hukum Universitas 17 Agustus Surabaya dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim 93.8 fm (15/10/18) menegaskan, peserta pemilu dilarang melakukan kampanye dengan megunakan fasilitas, tempat pendidikan dan tempat ibadah, namun dalam pasal 69 ayat (1) huruf h PKPU nomor 23 Tahun 2018 tidak ada penjelasan secara spesifik dan implementasinya sangat luas.
Permasalahanya, ujar Hufron, jika calon presiden yang masih menjabat sebagai presiden dia boleh datang kemana saja, maka ketentuan ini menjadi tidak fair, sementara calon presiden lain tidak bisa bebas memasuki lembaga pendidikan.
“Di sisi lain tentu akan sulit membedakan pasangan incumbent sebagai presiden mengunakan fasilitas sebagai apa? Penyelenggara negara, pemerintah atau pasangan calon. Jika dia non aktif menjadi adil, persoalannya di Indonesia jabatan Presiden dan wakil presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara,” ujarnya.
Menurut sudut pandang hukum, Hufron menjelaskan, secara normatif memang dilarang, tetapi praktiknya ternyata sering dilakukan berbagai pasangan calon. Sementara bawaslu yang bertugas untuk mengawasi proses pengelenggaraan pemilu tidak mengawasi dengan baik.
Dia menyebut defisini kampanye merupakan tindakan dan usaha yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan, menawarkan program, visi, misi dan citra diri.
“Jika di sebuah kampus atau tempat pendidikan lain sudah ada tulisan selamat datang kepada calon presiden atau wakil presiden, maka ini sudah termasuk citra diri dalam bentuk kampanye,” ucapnya.
Seharusnya, ujar Hufron, KPU menjelaskan tentang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan secara terperinci. Namun jika KPU tidak berani maka bisa melakukan revisi UU menggunakan asas Similia Similibus yaitu hal yang sama diperlakukan sama, pasangan calon presiden harus mempunyai perlakuan sama.
“Dalam konteks seperti ini bawaslu belum terlihat taringnya jika melihat seorang pejabat negara yang juga menjadi calon presiden menggunakan fasilitas negara untuk kampanye. Jika hal ini diabaikan maka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu harus bertindak, apakah ada dugaan pelanggaran pemilu apa tidak? Sehingga semua pihak bekerja untuk menyukseskan pemilu 2019,” imbuhnya.
Hufron menekankan, sekali ada pelanggaran jika tidak ditindak maka akan menjadi penyakit kronis yang akan terulang. Misalnya banyak terjadi kasus pasangan incumbent yang sulit ditegakkan karena faktor kedekatan hubungan politik sehingga peserta pemilu mendapatkan kesempatan yang tidak sama atau tidak adil.
“Untuk mencapai pemilu yang berintegritas dan bermartabat, semua harus bekerja, baik KPU, Bawaslu dan DKPP,” pungkasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir