Mewaspadai Kekeringan di Jawa Timur  

Mewaspadai Kekeringan di Jawa Timur  

Mewaspadai Kekeringan di Jawa Timur  
Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Amien Widodo (batik), Kepala stasiun meteorologi BMKG Juanda Bambang Hagiyono (tengah) dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, Suban Wahyudiono dalam talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM (12/08/19). (Foto: Suaramuslim.net).

Suaramuslim.net – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperingatkan kekeringan akan berlangsung lebih panjang tahun ini. Kekeringan tahun ini akan cukup panjang sampai September dan puncaknya adalah Agustus.

Pusat Data Informasi dan Humas BNPB merilis, sampai saat ini sudah ada 1.996 desa di tujuh provinsi yang mengalami kekeringan. Provinsi itu antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, dan NTB. Menurut BNPB, kekeringan tahun ini lebih panjang dibanding tahun sebelumnya. Hal itu disebabkan adanya fenomena el-nino.

Kepala stasiun meteorologi BMKG Juanda Bambang Hagiyono dalam talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM (12/8) menjelaskan, ada faktor penyebab terbentuknya iklim di Indonesia.

“Monsoon sangat mempengaruhi pola cuaca di wilayah tropis dan umumnya berkaitan dengan musim hujan dan kemarau. Indonesia yang merupakan wilayah yang dipengaruhi oleh monsoon. Faktor itu dapat dilihat dari suhu permukaan laut di Pasifik dan Samudra Hindia. Saat ini, kondisi muka laut Pasifik dan India bagian barat tergolong hangat. Sedangkan wilayah Indonesia masih basah. Hal itu menyebabkan bulan-bulan ini Indonesia tidak turun hujan,” papar Bambang.

“Faktor regional yang berlangsung 6 bulan ini berarti monsoon Australia masih bertiup, jadi udara yang melewati Indonesia khususnya Jatim sifatnya dingin dan kering, maka masih di bulan ini masih dilanda muslim kemarau,” paparnya.

Bambang menjelaskan, musim hujan di Jatim tentu berbeda-beda, umumnya peralihan musim itu muncul diawali September, Oktober hujan mulai meluas dan November daerah Jatim semuanya akan diguyur hujan. 

Begitu pula pada bulan ini, imbuhnya, kemarau yang terjadi di Jatim berbeda-beda. Kemarau dikatakan membahayakan itu bisa dilihat dari kekeringannya, karena dengan adanya kekeringan maka berdampak pada mudahnya terjadi kebakaran. 

“Meski puncak kemarau terjadi pada bulan Agustus hingga September pada daerah tertentu, tetapi menurut data BMKG, September juga diprediksi sudah mulai turun hujan khususnya daerah Jember dan sekitarnya,” tandasnya.

Kekeringan Melanda 24 Kabupaten di Jatim

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, Suban Wahyudiono dalam talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM (12/08/19) menyatakan, antisipasi bencana muslim kemarau selalu dilakukan.

Wilayah Jatim memiliki geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkin akan terjadi bencana. Apalagi di Jatim mengenal iklim tropis antara lain kemarau dan muslim hujan. Jika hujan datang, maka terdapat bencana banjir, angin puting beliung, dan tanah longsor. Sedangkan musim kemarau bencanaya seputar kekeringan, kebakaran hutan dan lahan.

“Kekeringan merupakan salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak penyimpangan iklim global seperti El Nino dan Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering terjadi bukan saja pada periode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun dalam keadaan kondisi normal,” paparnya.

Menurut  Suban, dalam ilmu kebencanaan ada 4 tipe kekeringan. Kekeringan meteorologis, berkaitan dengan tingkat curah hujan yang terjadi berada di bawah kondisi normal dalam suatu musim. Kekeringan hidrologis, kekeringan pertanian, dan terakhir kekeringan sosial ekonomi. Namun domain BPBD adalah kekeringan sosial ekonomi berkaitan kebutuhan dasar manusia.

“Kekeringan ekonomi itu berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekeringan meteorologis, pertanian dan hidrologis,” paparnya.

Saat ini, lanjut Suban, Setidaknya, ada sebanyak 15 kabupaten/kota di Jawa Timur yang ditetapkan BPBD Jatim berstatus siaga darurat kekeringan. Daerah yang mendapatkan status siaga darurat kekeringan itu adalah Kabupaten Magetan, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Mojokerto.

“Dari jumlah itu, sebanyak 24 kabupaten di antaranya mengalami kering kritis (suplai air kurang dari 10 liter per orang per hari), sedangkan empat lainnya kering langka. Bahkan, dalam pemetaan yang lebih rinci oleh BPBD Jatim tercatat ada 566 desa di 199 kecamatan yang tidak ada air sama sekali.

Jika dipetakan kembali dari 38 kabupaten itu, yang paling tinggi yaitu Sampang menjadi daerah dengan desa terbanyak mengalami kering kritis. Ada 67 desa yang mengalami kondisi kering kritis. Selanjutnya Kabupaten Tuban sebanyak 55 desa. Kabupaten lainnya dengan jumlah desa cukup banyak mengalami kering kritis seperti Kabupaten Pacitan, Ngawi, dan Lamongan.

“Di Sampang setelah kami datangi, untuk mengambil air bisa didapatkan jaraknya mencapai 6 hingga 7 kilometer. Bahkan ada ada pondok pesantren yang diliburkan karena airnya tidak ada. Kami membawa cuma 2 tangki air karena jalannya cukup sulit, sempit dan menanjak,” jelasnya. 

Ada beberapa daerah yang kesulitan air tinggi, desa Maduran kecamatan Ngoro Mojokerto, sumber air bisa didapatkan melalui perpipaan 15 km dari gunung Arjuno. Begitu pula, Lumajang utara meski kelihatan subur, namun letak sumber air berada di bawah, sementara desa warga terletak di atas. Maka untuk menaikkan air ini selalu gagal, karena untuk menaikkan melalui pompa tidak cukup kuat.

Solusi Bencana Kekeringan 

Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Amien Widodo dalam talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM (12/08/19) mengatakan, selama bertahun-tahun penanganan bencana kekeringan dilakukan secara responsif saja, seperti PMK (ada kebakaran, PMK datang menyemprot air, pulang). 

Pemerintah, ujarnya, hanya menyediakan dana besar untuk menyediakan air dalam bentuk tangki air. Bencana kekeringan bukan terjadi secara tiba-tiba tapi melalui proses yang terkait dengan aktivitas manusia mengingat jumlah air yang bersiklus di suatu kawasan jumlahnya tetap. 

Kalau kegiatan pembangunan dan aktivitas manusia tidak memperhatikan siklus keseimbangan air maka siklus akan terganggu.

“Jika setiap hujan akan terjadi kebanjiran pasti ada sesuatu yang salah, penanganan bencana selama bertahun-tahun, paling tidak sebelum tahun 2007, negara hanya kenal responsif terhadap bencana dan ini menjadi budaya reaktif dan sedikit sekali upaya antisipatif,” jelasnya.

Menurut Amien, tahun 2007 ada upaya perubahan budaya respons tersebut lewat UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang memberi amanah agar pemerintah melakukan upaya antisipasi sebelum, saat dan sesudah bencana terjadi dengan tujuan pengurangan risiko bencana. 

Dengan UU No. 24 pemerintah bisa melakukan kajian penyebab dan pemicu kekeringan sehingga bisa dipakai dasar dalam mengurangi bencana kekeringan.

“Padahal kalau kita amati dan teliti secara saksama penyebab dan pemicu bencana bisa kita dapatkan sehingga kita bisa melakukan pencegahan atau bisa mengurangi risikonya. Salah satu penyebab utamanya adalah perubahan penggunaan lahan di bagian lereng dan puncak pegunungan,” tandasnya.

Amien menjelaskan, kekeringan air sumur dan mata air serta kekeringan sungai tidak akan terjadi kalau air hujan yang meresap ke dalam tanah mengisi cadangan air bawah tanah di pegunungan. Hujan akan meresap ke dalam tanah kalau ada hutan di gunung. 

Hutan gunung mampu menyerapkan 80% air hujan dalam satu musim meresap ke dalam tanah, disimpan dan dikeluarkan sebagai mata air di sekeliling gunung dan akan keluar secara proporsional selama setahun mengisi sungai agar tidak kering dan mengisi cadangan air sumur.

“Penghutanan kembali kawasan resapan di puncak gunung harus segera dilakukan. Pemerintah harus tegas mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan hutan lindung dan kawasan resapan. Kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi kawasan puncak gunung. Sebab, kawasan tersebut sudah beralih fungsi secara masif, sistemik, dan terstruktur. Saat ini kawasan tersebut ada yang sudah dimiliki perorangan ataupun pengembang besar,” pungkasnya.

Puncak gunung ini tidak boleh diubah menjadi kawasan budidaya. Penghutanan kembali dengan reboisasi jelas tidak efektif karena butuh waktu lama untuk tumbuh. Untuk itu, bersamaan dengan reboisasi, dibarengi dengan rekayasa vegetasi. Yakni penanaman batang pohon yang masih hidup dengan aturan sekitar 2/3 masuk ke dalam tanah, 1/3 muncul di permukaan atau ditaruh. Harapannya, dari batang yang tertanam, tumbuh akar serabut yang akan mengikat dan memperkuat tanah.

“Keuntungan yang sangat penting adalah terisinya cadangan air tanah sehingga sumur-sumur gali dan sumur-sumur bor tetap berair saat kemarau. Desa-desa yang selama ini kekurangan air bisa mengupayakan sumur bor dalam dengan Dana Desa yang mereka dapatkan,” tutupnya.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

  

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment