Misa Requiem untuk Demokrasi

Misa Requiem untuk Demokrasi

Demokrasi dan Nasib Suatu Bangsa
Ilustrasi Democrazy. (Ils: hunterellenbarger/dribble)

Suaramuslim.net – Trumpisme selama 4 tahun terakhir menandai kematian demokrasi di Amerika Serikat (AS), sebuah negara yang sampai hari ini digadang-gadang sebagai kampiun demokrasi. Democracy dies in the dark.

Dengan gaya dan dinamika yang berbeda, demokrasi itu juga sedang sekarat di Republik ini. Pesta demokrasi Pilpres dan Pileg 2019 yang lalu ternyata sebuah persiapan misa requiem menjelang kematian demokrasi. Trumpisme ternyata diiikuti oleh Jokowisme yaitu sebuah paham yang mendewa-dewakan sosok Jokowi bahwa Jokowi can do no wrong. Bahkan sejak pelantikannya, Ketua MPR sudah menyatakan akan pasang badan membela Presiden Jokowi sampai titik darah penghabisannya.

Di tengah utang yang makin menggunung mencapai Rp12 ribu triliun, harga kebutuhan pokok yang membubung tinggi, pengangguran yang meluas, regulasi yang makin menganakemaskan investor asing sambil mengancam lingkungan hidup dan jaminan tenaga kerja, dan korupsi BUMN yang makin menggila, Pemerintahan ini jalan terus tanpa kontrol yang efektif dari siapa pun, termasuk parlemen. Rencana Omnibus Law dan pemindahan ibu kota juga tampak berjalan lancar bak di jalan tol tanpa public discourse yang berarti.

Sementara itu kebijakan Kampus Merdeka yang diluncurkan Mas Nadiem masih dirumuskan pelaksanaannya oleh para rektor, dengan perkecualian: jangan menentang kebijakan Pemerintah. Presiden yang merdeka berjalan seiring sejalan dengan Kampus Merdeka.

Kampus makin terpapar penyakit profesionalisme and qualitisme yang makin parah, sementara kehadirannya di bumi tempatnya berpijak makin kehilangan makna dan relevansi. Saat relevansinya dipertanyakan bagi keterdidikan bangsa ini, baik kampus maupun sekolah justru makin menjadi tempat terbaik untuk menyombongkan diri.

Kang Yudi Latief beberapa waktu silam telah menengarai bahwa kedunguan telah menjadi arus utama wacana publik kita. Intelektualitas makin kehilangan tempat. Gelar Doctor Honoris Causa dengan mudah dihadiahkan pada para politikus yang tidak cukup puas dengan semua privillege yang melekat pada kekuasaannya. Kini mereka ingin menguasai jagad akademik pula tanpa kredibilitas. Dan kampus pun melakukannya dengan lugu tanpa merasa bersalah, apalagi malu.

Julajuli Suroboyo yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga oleh sekelompok arek Suroboyo hari Ahad 16 Februari 2020 kemarin mencoba menolak pasrah atas skenario all istana final sebagai misa requiem itu berlangsung selesai dengan aman terkendali.

Sukolilo, 17 Februari 2020

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment