Modal Bahagia dalam Al Quran

Modal Bahagia dalam Al Quran

Ilustrasi Hijrah. (Ilustrator: Ana Fantofani)
Ilustrasi muslimah. (Ilustrator: Ana Fantofani)

Suaramuslim.net – Al Quran adalah kitab suci yang lengkap, yang tidak ada kekurangan sedikit pun di dalamnya. Lafaznya yang mulia mudah dipahami. Susunan kalimatnya sangat indah menyentuh hati. Dan, selain sebagai pedoman dalam kehidupan yang luas, Al Quran juga merupakan pelipur lara hati yang berduka dan solusi jiwa bagi mereka yang ingin meraih bahagia.

Salah satu prinsip yang ditanamkan Al Quran dalam kehidupan ini adalah Allah SWT menurunkannya untuk kebahagiaan kita, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 1-3 di surah Thaha. Kalau kita memahami ayat itu, maka maknanya, “Sungguh, Kami telah mewahyukan Al Quran ini kepada engkau, ya Muhammad, tujuannya tidak lain adalah untuk kebahagiaan agar engkau dan umatmu tidak sengsara di dunia dan selamat di akhirat.”

Jika kita mengabaikan segala aturan yang sudah ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al Quran, maka akan berakibat pada kesengsaraan. Allah SWT menegaskan, “Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 24).

Kebahagiaan itu merupakan dambaan setiap manusia. Fitrah manusia tidak menginginkan adanya kesengsaraan, baik lahir maupun batin. Namun, terkadang manusia berpikir secara materialistis bahwa kebahagiaan itu ada pada kebendaan yang bisa kita rasakan semata; pada harta yang kita miliki, pada kecantikan dan performa diri, dan lain sebagainya.

Jika ukuran kebahagiaan hanya ada pada aspek dunia, mengapa banyak orang yang bergelimang harta, berpangkat dan bertahta, serta berkedudukan dan berkuasa, tetapi hidup dalam kegelisahan?

Jawabannya, karena aspek batinnya gersang; ketiadaan iman dan kedekatan pada Tuhan yang semakin berjarak. Inilah fitrah yang tidak bisa dimungkiri. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki, seluas apa pun kekuasaan di dunia yang ia pegang; jika jauh dari Allah Rabbul ‘alamin, abai akan peringatan-peringatan-Nya yang tertera dalam Al Quran, maka ia akan terus hidup dalam kegelisahan dan kesengsaraan.

Cara Meraih Kebahagiaan

Lalu, bagaimana cara meraih kebahagiaan? Lapangkan jiwa kita dalam menerima kebenaran dari Al Quran. Karena di antara aspek kebahagiaan itu ada pada kelapangan jiwa dalam menerima seruan-seruan Allah, menundukkan diri untuk taat pada perintah dan larangan-larangan-Nya. Tak ada kebahagiaan yang hakiki, selain rida terhadap segala keputusan Allah. Perhatikan firman Allah SWT dalam surah Al-Insyirah (Alam Nasyrah) berikut ini:

Bukankah Kami melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu. Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanlah hendaknya kamu berharap. (QS. Al-Insyirah: 1-8)

Dalam surah ini, Allah SWT memberikan penjelasan kepada Rasulullah SAW tentang nikmat yang Allah berikan kepadanya. Karena pada saat beliau menerima berbagai macam tantangan dalam berdakwah, intimidasi-intimidasi, upaya-upaya pelecehan agar beliau dan umatnya tidak bahagia dan merasa susah, Allah SWT menghibur hati beliau dengan turunnya surah ini.

Dengan mendengar, merenungi, dan membaca ayat ini, Rasulullah langsung bangkit dari keterpurukan. Jika tadinya merasa kesusahan karena melihat kondisi masyarakat yang enggan untuk menyambut seruan dakwahnya, memperbaiki kehidupannya berdasarkan tauhid, maka di sini Allah menenangkan Rasulullah SAW dengan menanamkan beberapa prinsip kebahagiaan.

Allah menyatakan bahwa bahagia itu ada di dalam diri kita. Bahagia itu bukan disebabkan oleh keadaan, bukan oleh orang lain, bukan pula oleh materi, dan sebagainya. Sebaliknya, kebahagiaan itu ada karena Allah SWT yang memberikan kebahagiaan itu. Kebahagiaan itu ada pada kedekatan kita kepada-Nya.

Jadi, Allah SWT mengatakan kepada Rasulullah SAW, “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?” Maka sungguh tidak ada celah lagi bagimu untuk merasa kesusahan dalam berdakwah, kesempitan dalam menyerukan kebenaran dari Rabbmu. Karena, Allah SWT menjamin; setelah kesulitan, Allah akan bukakan pintu-pintu kemudahan.

Ada satu riwayat dalam Sirah Nabawiyah (perjalanan kenabian) yang menyebutkan bahwa Nabi SAW telah mengalami dua kali pembedahan oleh malaikat Jibril di dadanya. Peristiwa syarhu shadr (pembelahan dada) beliau dilakukan untuk membersihkan hatinya. Ini adalah peristiwa supranatural yang ada dalam hadis-hadis sahih, dalam hadis Al-Bukhari, misalnya.

Bagaimana itu terjadi? Ini di luar nalar kita. Namun, yang harus kita yakini, hal itu terjadi karena perhatian dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW agar dadanya lapang, bahagia, dan tidak merasakan kesempitan dalam berdakwah.

Kalau dalam konteks kita sebagai umat Rasulullah SAW, tentu ayat-ayat di dalam Al-Quran bukan hanya turun kepada beliau saja, melainkan juga bisa kita hayati sebagai umat dan hamba-Nya; bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Rasulullah SAW sudah merasakan kebahagiaan sejati sebagaimana yang dirasakan oleh beliau.

Bahagia Saat Dosa Diampuni

Prinsip pertama, dari mana datangnya kebahagiaan itu? Tentunya berasal dari Allah SWT. Dia yang memberikannya kepada kita dengan izin dan iradah-Nya. Lalu, di mana letak kebahagiaan itu? Kebahagiaan itu ada di hati kita, di lapangnya dada kita dalam menerima kebenaran yang datang dari-Nya. Hati adalah sumber dari amal perbuatan. Jika hati kita rusak, maka rusaklah jiwa kita seluruhnya. Jika baik, maka kebaikan itu akan melahirkan kebahagiaan.

Kebahagiaan itu sangat penting. Betapa pun kehidupan kita itu nyaman; punya harta; punya keluarga yang baik, punya kendaraan yang bagus, punya rumah yang tentram, tetapi kalau di dalam dada kita tidak tenang, maka hampalah arti dari kebahagiaan itu. Jadilah kebahagiaan itu hanyalah arti fisial yang hanya terlihat di permukaan. Tidak ada gunanya kebahagiaan fisik kalau dalam hati kita sendiri tidak mengalami ketenangan-ketenangan batin atau jiwa itu. Inilah yang diajarkan Al Quran.

Hati kita akan bahagia jika Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita. Karena dosa ini adalah sesuatu yang bersarang di dalam hati, maka jika kita terus menambah dosa-dosa setiap hari, akan muncul noda-noda hitam yang mengotori dan membuat hati ini menjadi tidak bahagia.

Mereka yang melakukan dosa, secara fitrah hatinya tidak akan bahagia. Sabda Rasulullah SAW, “Dosa itu adalah sesuatu yang ada di hatimu, dan kamu tidak suka hal itu diketahui oleh manusia.” (HR. Muslim).

Jadi, yang menyebabkan kita tidak bahagia adalah adanya dosa-dosa dalam diri, bercokolnya maksiat dalam hati kita sehingga selalu merasa terbebani. Dalam surah Al-Insyirah di atas tadi jelas bahwa dosa adalah sesuatu yang akan menghancurkan tulang punggungmu (alladzi an qadha zharaka). Jika kita memiliki beban dosa, kehidupan kita menjadi tidak nyaman.

Prinsip kebahagiaan itu adalah saat dosa-dosa diampuni Allah SWT, yaitu dengan bertaubat, beristigfar, memohon ampunan sambil terus memperbaiki diri. Bukan hanya taubat secara lisan, melainkan juga harus ada perubahan. Taubat itu harus diiringi dengan perbuatan yang baik untuk menghapus perbuatan maksiat sebelumnya.

Prinsip kebahagiaan itu juga adalah ketika memiliki pujian yang dilakukan oleh orang-orang setelah kita meninggal dunia. Dalam surat Al-Insyirah disebutkan: Wa rafa’naa laka dzikrak. Kami angkat derajatmu sehingga engkau (Muhammad) dipuji oleh seluruh umat manusia.

Kebahagiaan sebagai umat Rasulullah SAW ini juga ada kaitannya dengan bagaimana kita meninggalkan warisan yang baik untuk keturunan kita, menjadi perbincangan yang baik buat orang-orang sepeninggal kita. Karena itu, doa orang-orang saleh digambarkan oleh Nabi Ibrahim as (Ibrahim berdoa), “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku ilmu dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan.” (QS. Asy-Syu’ara: 83-85).

Kita ingin meninggalkan dunia ini tentu dengan kenangan yang baik. ada pepatah yang mengatakan: “Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading.” Lalu, manusia mati meninggalkan apa? Ya, meninggalkan nama. Nama baik kita harus kita jaga; nama baik keluarga, nama baik orang tua. Ini salah satu prinsip juga bagaimana kita menjaga kebahagiaan dalam diri.

Prinsip yang lain adalah bahwa setiap ada kesulitan pasti di situ ada kemudahan. Dalam ungkapan Al Quran pada surah Al-Insyirah disebutkan bahwa pada setiap satu kesulitan itu Allah berikan dua kemudahan. Karena, kata al-usr (kesusahan) dalam ayat itu menunjukkan satu obyek yang sama, sedangkan kata yusran (kemudahan) karena berbentuk indefinitif (nakirah) menunjukkan sesuatu yang berbeda dengan kemudahan yang pertama. Jadi, satu kesulitan Allah berikan dua kemudahan.

Apa maksud Allah menegaskan ini kepada kita? Maksudnya, dalam menghadapi segala macam masalah kehidupan, Allah SWT telah menjamin bahwa jika kita mau berikhtiar, mau berdoa, mau berusaha, Allah akan memberikan dua jalan keluar untuk satu kesulitan.

Kalau kita membayangkan, kemudahan itu akan datang setelah kesulitan itu lewat. Begitu, bukan? Tapi, ternyata tidak. Dalam Al Quran disebutkan frasa ma’al usri artinya kemudahan itu sudah ada bersama dengan kesulitan itu sendiri. Ini untuk memberikan ketenangan jiwa kita bahwa tidak ada suatu beban yang kita hadapi tanpa adanya pertolongan Allah SWT. Dan Allah sudah berikan kemudahan itu bersamaan dengan adanya kesulitan tersebut.

Misalnya, ketika kita terkena musibah sakit, maka pada saat itu dinyatakan oleh Nabi SAW bahwa sakit adalah penggugur dosa-dosa, padahal sakitnya belum selesai. Ketika sakit banyak bertawakal, banyak memuji Allah, maka itu bisa menjadi sarana untuk menggugurkan dosa-dosa kita.

Kita terkilir kemudian sedih, tetapi kemudian kita bertawakal kepada Allah dalam menghadapi rasa sakit itu, maka Allah nyatakan bahwa hal itu bisa menggugurkan dosa-dosa kita. Jadi, ada kebaikan di balik sesuatu yang kita anggap tidak baik.

Manfaatkan Waktu Luang

Prinsip kebahagiaan yang berikutnya adalah memanfaatkan waktu luang seoptimal mungkin. Jangan sampai ada waktu luang terbuang percuma. Karena, Al Quran menyatakan bahwa jika kita memiliki keluangan waktu, maka segeralah isi dengan hal-hal yang bermanfaat; segeralah beribadah, bekerja, berikhtiar. Jangan sampai ada waktu kosong yang tidak bermanfaat.

Prinsip kebahagiaan lainnya adalah kita menyandarkan harapan-harapan hanya kepada Allah SWT. Bagaimana masa depan, karier, rezeki, itu semua kita pasrahkan hanya kepada Allah. Kita hanya diwajibkan berikhtiar dengan cara yang terbaik, lalu berdoa, kemudian bertawakal menyerahkan semua urusan kepada-Nya.

Solusi Islam terhadap segala masalah di dunia ini adalah dengan cara mengembalikannya kepada fitrah. Kembali kepada Allah, berserah diri kepada-Nya, dan terus memohon ampunan sambil melakukan usaha-usaha perbaikan. Inilah yang akan melahirkan kebahagiaan dalam hati. Allah firmankan, “Sesungguhnya kepada Tuhanmulah kamu akan kembali.” (QS. Al-Alaq: 8).

Untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan, maka yang bisa memberi resep dalam memperbaiki itu hanyalah Allah. Karena Dia lah yang menciptakan manusia, Yang Maha Mengetahui mana maslahat bagi manusia dan mana yang tidak. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah memperdalam, mengkaji formula-formula yang ada di dalam Islam supaya mendapatkan panduan bagaimana menghadapi setiap masalah. Kita racik dari obat atau resep yang kita ambil dari Allah untuk kehidupan ini.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment