Suaramuslim.net – Muhasabah itu harus kulla yaumin, any time, setiap saat. Karena hakikatnya manusia menginginkan perubahan kebaikan baik terkait kuantitas maupun kualitas.
Perbaikan terus menerus karena memang manusia itu tidak sempurna. Di sinilah dibutuhkan muhasabah atau evaluasi diri atau dalam dunia manajemen itu ada istilah monev (monitoring & evaluation) yang dilakukan secara periodik.
Namun manusia menyenangi momen tertentu untuk muhasabah, seperti akhir tahun dan awal tahun. Hal itu boleh saja karena Nabi Muhammad pun menyenangi sebuah momen. Seperti di saat di Madinah suatu waktu penduduk Yahudi memperingati kemenangan Nabi Musa atas Firaun, Nabi Muhammad berkata;
“Saya lebih layak menghormati Musa daripada kalian. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa.” (Riwayat Al-Bukhari).
So… Kapan pun bermuhasabah itu sah saja, termasuk di akhir atau awal tahun.
Apalagi dalam Islam Muhasabah itu penting dan harus dilakukan sebagaimana Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Bermuhasabahlah atas diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab pada hari kiamat, dan timbanglah amal kalian di dunia ini sebelum nanti ditimbang pada hari kiamat. Sesungguhnya kalian akan merasa ringan dengan bermuhasabah pada hari ini untuk menghadapi hisab kelak. Dan berhiaslah kalian (dengan amal sholeh) untuk menghadapi hari pameran agung. Pada hari itu perbuatan kalian akan ditampilkan, tidak ada yang tersembunyi sedikitpun.”
Kita menemui ayat yang inspiratif dan motivatif serta populer untuk dijadikan dasar muhasabah, yaitu Q.S. Al-Hasyr ayat 18-19.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ١٨ وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ نَسُواْ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١٩
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Kalau kita lihat ayat tersebut ada hal yang bisa menjadi inspirasi dan motivasi untuk manusia dalam muhasabah atas dirinya sebagai berikut;
Ayat itu ada perintah untuk bertakwa yang diulang dua kali
Pakar tafsir Imam al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (17/29) berkata: “Dikatakan bahwa takwa yang pertama, maksudnya adalah taubat dari dosa-dosa yang telah lalu. Adapun taqwa yang kedua adalah menghindari dari maksiat di masa mendatang.”
Artinya bahwa terhadap dosa masa lalu sudahlah dilupakan, tutup buku. Karena memang tidak ada manusia yang sempurna. Tidak perlu diungkit lagi jika membuat tidak bersemangat untuk menatap masa depan.
Dosa apapun di masa lalu harus dirahasiakan. Biarlah hanya Allah dan diri pendosa saja yang tahu. Bukankah seorang yang bertaubat seperti tidak ada dosa sama sekali?
“Orang yang bertaubat dari perbuatan dosa, seperti orang yang tidak melakukan dosa.” (Hadis riwayat Ibnu Majah & Al-Baihaqi).
Ingatlah kasus Ma’iz yang ingin bertaubat karena melakukan zina. Ketika melapor kepada Nabi Muhammad untuk dirajam, Nabi enggan menerima laporannya karena risikonya itu dosa akan diketahui banyak orang. Namun setelah dirajam, maka ia bersih dari segala dosa (yang andai dengan bertaubat dan merahasiakannya sudah bersih dari dosa).
Perintah takwa kedua di ayat itu, adalah agar kita berhati-hati dan tetap berpegang teguh dengan syariat Allah, agar kedepan tidak lagi jatuh dalam kesalahan dan dosa yang berulang.
Hari esok yang dekat dan esok yang jauh
Di antara dua perintah takwa itu ada perintah untuk selalu melihat dan memperhatikan apa yang seharusnya dilakukan esok hari.
Inilah perintah untuk selalu bermuhasabah agar selalu ada perbaikan. Adapun perbaikan itu tidak berhasil jika tidak diawali ketakwaan dan selalu diakhiri dengan ketakwaan. Artinya kesuksesan itu jika hidup diwarnai dengan menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Apa yang dimaksud dengan esok hari dalam ayat wal tanzhur nafsun maa qoddamat lighod?
Menurut Dr. Ahmad Zain Annajah, MA, hari esok di ayat itu artinya ada dua; hari esok yang dekat dan hari esok yang jauh.
Hari esok yang dekat adalah hari-hari mendatang di dalam kehidupan dunia ini bisa satu hari lagi, satu minggu lagi, satu bulan lagi, satu tahun lagi, sepuluh tahun lagi dan seterusnya. Yang jelas, setiap diri kita harus mempersiapkan diri untuk masa depan.
Ayat ini memerintahkan kita umat Islam untuk selalu mempunyai rencana dan rancangan yang matang dalam setiap aktivitas, tidak asal kerja, tidak asal beramal. Sehingga hasil kegiatan yang terencana dan terprogram dengan rapi akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bermanfaat, baik di dunia ini maupun di akhirat.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabada;
“Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dia tergolong orang yang beruntung. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dia tergolong orang yang rugi. Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dia tergolong orang yang celaka.” (Riwayat Al-Hakim).
Setiap hari esok selalu ada muhasabah diri dengan monev dan itu dilakukan dengan cara sebagai berikut.
- Muhasabah sebelum beramal
Harus dievaluasi apakah ketika beramal sudah dilandasi dengan keikhlasan dan keterikatan dengan syariat. Apakah motivasinya karena ingin mendapatkan pahala Allah atau materi.
Berkata Imam Hasan al-Bashri:
“Mudah-mudahan Allah selalu memberikan rahmat kepada seorang hamba yang selalu merenungi sebelum melakukan aktivitas, jika diniatkan karena Allah, maka ia lakukan aktivitas tersebut, tetapi jika bukan karena Allah, dia urungkan aktivitas tersebut.”
- Muhasabah saat beramal
Selalu bersemangat dan istiqomah untuk terus on the track syariah. Berdoa kepada Allah agar senantiasa berada di jalur syariatnya dan kekhsyu’annya. Itulah kenapa kita selalu berdoa dan diulang-ulang, dengan doa “ihdinash shirathol mustaqiim” yang berarti “Ya Allah bimbinglah kami terus ke jalan yang lurus.”
Dalam hadis riwayat Abu Dawud, dari Muadz bin Jabal, Rasulullah menasihati Muadz agar tidak meninggalkan shalat sebelum mengucapkan:
‘اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah, bantulah aku untuk berzikir dan bersyukur kepada-Mu serta beribadah kepada-Mu dengan baik.”
- Muhasabah setelah beramal
Muhasabahnya, apakah amal yang sudah dilakukan sudah berefek positif (manfaat positif) kepada diri, keluarga dan masyarakat?
Apakah ngajinya di sebuah majelis dari Senin sampai Jumat berefek positif kepada diri dan keluarganya? Apakah masih emosian?
Apakah masih suka maksiat? Padahal sudah shalat, puasa dan mengaji. Kalau itu terjadi berarti ada yang salah dalam ibadahnya yang harus diperbaiki.
Adapun hari esok yang jauh maksudnya adalah hari akhirat, maka setiap diri kita hendaknya mempersiapkan bekal amal untuk dibawa ke akhirat.
Imam al-Qurtubi berkata, “Hari esok adalah hari kiamat. Orang Arab menyebut sesuatu yang akan datang dengan esok hari.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الكَيْسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنِ اتَّبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّي عَلَي الله
“Orang yang cerdik adalah yang selalu menahan hawa nafsunya dan beramal untuk sesudah mati, sedangkan orang yang lemah adalah yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (Riwayat At-Tirmidzi, hadis hasan sahih).
So… Be al kayyis! Jadilah orang yang cerdas, karena semua orientasi hidupnya di dunia ini hasil monev-nya untuk hari esok yang abadi kelak di akhirat.
Setelah itu Allah mengingatkan manusia agar tidak menjadi orang yang fasik
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al-Hasyr: 19).
Siapa yang dimaksud orang fasik di ayat itu? Yaitu mereka yang melupakan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Kalau itu terjadi, maka Allah akan membuat lupa akan asal-usul dirinya.
Lupa terhadap asal-usulnya yang dulu tidak ada, kemudian menjadi ada. Dulu, dia hanya berupa air mani yang hina, kemudian Allah menjadikannya menjadi orang yang dewasa dan kuat, kemudian akan kembali lemah dan akhirnya mati dan kembali lagi kepada Allah.
Kalau seseorang lupa kepada Allah, dia akan lupa kepada hal-hal tersebut, selanjutnya dia akan berbuat semena-mena, sombong dan semaunya di muka bumi ini. Sehingga membuat lupa pula beramal saleh dan akan semakin terpuruk kepada kesibukan duniawi seolah ia dapat kebahagiaan darinya. Padahal yang ada hanyalah kegelisahan karena keluarga pada berantakan dan anak-anak pada durhaka.
Ketika seseorang lalai dari ajaran Allah dan Rasul-Nya, ia akan dilalaikan dengan keluarganya dan ini adalah kerugian dunia akhirat.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُلۡهِكُمۡ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Q.S. Al-Munafiqun: 9).
So… Teruslah tatap hari esok yang abadi dengan ketakwaan fokuslah kepadanya, maka hari-hari esok yang indah akan selalu diperoleh.
Be Al-Kayyis….❤️
Wallahu A’lam