Liberalisme: Kesyirikan Tidak Mendatangkan Azab

Liberalisme: Kesyirikan Tidak Mendatangkan Azab

Ilustrasi Penyesalan dosa (Ilustrator: Ana Fantofani)
Ilustrasi Penyesalan dosa (Ilustrator: Ana Fantofani)

Suaramuslim.net – Kaum Liberal berpandangan bahwa kesyirikan saja tidak akan membuat murka Allah. Yang membuat murka Allah ketika suatu kaum melakukan tindakan kerusakan.

Tindakan kerusakan yang dimaksud sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nabi Syu’aib ketika berbuat curang dengan mencuri takaran/timbangan, atau kaum Nabi Shalih yang berani menyembelih unta, juga kaum Nabi Luth yang melakukan hubungan sesama jenis (homoseksual).

Dengan kata lain, Allah mengazab suatu komunitas bukan karena berbuat syirik. Namun narasi kaum Liberalisme terbantah oleh Al-Qur’an.

Allah menunjukkan bahwa mereka yang berbuat syirik merupakan faktor utama turunnya azab meskipun kondisi mereka dalam keadaan damai dan sejahtera, serta perilaku mereka dipandang mulia.

Kesyirikan dan kejahatan sejati

Pendukung gagasan Liberalisme agama berpandangan bahwa perbuatan syirik saja tidak membuat suatu kaum dibinasakan Allah. Mereka meyakini bahwa kebinasaan suatu komunitas disebabkan oleh ketiadaan upaya perbaikan di tengah masyarakat, seperti membiarkan kezaliman, kealpaan terhadap penegakkan keadilan, atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Mereka berdalil dengan ayat berikut:

“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan bangsa-bangsa secara zalim manakala penduduknya berbuat kebaikan.” (Q.S. Hud: 117).

Namun mereka lupa bahwa Al-Qur’an banyak memberi narasi yang menunjukkan bahwa ancaman justru tertuju pada mereka yang berbuat syirik kepada Allah. Kesyirikan merupakan kejahatan besar yang harus dijauhkan dari masyarakat.

Beberapa kisah berikut menunjukkan bahwa kesyirikan merupakan kejahatan yang harus dihindari.

Pertama, Bilqis dan penyembahan matahari

Kisah yang diketengahkan Al-Qur’an sangat menakjubkan di mana Bilqis merupakan pemimpin perempuan yang hidup dalam berkecukupan dan rakyatnya mematuhi segala perintahnya, termasuk memerintahkan untuk menyembah matahari.

“Kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar. Aku (burung Hud hud) dapati dia dan kaumnya menyembah matahari, bukan kepada Allah; dan setan telah menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan (buruk) mereka, sehingga menghalanginya dari jalan (Allah), maka mereka tidak mendapat petunjuk. Mereka (juga) tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan yang kamu nyatakan.” (QS. Hud: 23-25)

Ketika mendengar berita dari burung Hud hud itu, Nabi Sulaiman langsung mengirim surat dan siap menerjunkan bala tentara bila tidak mengindahkan ajakannya untuk menyembah Allah.

Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan syirik merupakan pelanggaran berat sehingga harus segera diperingatkan.

Kedua, kaum Nasrani dan pengakuan Isa sebagai anak Tuhan

Pengakuan adanya sekutu Allah merupakan kejahatan yang mengganggu keheningan di langit dan bumi.

“Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Hampir saja langit pecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu). Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” (Q.S. Maryam: 88-92).

Adanya pengakuan bahwa Allah mempunyai anak telah menciptakan kegoncangan langit, terbelahnya bumi, dan runtuhnya gunung-gunung. Mahkluk Allah yang sangat besar dan kokoh bisa menunjukkan kemarahannya ketika manusia mempersekutukan Allah dengan kepemilikan anak.

Ketiga, Abu Thalib dan balasan neraka

Abu Thalib telah mengerahkan daya dan upayanya untuk membela Nabi Muhammad dari gangguan pemuka Quraisy. Nabi sangat mencintai pamannya dan menginginkan keislaman sehingga bisa masuk ke dalam surga. Namun Abu Thalib memilih agama lama Quraisy dan mati dalam kekafiran.

Nabi pun menyebut bahwa hukuman yang menimpa Abu Thalib sangat berat, ketika kakinya tersentuh api neraka, maka otaknya mendidih. Seandainya bukan karena syafaat beliau, Abu Thalib akan diletakkan di keraknya neraka. Hal ini disebabkan karena faktor kesyirikan.

Keempat, Abdullah bin Jud’an dan kedermawanannya

Pada zaman jahiliyah Abdullah bin Jud’an merupakan sosok manusia yang dimuliakan. Hal ini karena sifat dermawan dan suka memberi makan orang-orang miskin.

Diceritakan bahwa nampan jamuan yang para pengendara unta bisa makan pada nampan tersebut dari atas untanya. Abdullah bin Jud’an memberi makan dengan kurma dan memberi minum dengan susu.

Sampai-sampai dia pernah mengirim 2000 ekor unta dengan membawa gandum, madu, dan lemak ke negeri Syam.

Dia juga memerintahkan seseorang di setiap malamnya, dari belakang Ka’bah untuk menyeru, “Kemarilah ke nampan hidangan Ibnu Jud’an.”

Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, dahulu Ibnu Jud’an semasa jahiliyah suka silaturahim dan suka memberi makan orang miskin. Apakah amalannya bermanfaat untuknya?”

Nabi menjawab, “Tidak” sebab dia tidak pernah sekalipun berkata Ya Tuhanku, ampunilah kesalahanku di hari kiamat.”

Kelima, Amr bin Luhay Al-Khuza’i dan keagungannya

Dia mencapai derajat kemuliaan yang sangat tinggi di negeri Arab, khususnya di Makkah. Ketinggian derajatnya tidak bisa dicapai oleh seorang Arab pun sebelum dan sesudah dirinya di masa jahiliyah.

Pada musim haji dia menyembelih ribuan “Badanah” (unta dan sapi) guna menjamu makan ribuan orang serta memberi pakaian di setiap tahunnya. Perkataan dan perbuatannya, di kalangan bangsa Arab seperti syariat yang selalu diikuti.

Nabi mengabarkan bahwa Amr bin Luhay berada di neraka dengan memegangi ususnya yang keluar dari perutnya. Hal ini karena dia berbuat kesyirikan dengan membawa berhala ke Makkah.

Beberapa kisah di atas menunjukkan bahwa akhlak yang tinggi dan kemuliaan seseorang tidak membuatnya agung di sisi Allah, kecuali harus mentauhidkan-Nya dan tidak melakukan kesyirikan. Karena kesyirikan merupakan kejahatan paling besar di antara kejahatan-kejahatan lain.

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 31).

Surabaya, 3 Januari 2021

Dr. Slamet Muliono R.
Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya (2018-2022)
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment