Narasi Al Qur’an Soal Homoseks: Manusia, Nafsu, dan Kuasa

Narasi Al Qur’an Soal Homoseks: Manusia, Nafsu, dan Kuasa

Narasi Al Quran Soal Homoseks Manusia, Nafsu, dan Kuasa

Suaramuslim.net – Sebagaimana yang disinggung Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Qur’an, bahwasanya Al Qur’an ditujukan untuk manusia. Maka, isinya pasti berkaitan sesuatu dengan manusia, baik prinsip agama(kepercayaam, ibadah), moral, etika, estetika, dan berbagai diskursus lainnya. Dalam bahasa M.S Abdeel Halem fungsi Al Qur’an ini menjadi supreme authority. Hal ini paling intens diwartakan oleh Al Qur’an diantaranya melalui bentuk kisah (ribuan ayat Al Qur’an berisi kisah-kisah). Bentuk ini biasa sarat muatan pesan dan hikmah, terutama bagi orang yang menggunakan akalnya (QS. 12: 111). Sejalan dengan hal ini, Sayyid Qutb, penulis Tafsir Fi Zhilal Al Qur’an menyatakan,”Kisah Qurani mengandung berbagai penalaran dan pergulatan antara kebenaran dan kebejatan, kesedihan dan kegembiraan, tantangan dan kemantapan pribadi, kesabaran dan kemarahan, keluhuran dan keberahian, serta kegentingan dan kemudahan.”

Salah satu tema besar Al Qur’an menurut Rahman ialah soalan Man As Individual.  Tema ini tentu tidak hanya cukup pada manusia, tapi pada tatanan manusia bersama atau masyarakat. Seringkali disebutkan individu dan masyarakat sebagai dua sisi mata uang. Masyarakat rusak dapat membuat rusak invidu, serta sebaliknya. Sebagai individu manusia adalah ciptaan dalam bentuk terbaik yang dibekali akal. Namun pada titik tertentu, ia dapat dijadikan makhluk terhina dan terendah, kecuali beriman dan mengerjakan amal shalih (QS. 96: 4-6). Bagi Rahman, sumber masalah manusia sebagai individu adalah banyak yang menolak,”melihat jauh ke depan/ al Aqiibat” dan tidak mempersiapkan bekal pasca kehidupan dunia.  Salah satu bentuk masalah terparah ialah permasalahan moral. Salah satu pelanggaran terberat ialah syahwat pada sesama jenis.

Narasi Al Qur’an soal perbuatan syahwat kepada sesama jenis termaktub dalam kisah Nabi Luth AS pada QS. Al ‘Araf: 80-84; QS. Al Naml: 54-58; QS. Hud: 73-83; QS. Al ‘Ankabut: 26-35; QS. Al Syu’ara: 160-175; QS. Al Hijr: 57-77; QS. Al An’am: 47-57; QS. Al Hajj: 34-43; QS. Qaf: 13-14; dam QS. Al Qamar: 33-39. Nabi Luth AS sendiri merupakan nabi yang diutus oleh Allah Swt pada kaum Sodom dan Gomorah. Ia merupakan anak dari Harran saudara dari Nakhur dan Ibrahim AS sebagaimana disebutkan oleh Ibn Katsir dalam Qashash Al ‘Anbiya. Ibn Katsir menyebutkan bahwasanya ia lahir di Harran, lalu kemudian lalu setelah dewasa pergi ke daerah yang disebutkan Ibn Katsir sebagai Gharzhagar setelah ditunjuk oleh Ibrahim AS.  Para ulama tafsir sepakat bahwasanya yang dimaksud kaum luth ialah penduduk Sodom dan Gomorah. At Thahir Ibn ‘Asyur dalam Al Tahrir wa Al Tanwir menjelaskan bahwasanya merupakan bagian dari orang Kan’an (Kan’aniyyun) dan letaknya di tepi laut Mati (Al Bahr Al Mayyit).

Jika kita membaca kisah ini secara global dan cukup cermat, maka kita akan temui fenomena yang menarik. Al Qur’an dengan bahasa khas biasa memberikan tekanan-tekanan tertentu pada suatu kisah yang bisa diambil pelajarannya. Penekanan kisah dosa “khas” setiap kaum sehingga mengapa ia dibinasakan, termasuk kaum Sodom dan Gomorah yang menentang Luth As. Narasi ini antara lain terdapat pada QS. Al ‘Araf: 59-102. Disana terdapat beberapa kaum yang dibinasakan, selain kaum Luth As,  diantaranya kaum Nuh As, Hud As, Shalih As, Luth As, dan Syu’aib As.

Secara umum, selain penentangan terhadap utusan Allah Swt, mereka melakukan dosa-dosa tertentu. Tiga kaum pertama melakukan kejahatan sosial dan dua terakhir masing-masing moral dan ekonomi. Kaum Nuh As melakukan kejahatan sosial berupa pengingkaran bersama. Kaum Hud As melakukan kejahatan sosial berupa sikap menantang Tuhan bersama. Kaum Shalih As melakukan kejahatan sosial berupa kesombongan bersama. Kaum Luth As melakukan kejahatan moral bersama. Kaum Syu’aib As melakukan kejahatan ekonomi bersama.

Pada kaum Luth As, narasi Al Qur’an dalam pola rangkain berbeda dari yang sebelum dan setelahnya. Pada segmen ini kata mala tidak digunakan dalam narasi, padahal kata ini secara konsisten dipakai pada ayat setelah dan sebelumnya. Secara maknawi, Ibn ‘Abbas dalam Tanwir Al Miqbas menyebutkan mala-u itu sebagai al ru-usaa-u yang berarti para ketua, para pembesar yang menunjukkan orang yang memiliki kuasa. Maka secara tekstual dapat dipahami bahwa konfrontasi Luth As, bukanlah sekedar konfrontasi dengan kekuasaan, melainkan masyarakat umum secara luas. Hal ini berkosekuensi pada kenyataan bahwa perilaku homoseks adalah sesuatu yang masif di berbagai lapisan masyarakat sebab secara tekstual merujuk pada kata umum, yaitu kaum. Ini berbeda dengan segmen lainnya yang menyertakan kaum sekaligus mala-u sebagai sosok yang tampil menolak. Kenyataan ini diperkuat secara historis dari riwayat yang berkaitan dengan Q.S Hud: 75-76; Q.S Al ‘Ankabut: 32; dan Q.S Hud: 77. Artinya penyakit moral invidu sebenarnya, secara hakikat dapat menyebar. Hal ini dengan telak mematahkan argument tidak menyebarnya homoseks dari sisi teologis-historis berdasarkan nash.

Diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam Qashash Al Anbiya, bahwa diriwayatkan dari Sa’id Ibn Jubair, Al Saddiy, Qatadah, dan Muhammad Ibn Ishaq bahwa nabi Ibrahim As bertanya kepada para malaikat yang mengunjunginya soal kabar kelahiran Isma’il dan Ishaq. Ia bertanya perihal Luth As dan kaumnya,”apakah anda (para malaikat) akan membinasakan negeri yang di dalamnya terdapat 300 orang yang beriman?? Mereka menjawab,”Tidak.” Ibrahim As bertanya lagi, ”kalau yang beriman 200 orang?”. Mereka menjawab,”Tidak, kami tidak akan membinasakan mereka.” Ibrahim As bertanya lagi,”Jika yang beriman 40 orang?”. Mereka menjawab,” Tidak, kami tidak akan membinasakan mereka.” Ibrahim As bertanya lagi,”Jika hanya terdapat 14 orang?” Mereka menjawab,”Tidak, kami tidak akan membinasakan mereka.”. Ibn Ishaq meriwayatkan sampai Nabi Ibrahim As bertanya,”Bagaimana pendapat anda jika diantara mereka hanya terdapat satu orang mukmin saja?” Mereka menjawab,”Kami tidak akan membinasakannya.” Disebutkan oleh Ibn Katsir ini berkaitan erat dengan rencana azab pada Q.S Al ‘Ankabut: 32).

Riwayat ini mengandung pesan terang soal keadaan masifnya perilaku homoseks. Artinya, baik penguasa dan rakyat jelata masuk dalam keumuman ini. Jika narasi “dosa” lain, selalu menyajikan suara tokoh publik selain kaum, maka dapat dipahami dosa moral ini lebih mengerikan atau diatas rata-rata. Lebih jauh sebagaimana afirmasi ayat 83, nampak sangat jelas duduk perkara soalan dosa satu. Kalimat (Maa Sabaqakum Biha min Ahadin min Al ‘Aalamin) Belum pernah dilakukan oleh orang sebelumnya di seantero dunia, membawa pesan penyimpangan ini dalam level puncak dan “extra-ordinary crime”. Perilaku lainnya dalam rangkaian narasi ini, seperti meremehkan, mendustakan, menantang, dan berlaku tidak jujur dapat dikategorikan normal-crime, walaupun bagaimanapun juga kejahatan (crime) segala level yang tetap tidak boleh. Tapi setidaknya di sini terlihat tegas tekanan Al Qur’an soal kejahatan itu melebih lainnya.

Dari sisi efek pun nampak terlihat jelas, baik psikis individu maupun psikis masyarakat. Misal kejahatan ekonomi ala kaum Syu’aib As, mereka akan untung sebagai pribadi maupun sebagai kelompok dagang, namun pada kejahatan moral ala kaum Luth As, bisa menimbulkan penyakit fisik pada mereka sendiri sekaligus masyarakat sebab mereka melakukan sesuatu yang Al Qur’an sebut sebagai Al Fahkhisyah (keji). Dampaknya ialah terganggunya siklus regenerasi, sebab dis-orientasi dan penyakit alat reproduksi. Singkatnya, perilaku ini dapat dikatakan pembunuhan manusia secara jasmani dan rohani secara massif dan terencana. Maka tidak heran para ulama tafsir, mengutip para sahabat pun sepakat soal demikian destruktifnya perilaku ini sehingga ganjaran terberat sampai pada eksekusi mati, misal dalam Tafsir Al Qurthubi.

Lantas apa solusinya? Kalo kejahatan lain, penguasa yang menjadi batu sandungan (kasus Syu’aib As, Nuh As, Hud As, Shalih As), kini adalah masyarakat umum yang mau dan mampu mengantur penguasa. Maka disini penguasa dan rakyat ber-switch posisi. Jika sering dinyatakan bahwa penguasa zalim bisa diluruskan oleh rakyat (dengan cara apapun), maka saatnya rakyat zalim bisa diluruskan oleh penguasa.  Nah, lantas pertanyaan berikutnya, apakah penguasa mau merujuk pada norma agama dan budaya yang luhur atau menerima gelontoran dari “rakyat zalim” pemuja hawa nafsu?.

Sebagai khatimah, sangat perlu dan mendesak kita perhatikan soalan kejahatan moral ini di Indonesia kita. Sudah mulai muncul gerakan-gerakan yang awalnya bawah tanah yang mendeklarasikan diri. DPR sebagai wakil rakyat yang pada suatu kesempatan diwakili person-personnya dalam sebuah acara Talkshow berating tinggi, sudah sepakat soal regulasi hukum dan penanganannya. Well, masyarakat yang “tidak zalim” perlu mengawal hal ini selalu. Secara psikis jelas bahayanya, secara sosial besar potensi rusaknya, secara finansial sudah ada pengucurnya, secara norma-budaya luhur jelas bertentangannya apalagi secara agama yang sudah mengingatkan sejak ribuan tahun lamanya. Sekarang tinggal domain hukum yang perlu tegas pijaknya: Apakah masih cinta dengan Bangsa Indonesia atau tidak?

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment