Lanjutan dari berita Nasionalisme Itu Orientasi Politik, Bukan Ideologi Politik (1)
Suaramuslim.net – Jika nasionalisme itu bukan ideologi maka apa makna ideologi itu? Ideology didefinisikan sebagai “ A systematic body of concepts about human life or culture; the integrated assertions, theories, and aims that constitute a political, social, and economic programs”. Dengan kata lain ideologi adalah seperangkat konsep tentang kehidupan dan budaya manusia, bagaimana mengatur kehidupan itu secara menyeluruh, termasuk menata politik, sosial-budaya, ekonomi, dan lainnya. Dari definisi ini jelas bahwa nasionalisme memerlukan dukungan ideologi untuk bisa membuat bangsa-negerinya menjadi bangsa-negara maju, jaya, serta membanggakan.
Bagaimana harusnya para penganut nasionalisme memilih ideologi yang benar untuk mendukung nasionalismenya?. Ideologi mana yang mesti dipilih?. Ini jelas tantangan, yang kini sedang dibuka di Indonesia. Ternyata alternatif pilihannya tidak banyak. Pilihan untuk itu hanya ada dua: “ideologi sekuler atau ideologi Islam”. Kalau memilih ideologi sekuler maka orang masih akan dihadapkan pada berbagai alternatif seperti: kapitalisme, sosialisme, liberalism, komunisme. Sedangkan jika memilih ideologi Islam hanya ada satu, yakni syariat sosial-kenegaraan yang diajarkan Al Quran dan Sunnah Nabi. Sayangnya Islam sebagai ideologi tidak banyak disosialisasikan secara proporsional oleh media karena umumnya media masa di Indonesia sudah ‘terjebak’ pada ideologi sekuler. Oleh media semacam itu Islam lebih banyak dibahas dan diberitakan sebagai ajaran ritual dan akhlak belaka. Ajaran Rasulullah tentang poleksosbudhankam yang mampu membawa dunia menjadi adil makmur sejahtera dan beradab ditutup-tutupi, bukan saja oleh musuh Islam tapi bahkan oleh penganut agama Islam sendiri yang sudah terkena jeratan sekularisme, lawan ideologi Islam.
Benarkah Islam hanya mengajarkan masalah ritual dan moral?. Tidak masuk akal bukan? Bagaimana Islam bisa menjadi mercusuar dunia sehingga membuat masyarakat dunia menjadi maju dan beradab jika hanya sekedar mengajarkan ritual dan moral?.
Kini mari dicermati makna Islam sebagai ‘agama’ supaya disadari oleh para pemeluknya bagaimana seharusnya beragama itu. Kalau agama diterjemahkan sebagai ‘religion’ maka Webster’s Dictionary mendefinisikan: “Religion is belief in or devotion to religious faith; a cause, principles, or system of beliefs held to with ardor and faith”. Nah dengan pengertian ini saja juga jelas bahwa agama itu sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh si pemeluk agama, dan dengan semangat tinggi akan melaksanakan ajaran tentang kehidupan yang dikandung dalam agama tersebut. Seharusnya semua pemeluk agama memiliki keyakinan dan kesetiaan pada agama yang dipeluknya untuk mengerjakan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh agama itu, kecuali tentunya pada pemeluk agama yang setengah hati atau munafik, yang berpura beragama tapi hatinya tidak pada agama tersebut. Makna apalagi yang harus diperdebatkan tentang agama itu?. Tinggal pilih agama mana yang diyakini kebenarannya dan lalu bersemangat tinggi melaksanakan ajaran agama yang dipeluknya. Inilah yang sering disebutkan sebagai taat dalam beragama, sekali lagi begitulah mestinya beragama itu kecuali bagi mereka yang munafik atau beragama tidak sungguh-sungguh.
Dalam konteks agama dengan definisi tersebut maka agama Islam amat jelas pengertiannya, yakni: keyakinan bertuhankan Allah SWT, bernabikan Muhammad SAW, dan berpedoman hidup pada Kitab Suci Al Quran. Sekali lagi apapula yang masih harus diperdebatkan?. Tuntunan yang dikandung di dalam Al Quran itu kongkrit, begitu pula percontohan cara hidup Nabi Muhammad SAW tidak sulit untuk diketahui dari hadits, jadi yang tersisa adalah mempelajari dan menerapkan isi ajarannya. Mungkin ada yang mengeluh tidak tahu bahasa Arab dengan baik, namun kan ada terjemahan oleh para pakar bahasa Arab dengan ilmu Qurannya dan ada pula ulama yang siap memberi penjelasan untuk masalah yang masih dianggap rumit atau ragu.
Berislam itu mudah, tidak sulit untuk mengetahui ajaran-ajarannya, masalahnya terletak pada hati yang bersangkutan, mau berislam yang bagaimana. Maka terkait ini lalu bisa dibuat klasifikasi berdasar kualifikasi status berislamnya seseorang, yakni berislam sepenuh hati, setengah hati, atau bahkan munafik seperti diterangkan dalam alinea sebelumnya.
Untuk mereka yang tidak sepenuh hati berislam maka jawabannya hanya satu yakni “diingatkan agar bersungguh hati dalam memeluk Islam, jangan munafik, dan jangan merusak kemurnian-kesucian agama Islam”. Ingatlah akan sanksi yang berat dan pedih dari Allah SWT yang bisa tertimpakan di dunia dan akherat.
Dilihat dari substansi ajaran agama Islam, khususnya isi Al Quran dan percontohan cara hidup oleh Nabi Muhammad SAW, maka tuntunan agama Islam itu lengkap, meliputi seluruh permasalahan hidup manusia, meliputi: tuntunan tentang cara menyembah Allah SWT dalam bentuk ritual Islam (shalat, puasa, doa, haji dan semacamnya), tuntunan tentang perilaku terhadap orang lain yang sering disebut akhlak Islam, cara mengatur keluarga yang disebut sebagai syariat menuju keluarga sakinah, dan cara mengatur sebuah bangsa-negara yang disebut sebagai syariat berdaulah atau syariat sosial-kenegaraan. Jadi apalagi yang harus dipertanyakan? Bukankah umat Islam tinggal mengkaji semua ketentuan itu dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kapasitasnya? Jika sendirian di hutan belantara ya menjaga ritualnya dan cara kehidupan pribadi seperti makan-minumnya. Jika sebagai keluarga ya wajib mengurus keluarga sesuai tuntunan Islam dalam berkeluarga, dan jika menjadi Presiden atau Kepala Negara ya mengurus negerinya sesuai dengan tuntunan Islam dalam berbangsa-bernegara.
Oleh : Fuad Amsyari, Ph.D
(Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat)
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net
Lanjut ke berita Nasionalisme Itu Orientasi Politik, Bukan Ideologi Politik (3)