Suaramuslim.net – Pro-kontra tentang nikah siri sudah lama berlangsung. Meski hukumnya sah, nikah siri tetap bukan hal yang ideal. Pelakunya akan dirugikan. Berikut ulasannya.
Beberapa waktu lalu, media di Indonesia digemparkan dengan terkuaknya bisnis prostitusi online dengan alamat nikahsirri.com. Nama atau istilah “nikah siri” menjadi sangat negatif. Nikah siri diidentikkan dengan prostitusi terselubung. Situs besutan Aris Wahyudi itu juga minim sekali pengetahuan tentang nikah siri menurut pandangan Islam.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi menyangkal bahwa nikah siri jika disamakan dengan prostitusi. Ia mengatakan bahwa pernikahan di bawah tangan atau nikah siri hukumnya sah. Asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah.
“Rukun pernikahan dalam Islam antara lain ada pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki, mahar, serta ijab dan kabul,” kata Zainut kepada republika.co.id.
Meski demikian, Zainut menerangkan bahwa pernikahan tersebut bisa menjadi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif. Fatwa tersebut merupakan hasil keputusan Ijtima Ulama se-Indonesia ke-2, di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur tahun 2006.
Zainut menjelaskan, nikah siri dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan. Juga sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap istri dan anak yang dilahirkannya, terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah atau pun hak kewarisannya.
Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut, lanjut Zainut, juga sering kali menimbulkan sengketa. “Sebab tuntutan akan sulit dipenuhi karena tidak adanya bukti catatan resmi pernikahan yang sah,” ujarnya.
Pernikahan Harus Dicatat Resmi
Meski demikian, kata Zainut, untuk menghindari kemudharatan. Ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatat secara resmi pada instansi yang berwenang. Maka, MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Zainut menyatakan, meskipun nikah siri sah secara agama, namun tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan tidak adanya kekuatan hukum, maka baik istri maupun anak berpotensi menderita kerugian akibat pernikahan tersebut. MUI berpandangan bahwa tujuan pernikahan itu sangat luhur dan mulia untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.
Zainut menegaskan, pernikahan tidak sekadar hanya untuk memenuhi kebutuhan nafsu dasar manusia atau hanya pemenuhan kebutuhan seks semata. Pernikahan merupakan institusi yang sakral yang harus dijaga dan dipelihara. “(Pernikahan) tidak boleh direndahkan dan dijadikan sebagai komoditas perdagangan semata. Jika hal tersebut terjadi, maka sama halnya merendahkan nilai-nilai kemanusiaan,” jelasnya.
Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir