SURABAYA (Suaramuslim.net) – Muslim Uighur kini tengah mendapat sorotan dari dunia luar. Kelompok minoritas di Tiongkok ini disebut kerap mendapatkan perlakuan kejam dari pemerintah. Seperti disiksa dan dibina secara paksa untuk patuh dan loyal terhadap komunisme di atas agama.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan sebanyak satu juta warga Uighur dijebloskan ke dalam kamp-kamp khusus oleh pemerintah Tiongkok.
One Belt One Road Tiongkok Sebagai Biang Bungkamnya Dunia Islam
Ketua Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga Surabaya Muttaqien, Ph.D dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (31/12) mengatakan, dinamika yang terjadi pada muslim Uighur sudah lama. Artinya upaya Tiongkok untuk menguasai wilayah itu sudah sejak abad ke 18 dan mencapai puncaknya pada abad 20, ketika wilayah Uighur dikontrol dengan baik, diberikan otonomi, sehingga wilayah yang kaya sumber daya ini menjadi pintu masuk perdagangan khususnya Asia Tengah dan Timur Tengah.
“Jadi kalau bicara tentang One Belt One Road (OBOR) terbagi menjadi 2 wilayah, laut dan darat. Xinjiang termasuk wilayah darat sebagai jalur masuk ke Asia Tengah dan Timur Tengah,” ujarnya.
Muttaqien menyebut, OBOR yang juga dikenal sebagai Belt and Road Initiative, telah menjadi pondasi bagi pemimpin Tiongkok, Xi Jinping, dalam membuat kebijakan luar negeri sejak dia menjadi Ketua Partai Komunis pada tahun 2013. Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah menginvestasikan ratusan miliar dolar, dan telah meminta untuk mengerahkan hingga 5 triliun, proyek energi, transportasi, dan pelabuhan dalam kemitraan dengan sejumlah negara selama lima tahun ke depan.
‘’Melalui konsep ini pemerintah Tiongkok ingin mengkoneksikan ide gagasan tentang bagaimana memberikan keuntungan ekonomi kepada negaranya dan juga memberikan insentif kepada negara-negara yang mau ikut dalam proyek besar pemerintah Tiongkok,” ungkapnya.
Muttaqien mencontohkan, salah satu negara muslim, yaitu Pakistan merupakan negara yang menjadi rute pembangunan rel kereta api oleh pemerintah Tiongkok, rute itu nanti masuk dari Asia Tengah ke Pakistan hingga ke Turki.
“Oleh karenanya, hubungan Pakistan dengan Tiongkok sangat dekat karena banyak faktor. India dengan Pakistan adalah rival, sedangkan Tiongkok dan India berselisih masalah one belt one road, maka tentu Pakistan membutuhkan cantolan kekuatan pada Tiongkok. Sehingga wajar dalam persoalan Uighur Pakistan tidak bisa bersuara lantang kepada Tiongkok,’’ paparnya.
Menurut Muttaqien, hal yang sama kemungkinan dirasakan oleh Indonesia yang mempunyai ketergantungan besar terhadap Tiongkok. Maka pendekatan yang paling bisa dilakukan Pemerintah Indonesia menggunakan multilateral, yaitu merespons kasus etnis Uighur secara bersama-sama melalui PBB, atau organisasi konferensi Islam, sehingga bisa memberikan tekanan bagi pemerintah Tiongkok.
“Jika penyampaian secara bilateral, secara face to face antar dua negara tidak mungkin. Saya kira dalam forum PBB bisa dilakukan dengan mewakili satu komunitas dalam banyak negara,” usulnya.
Muttaqien menilai, salah satu kunci OBOR adalah negara Turki yang merupakan pintu masuk ke Eropa. Pada 2009 saat pemerintah Turki mengecam keras konflik antara etnis Han dan Uighur, maka proyek 2 negara itu mengalami penundaan hingga pada akhirnya ketegangan itu mereda.
“Dengan kasus yang terjadi saat ini tentu pemerintah Turki harus melihat bagaimana respons domestic Turki sendiri karena sebenarnya etnis Uighur sangat dekat dengan Turki sejak sebelum masehi, jika tidak bersikap keras maka legitimasi Erdogan dipertaruhkan,” pungkasnya.
Respons Politik Ekonomi Pemerintah
Periset di Pusat Kajian Islam dan Peradaban (Puskip) Surabaya Rosdiansyah dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (31/12) mengungkapkan, alotnya pembahasan sidang PBB tentang hak minoritas beberapa bulan lalu, dari beberapa negara yang hadir termasuk Indonesia menyatakan menolak dibacakannya fakta-fakta hasil dari kongres Uighur sedunia.
“Beberapa negara yang membela Tiongkok adalah Pakistan, Kuba, Mesir termasuk Indonesia dan Rusia. Sedangkan negara yang mendorong melanjutkan pembacaan laporan kondisi Uighur adalah Irlandia, Austria, dan Finlandia. Mereka yang menolak tercermin ada kepentingan ekonomi politik,” ungkapnya.
Rosdiansyah juga mengatakan, sikap pemerintah Indonesia terhadap persekusi muslim Uighur masih belum kelihatan, sama halnya negara-negara Organisasi Kerjasama Islam. Karenanya menjelang aksi demonstrasi di Konjen Tiongkok Surabaya pada pada Jumat (28/12/2018) ada salah satu tokoh organisasi kemanusiaan yang dulunya bergabung bersama parlemen Tiongkok sekarang berubah arah karena mengetahui konsep OBOR Tiongkok penyebab utama sebuah negara menjadi ketergantungan terhadap Tiongkok.
“Ini menjadi persoalan elit dalam sebuah negara itu, bahkan sebuah contoh Iran sendiri membela Republik Rakyat Tiongkok saat dalam sidang Hak Minoritas Uighur,” jelasnya.
Menurut Rosdiansyah, sebetulnya persoalan Uighur hanyalah pemantik dari sekian masalah kemanusiaan, karena yang direpresi oleh rezim Beijing bukan hanya Muslim namun juga Nasrani dan Budha.
“Mengapa peristiwa di Xinjiang sangat dramatis? Mereka yang melakukan serangan terhadap etnis Han telah dididik terlebih dulu di Al Qaeda, narasi seperti itu yang dibangun oleh rezim Beijing untuk memperoleh dukungan internasional,” ungkapnya.
Rosdiansyah menjelaskan, Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping yang sebelumnya mencitrakan diri sebagai kepala negara yang meciptakan harmoni, tetapi kasus dari Uighur ini membuka apa yang selama ini dilakukan terhadap rakyatnya yang mengabaikan realisasi hak-hak sebagai minoritas.
“Ini menjadi sesuatu yang dipertimbangkan berbagai negara terutama negara yang mayoritas penduduk muslim, persoalan ini adalah kemanusiaan. Jika diabaikan maka akan mengelinding seperti bola salju yang akan sulit dibendung oleh elit yang berkuasa saat ini,” paparnya.
Secara teritori, lanjut Rosdiansyah, Xinjiang wilayah RRT, tetapi di sana ada isu kemanusiaan, harusnya Indonesia harus mempunyai sikap. Perlu ada tekanan internasional, apa yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam di Indonesia menjadi contoh mengekspresikan keberpihakan terhadap hak minoritas.
“Jika di Indonesia isu yang banyak yang belakangan terjadi adalah kriminalisasi ulama, peminggiraan simbol agama. Sementara realitas politik yang terjadi RRT sepertinya ada kesamaan dengan Indonesia. Maka sebagai muslim kita harus mengekspresikan keberpihakan terhadap muslim Uighur, selain menunjukkan solidaritas juga bertumpu hak asasi minoritas karena ini murni persoalan kemanusiaan,” pungkasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir