PDIP dan Pendelegitimasian KPK

PDIP dan Pendelegitimasian KPK

PDIP dan Pendelegitimasian KPK
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (10/1/2020). (Foto: Tribunnews.com)

Suaramuslim.net – Drama penggeledahan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menghadapi tembok oligarki politik. Tim KPK gagal menggeledah sekretariat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan mengejar Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P yang bersembunyi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Upaya menegakkan hukum yang dilakukan oleh tim KPK harus dipukul mundur oleh oknum-oknum yang merasa bagian dari oligarki politik.

KPK sebagai representasi negara harus tunduk oleh elite politik yang merasa memiliki kekuatan politik. Sebagai partai penguasa sekaligus partai mayoritas, seharusnya PDI-P merasa tercoreng harga dirinya. Sungguh konstruktif dan kontributif bagi penegakan hukum bila elite PDI-P melakukan klarifikasi serta memberi jalan bagi KPK untuk menuntaskan tugas negara. Menutupi jalan bagi kinerja KPK bukan hanya kontraproduktif bagi penegakan hukum (law enforcement) tetapi juga akan melindas PDI-P karena melindungi para penggerogot dan pengkhianat bangsa.

Pelemahan KPK dan Tragedi Penegakan Hukum

Negara sedang mengalami ujian besar. Tugas yang diemban KPK ketika akan menggeledah sekretariat yang ada di Jalan Diponegoro 58 Jakarta itu, berhasil dipukul mundur. Hal ini dengan alasan karena tidak memiliki kekuatan hukum, seperti tidak membawa surat tugas. Pernyataan dibenarkan oleh  Djarot Saiful Hidayat, ketua DPP PDI-P bahwa KPK tidak membawa surat tugas sehingga tidak berhak menggeledah kantor partainya. Uniknya, dengan alasan tidak ada surat tugas, petugas negara harus angkat kaki ketika ingin menemukan barang bukti.

Adapun peristiwa yang tak kalah tragisnya, ketika KPK mengejar Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto yang diduga sedang berada di kawasan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta Selatan. Begitu sampai di PTIK, tim KPK justru diamankan karena dicurigai. Peristiwa ini benar-benar unik, dimana sebagai penopang negara, tugas tim KPK terhalangi oleh sebuah instansi semacam kepolisian. KPK tentu memiliki alasan logis ketika ingin mengejar Hasto, karena dia bisa menjadi kata kunci adanya transaksi suap yang menimpa mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan (WS). WS menerima suap melalui Saeful Bahri. Saeful Bahri adalah kader PDI-P dan mengaku memberi suap atas perintah Hasto. Sehingga sangat layak bila tim KPK berusaha mengejar Hasto namun harus menerima pil pahit.

Dua peristiwa di atas, dalam pandangan publik, sangat di luar nalar sehat. Betapa, petugas negara yang sedang menjalankan amanat undang-undang untuk memberantas korupsi justru digagalkan oleh oknum dari partai pemenang pemilu (PDI-P) dan institusi negara (kepolisian). KPK yang bertanggung jawab langsung terhadap presiden, justru dianggap tim tak berharga dan dicurigai eperti pelaku kriminal.

Kegagalan tim KPK dalam menggeledah kantor PDI-P dan mengejar Hasto merupakan  bentuk kegagalan negara dalam memberantas korupsi. Bahkan realitas ini merupakan afirmasi terhadap pelemahan terhadap KPK.

Berharap Ketegasan KPK

Masyarakat sangat berharap kinerja KPK benar-benar berlanjut, bukan sekadar gebrak di awal dan takut terhadap para perusak sendi-sendi negara. KPK seharusnya bekerja secara independen, berintegritas, dan profesional. Hal ini sesuai dengan harapan masyarakat guna menciptakan aparatur negara yang bersih dan berwibawa. Ketika aparatur negara tidak bersih, maka sulit untuk menciptakan negara yang adil dan makmur. Membayangkan aparatur negara yang menginginkan negara bersih dan berwibawa tapi dirinya masih mau menerima suap dan menyembunyikan diri untuk menghindari kejaran KPK.

Dua kasus di atas bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang bersih dan bebas dari korupsi. Menghalangi tim KPK melakukan penggeledahan sekretariat PDI-P dan menyembunyikan keberadaan Hasto selaku Sekjen PDI-P. Tindakan KPK bisa dimulai dari menindak oknum-oknum yang merasa memiliki kekuatan dan menekan tim KPK sehingga gagal melakukan penggeledaham. Tim KPK juga bisa segera mendatangkan Hasto sebagai kunci atas dugaan suap terhadap Wahyu Setiawan, anggota komisioner KPU.

Dua peristiwa itu kebetulan menimpa oknum PDI-P dan hal itu merupakan sebuah kejahatan politik. Dikatakan kejahatan politik karena mereka berani mencegah tim KPK yang menjalankan tugas negara. Demikian juga bagi Hasto yang dianggap bersembunyi dari kejahatan yang dia lakukan karena tidak proaktif terhadap tim KPK yang ingin memperoleh kesaksian dari sebuah kasus yang memerlukan kesaksian darinya.

Seberapa besar kekuatan yang dimiliki oleh mereka yang berani menolak upaya  penggeledahan, dan orang yang bersembunyi di PTIK. Tidak mungkin kekuatan kecil yang bermain. Hal ini bisa ditunjukkan ketika tim KPK harus mengadu ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memperoleh dukungan.

KPK harus berani memeriksa Hasto Kristiyanto. Ini merupakan pertarungan besar. Karena dia orang penting di partai besar. Bila KPK tak berani melakukan tindakan tegas, maka publik sudah hilang kepercayaannya pada KPK. Bila masyarakat sudah tak percaya pada KPK, kepada siapa lagi masyarakat akan berharap. Oligarki politik yang demikian kuat sehingga pelaku kejahatan bisa terlindungi. Bila ini terjadi, maka publik semakin yakin bahwa memang telah terjadi pelemahan KPK. Betapa tidak, KPK sebagai lembaga negara yang merupakan bawahan langsung presiden harus bertekuuk lutut oleh oknum partai yang berlindung di balik kekuatan oligarki politik.

Surabaya, 15 Januari 2019

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment