Prolog
Islam hadir ke muka bumi sebagai rahmat bagi sekalian alam. Hadirnya Islam tersebut dengan berbagai karakteristik atau khasaaish dalam Istilah Yusuf Qaradhawi dalam Al Madkhal li Ma’rifat al Islam. Diantaranya adalah universalisme Islam atau Syumuliyat Al Islam. (Yusuf Qaradhawi, 2011).
Islam hadir dengan membawa ajaran yang sarat dengan nilai-nilai yang mencakup seluruh aspek dalam kehidupan, termasuk konsep peradaban. Menurut Al Attas bahkan hadir sebagai din, bukan hanya mengandung pengertian agama semata, melainkan agama dan peradaban sekaligus. Dalam mewujudkan suatu peradaban ini tentu tidak mudah diperlukan usaha keras dari berbagai elemen dalam membangun dan menghadapi tantangannya (S.M.N Al Attas, 2010).
Islam secara historis pernah memimpinn dunia. Tercatat dalam ilmu pengetahuan daerah Muslim menjadi kiblat dunia, diantaranya Baghdad-Kufah sebagai pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyyah di Iraq dan Cordova-Granada-Sevilla sebagai kota-kota besar kekuasaan Dinasti Umayyah II di Spanyol. Pada masa Dinasti Turki Utsmani muslim juga sempat menguasai dunia sekaligus menjadi kiblat teknologi persenjataan dengan teknologi meriam pada Al Fatih 1453 M hingga beberapa masa setelahnya. Fakta historis ini bukan rahasia lagi, namun data-data yang ditulis oleh sejarawan muslim, seperti Tariq Suwaidan, Ali Muhammad Al Shalabi sekaligus sejarawan non-muslim Arnold J.Toynbee.
Sejalan peralihan zaman, pusat-pusat kekuasaan berputar. Pasca terjadinya Kolonialisme, dunia terpecah menjadi modern-State. Namun, identitas agama tetap tidak dapat dipisahkan dari modern-state ini. Justru, kemudian yang terjadi adalah terintegrasi dan terkoneksinya 3 kunci dalam kehidupan masyarakat, yaitu agama, negara, dan bangsa. Mencintai Agama dan Tanah air merupakan kewajaran bahkan sesuatu yang sebenarnya harus dimiliki oleh setiap warga Negara. Islam sebagai salah satu elemen terpenting dan tak terpisahkan dari Indonesia, merupakan domain yang secara konsisten menunjukkan nilai-nilai integrasi pada kehidupan berbangsa. Hal ini terlihat bagaimana perjuangan muslim nusantara yang bergerak di berbagai bidang dari masa pra-kolonial, masa kolonial, pra-kemerdekaan, dan pasca-kemerdekaan.
Sikap Patriotis ditunjukkan dengan berbagai manifestasi, yang secara umum terbagi menjadi materi dan non-materi. Secara materi, diantaranya lewat institusi pendidikan yang dibangun oleh perorangan, yayasan, komunitas, dan organisasi yang tidak terhitung jumlahnya dalam rentang dari masa masuknya Islam ke Indonesia hingga kini. Dedikasi sebagai wujud patriotisme masih dapat disaksikan dan dinikmati hingga saat ini. Dari segi non-materi, diantaranya berupa penggeloraan semangat kebangsaan, saran-saran yang solutif terhadap pemerintah, bahkan hingga hal yang paling mendasar di wala pendirian Negara yaitu persoalan perubahan sila pertama Pancasila. Pengorbanan ini tentu dilandasi ketulusan murni. Mungkin terkesan apologetik, namun konsepsi dalam ajaran Islam sendiri selalu mengajarkan akan pentingnyaa perlombaan dalam kebaikan (Q.S 2: 114; 5: 48) dan perlombaan ini dalam rangka pembangunan Negara-bangsa yang jaya (Q.S 34: 15).
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menjadi negarawan tentu hal yang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Selaras dengan hal tersebut, penulis berasumsi ksatria-ksatria diberbagai bidang yang tidak menjual dan sekadar mencari peruntungan hari ini cukup sulit ditemukan, namun lagi-lagi bukanlah tidak mungkin. Islam adalah salah satu rahim dengan probabilitas terbesar bagi lahirnya para ksatri-ksatria patriotis tersebut. Merekalah para Pemuda Muslim yang akan menjadi muslim negarawan.
Islam, Indonesia, dan Patriotisme
Jika membicarakan Indonesia maka pembicaraan seputar Islam tidak akan dapat ditinggalkan. Alih-alih hendak ditinggalkan, Islam telah menjadi identitas yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa, karena Islam adalah salah satu modal sejarah terbesar bangsa ini. Sebagai kaum mayoritas, peran vital kaum muslimin begitu besar. Peran penting ini terlihat dalam seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan jauh sebelum lahirnya negara yang Indonesia secara de jure dan de facto, peran strategis itu sudah nampak terlihat. Salah satunya peran ialah pembangunan dan pengembangan budaya ilmu serta pengetahuan. Bahkan peran ini masih sangat dirasakan hingga kini (Haedar Nasir, 2017).
Islam sebagai agama mulai menyebar ke berbagai belahan dunia sejak awal kemunculannya, termasuk Nusantara. Seorang orientalis asal belanda, Snouck Hurgronje, menyatakan bahwa Islam tiba di nusantara pada abad ke 13. Hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai. Bersebrangan dengan teori tersebut para cendikiawan muslim pribumi meyakini Islam sudah ada di nusantara sejak abad ke 7. Diantaranya Prof. Dr. Hamka dengan teori Makkah-nya. Sejalan dengan hal tersebut sejarawan Paskistan, N.A Baloch mengamini dengan teori maritim-nya. Argumentasi Kerajaan Samudera Pasai sebagai acuan awal di mulainya islamisasi di nusantara dianggap salah paham. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah bahwa manifestasi Islam di nusantara dengan adanya samudera pasai ialah merupakan awal perkembangan strategis Islam, khususnya pengukuhan posisi secara politis (Ahmad Mansur Suryanegara, 2015).
Islam sendiri begitu mewarnai sejarah Indonesia hingga masa kini. Perjalanan Islam dari masa ke masa di Nusantara (Indonesia) memberikan sumbangsih yang luarbiasa pada berbagai aspek, terutama pendidikan. Ini terlihat dari sepak terjang para muslim nusantara ketika hendak melakukan ijtihad intelektual dengan mendirikan pelbagai institusi pendidikan, termasuk pesantren. Dalam bidang politik, Islam merupakan penentang keras kolonialisme. Sejak kedatangan kolonial, kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara (Indonesia), sudah melakukan upaya perlawanan. Geliat ini mencapai puncaknya pada masa pergerakan nasional. Tidak terhitung banyak tokoh muslim negarawan yang hadir sebagai problem solver bagi bangsa ini. Sebut saja K.H.Ahmad Dahlan, K.H Hasyim ‘Asy’ari, Soedirman, Soekarno, Moh. Hatta, M. Syahrir, H. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wahab Hasbullah, K.H Idham Chalid, A.R Fachruddin, Mohammad Natsir dan sederet nama muslim negarawan lainnya.
Bagi mereka cinta agama dan tanah air merupakan sisi mata uang yang tak terpisahkan. maka tidak asing bergema ungkapan, al hubb al wathan min al Iman (cinta tanah air adalah sebagian dari Iman).Keduanya merupakan identitas yang melekat sejak seorang anak adam keluar dari ibunya. Kedua identitas ini tak perlu saling dihadapkan, apalagi sampai dibenturkan. Maka, pada hakikatnya membangun agama sejalan dengan membangun tanah air itu sendiri.
Pemuda Islam dan Tantangan Zaman
Umumnya pemuda disebutkan sebagai masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Kamus Merriam Webster misalnya, memberikan salah definisi pemuda sebagai periode dimana berada pada masa kanak-kanak dan dewasa. Pada realitasnya, tidak dapat dipungkiri masa muda adalah masa paling krusial. Masa ini merupakan masa paling menentukan dalam pergulatan seseorang sebagai individu dan pembentukan masyarakat kedepannya. Pemuda merupakan pilar negara, bangsa dan agama. Keberlangsungan ketiga unsur ini boleh dikatakan sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas pemuda.
Dalam kasus pemuda Islam, ketiga macam ukhuwah baik, islamiyyah, wathaniyyah, dan basyariyyah, sangat dipengaruhi pola-pola yang tedapat pada generasi muda muslim ini. Maka tidak mengherankan pemuda merupakan domain besar penentu dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana peran pemuda baik dari pemikiran dan kontribusi secara aktif dapat mempengaruhi suatu bangsa dan Negara. Terkait permasalahan pemuda, bahkan Paul Walker mengatakan bahwa permasalahan pemuda sama halnya dengan permasalahan agama, yaitu merupakan sebuah fenomena sosial yang kompleks (a complex social phenomenon). Post-Kolonial dalam bahasa Edward Said, menginsyaratkan hangatnya perang wacana keilmuan dan kehidupan, termasuk wacana tentang kepemudaan. Islam sebagai sebuah peradaban tentu memiliki identitas kepemudaan, baik secara konseptual dan praktis.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyinggung peranan pemuda dalam teori sirkularnya yang masyhur. Siklus sosiologis runtuhnya kekuasaan sangat dipengaruhi oleh para pemimpin, terutama generasi mudanya. Hingga kini tesis Ibn Khaldun sendiri tentang runtuhnya kekuasaan manusia tampaknya tidak tergantikan, bahkan di Barat sekalipun. Generasi muda yang lemah secara perkembangan fisik dan non-fisik (intelektual, keteguhan iman) akan membuat kelemahan epidemik pada masa ia duduk di singgasana kepemimpinan. Kelemahan epidemik ini tentu tidak sederhana, individu pemuda yang lemah dalam kondisi yang massif dapat menegaskan suasana atau kondisi, artinya bilamana pemuda lemah, maka hamper dapat dipastikan lemah pula daerah itu. Ini argumentum e pars pro toto (menyebutkan sebagian untuk melihat keseluruhan) ini efektif dalam melihat keadaan dalam sebuah proses dan keadaan (Ibn Khaldun, 2011).
Baca lanjutannya di Menjadi Muslim Negarawan: Sumbangsih Pemuda Islam dalam Kebangkitan Peradaban Islam pada Era Nation-State (2)
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net