Pendidikan Membentuk Kasta

Pendidikan Membentuk Kasta

Pendidikan Membentuk Kasta
Ilustrasi murid-murid sekolah dasar di Indonesia.

Suaramuslim.net – Selalu berulang kejadian tentang “kesalah pahaman” penerimaan peserta didik baru. Meski peraturan dibuat sebagus mungkin akan selalu ada penilaian salah, karena memang tidak bisa memuaskan semua. Mestinya kita tidak selalu menuntut yang tidak mungkin, misalkan anak kita harus sekolah negeri dengan alasan yang macam-macam.

Sudahlah, PPDB sudah usai kalau ada kurang kesempurnaan mari kita benahi agar ke depan lebih baik lagi. Janganlah kita memaksakan peraturan supaya kita selalu diuntungkan, kalau sudah seperti itu akan terjadi politisasi pendidikan.

Perilaku memaksakan harus sekolah negeri sejatinya merupakan sesuatu yang tidak tepat. Semakin menunjukkan bahwa peninggalan akibat terlalu lamanya dijajah Belanda, sehingga selalu menempatkan posisi masyarakat pada kasta. Kasta priyayi (negeri) selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas satu, warga negara kelas satu. Dan harus ditempatkan sebagai “ndoro“.

Dalam hal pendidikan bisa kita lihat pada penempatan posisi sekolah negeri. Sekolah negeri ditempatkan sebagai posisi “ndoro”. Dianggap sebagai sebuah kelas yang wah, kelas masyarakat nomor satu yang layak mendapatkan penghormatan dan kebanggaan. Nah, penempatan kasta feodal seperti ini bisa jadi akibat dari keterjajahan jiwa kita karena pengaruh pembentukan kelas pada zaman penjajahan. Akibatnya pendidikan kita juga mengalami akibat terbentuk menjadi kasta-kasta.

Masyarakat ternyata juga mempunyai andil yang cukup besar dalam pembentukan kasta-kasta pendidikan. Masyarakat akhirnya membuat kelompok-kelompok sebagai kategori pendidikan. Ada yang disebut sebagai sekolah favorit, yang sekarang diistilahkan sebagai sekolah kawasan. Sekolah-sekolah yang dianggap “istimewa”, tapi juga tidak tahu istimewanya dimana. Lebih banyak dibangun dengan asumsi jauh dari atmosfir rasional.

Kelompok sekolah favorit itu kemudian dikonotasikan dengan sekolah negeri tertentu bekas sekolah berstandar internasional, atau sekolah swasta yang mahal dengan segala fasilitasnya. Tentu bisa dibayangkan yang sekolah disana adalah mereka yang mempunyai derajat tertentu. Misalnya derajat akademis dan derajat ekonomi. Nah kalau Anda memaksakan anaknya harus ke sekolah ini, bisa dipastikan anaknya akan berpotensi kalah dalam pergulatan sosial. Jadi, di tengah situasi seperti ini berpikirlah rasional jangan memaksakan kehendak.

Tingkatan yang kedua adalah sekolah negeri biasa atau sekolah swasta kelas menengah yang bisa dikategorikan sebagai sekolah negeri non kawasan. Kalau sekolah swasta mungkin yang sekarang ruang kelasnya masih ada yang kosong untuk menerima siswa baru. Sekolah seperti ini tentu dihuni oleh masyarakat kelas dua, kelompok pegawai biasa atau pekerja kelas menengah. Kelompok ini disebut sebagai kelompok santri, kelas menengah, baik derajat akademis dan derajat ekonominya. Mereka masih mampu memegang “keistimewaan” derajat sosial di masyarakat.

Sedang yang ketiga adalah sekolah yang dikategorikan sekolah miskin dan pinggiran. Tentu sekolah seperti ini sekolah yang kategorinya berada di kasta yang paling bawah. Sekolah mungkin yang sampai sekarang menunggu limpahan siswa yang sudah tidak mau sekolah atau tidak diterima di mana-mana disebabkan derajat akademis dan ekonominya.

Bisa dibayangkan siapa yang bersekolah di tempat ini. Jelas sekolah tak berdaya menghadapi tuntutan kemajuan. Sekolah seperti ini tentu tak punya banyak mimpi apalagi mewujudkannya.

Pengelompokan sekolah seperti ini tentu akan berdampak pada pengelompokkan sosial. Mereka membentuk kelompok-kelompok pertemanan dan pergaulan, sehingga kelas sosial mereka akan saling terjaga.

Nah, pada kelompok kaya mereka bergaul, mereka membangun rumah tangga tentu dari kelompoknya. Sehingga akan lahir kelompok kaya baru. Sebaliknya juga bagi sekolah miskin, tentu yang bersekolah di sana adalah kelompok miskin. Mereka bergaul, mereka menikah dan akan lahir kelompok miskin baru.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pemerataan kualitas pendidikan adalah sebuah keniscayaan memotong mata rantai kasta. Sekolah negeri “favorit” dan sekolah swasta “favorit” harus diperbanyak dengan biaya yang terjangkau, sehingga terjadi distribusi siswa yang rata. Sekolah kasta bawah diintervensi dengan bantuan tenaga atau sarana agar bisa menjadi bagian yang bisa menerima distribusi siswa.

Hal lain yang lebih penting adalah cara berpikir masyarakat juga harus berubah, melepaskan diri cara berpikir yang terjajah. Sehingga tidak memaksakan kehendaknya yang juga bisa menghalalkan segala cara. Bagaimana anak-anak kita bisa menjadi baik, kalau sejak awal cara kita memulai belajar dengan cara yang tidak baik.

Hanya mereka yang berjiwa merdeka yang dapat mengisi kemerdekaan Indonesia.

*Ditulis di Surabaya, 6 Juli 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment