Pengkhianatan elite sebab hancurnya negara

Pengkhianatan elite sebab hancurnya negara

Kriteria Khusus Pemimpin dalam Islam

Suaramuslim.net – Ketika elite distigma melakukan pengkhianatan (korupsi), maka bukan hanya pribadi elite yang hancur, tetapi hukum negara yang telah dirancang. Elite diibaratkan sebagai representasi sebuah negara.

Oleh karena itu, ketika sosok elite dituduh berkhianat, maka hukum atau Undang-Undang (UU) yang dijadikan rujukan tidak akan dipercaya sebagai sumber hukum. Hukum tidak lagi dipercaya karena sosok elite yang dijadikan contoh dan panutan telah berkhianat.

Ketika rakyat tidak percaya penuh atas UU yang selalu dirujuk elite, maka hancurlah seluruh bangunan negara yang telah tersusun secara rapi dan kokoh.

Khianat dan rapuhnya sumber hukum

Tuduhan khianat yang disorotkan pada pemimpin jelas akan merusak gagasan besar suatu negara yang ingin diimpikan. Khianat yang dilakukan oleh pemimpin, sama saja akan mengubur visinya sendiri. Tuduhan pengkhianatan oleh pemimpin akan berdampak pada ketidaktaatan rakyat pada pemimpin.

Islam sendiri melihat bahwa tersebarnya pengkhianatan atau korupsi berakar dari ketidakpercayaan manusia tentang adanya hari kebangkitan. Penolakan terhadap hari kebangkitan itulah yang membuat manusia begitu mudah untuk melakukan kejahatan, termasuk berkhianat.

Al-Qur’an memaparkan bahwa Allah akan meminta pertanggung jawaban manusia atas segala perbuatannya di dunia. Demikian pula bagi mereka yang menyalahgunakan wewenang ketika mengambil barang yang bukan menjadi haknya.

Korupsi merupakan penghianatan karena mengambil barang secara ilegal. Korupsi umumnya dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan keluarganya. Dengan kata lain, korupsi merupakan pengkhianatan atas amanah (kepercayaan) yang diberikan kepada seseorang.

Nabi merupakan sosok utusan Allah yang terpecaya. dan tidak mungkin melakukan perbuatan yang nista itu. Namun nabi pernah dituduh sebagai orang yang berkhianat. Hal itu termaktub sebagaimana firman-Nya:

 وَمَا كَا نَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّ ۗ وَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizalimi.” (Ali Imran: 161).

Sebagai seorang yang memberi peringatan akan datangnya hari kiamat, maka nabi mengingatkan datangnya hari pertanggungjawaban atas perilaku khianat (korupsi). Maka tidak mungkin bagi nabi untuk melakukan korupsi.

Dalam konteks ghanimah (harta rampasan perang), Nabi Muhammad merupakan satu-satunya rasul yang mendapatkan ghanimah. Kalau umat terdahulu, ketika nabi menang dalam peperangan maka ghanimah itu langsung dimakan api. Sementara ketika era Nabi Muhammad, ghanimah diberikan dan dibagi kepada para pihak yang telah ikut andil dalam peperangan.

Apa yang dilakukan Nabi merupakan representasi bagi seorang pemimpin untuk berlaku jujur, dan tidak melakukan perbuatan khianat. Khianat, dalam hal ini korupsi memiliki implikasi kerusakan yang luas sehingga hukumannya sangat berat.

Kalau perbuatan judi, minum minuman keras, atau berzina dampaknya terbatas pada sang pelaku saja. Namun korupsi berdampak luas karena harta yang diambil seharusnya untuk kepentingan umum, namun dimanfaatkan hanya untuk sekelompok kecil orang.

Nabi sungguh ingin kaumnya berpegang teguh pada nilai-nilai yang agung, termasuk dalam menjaga integritas dengan tidak melakukan perbuatan korupsi. Seorang pemimpin ketika bebas korupsi, maka dia bukan hanya menjaga diri dari perbuatan nista, tetapi dia telah menjaga agama ini.

Menjaga agama ini tidak mungkin dilakukan tanpa didasarkan ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan yang sebenarnya inilah yang ditekankan Allah sebagaimana firman-Nya:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَ نْـتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Ali Imran: 102).

Sebaliknya, ketika korupsi dipandang sebagai budaya dan sulit memberantasnya, maka pada hakikatnya telah tersebar kemaksiatan-kemaksiatan yang lain.

Betapa tidak, ketika korupsi menjadi sebuah kebiasaan, maka pemimpin itu akan mudah untuk melakukan penggelapan-penggelapan lain yang jauh lebih massif.  Ketika pemimpin sudah menganggap penyimpangan sebagai hal yang biasa, maka rakyat pun akan melakukan hal yang sama.

Ketika korupsi dilakukan oleh elite dan dipraktikkan oleh rakyatnya secara meluas, maka kerusakan telah tersebar dan meluas. Salah satu di antara kerusakan itu, akan muncul penindasan-penindasan yang dilakukan elite kepada bawahannya. Sementara bawahannya akan melakukan hal yang sama pada masyarakat secara luas.

Ketika praktik penindasan ini berlaku, maka muncullah petaka-petaka yang jauh lebih besar dan akan menghancurkan masyarakat itu sendiri.

Bukankah pemimpin yang melakukan pengkhianatan tidak akan memukul balik pada dirinya? Jawaban sangat jelas bahwa pemimpin yang berkhianat akan mendatangkan petaka pada dirinya.

Pemimpin yang berkhianat membuat hidupnya tidak tenang di masa-masa akhir kehidupannya. Pemimpin yang bersih dari pengkhianatan bukan hanya menikmati hidup baik di akhir-akhir masa hidupnya, tetapi akan menjadi buah tutur (perbincangan) yang positif dari rakyatnya ketika dia mati.

Bahkan dalam Islam, pemimpin yang berkhianat akan mempertanggungjawabkan kesalahannya secara mandiri di hadapan Tuhannya. Hukumannya akan berlipat-lipat karena pengkhianatannya telah melahirkan kesengsaraan kolektif bagi rakyatnya.

Surabaya, 10 Mei 2022
Dr. Slamet Muliono R.
Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya (2018-2022)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment