JAKARTA (Suaramuslim.net) – Puisi Neno Warisman menuai banyak kritik di sejumlah kalangan. Banyak yang menilai bahwa apa yang disampaikan Neno tidak bisa disamakan dengan Perang Badar. Puisinya sendiri dibacakan Neno di acara malam Munajat 212, di Kawasan Monas, Jakarta Pusat, Kamis malam, 21 Februari 2019.
Sejumlah kalangan, utamanya kubu pasangan calon presiden-wakil presiden 01, Joko Widodo-Kiai Ma’ruf Amin, menganggap puisi Neno menantang dan mengancam-ancam Allah. Sebagian lagi menilai doa Nabi dipolitisasi dengan membawa pilpres pada kondisi perang seperti Perang Badar. Namun ada yang menganggap tidak masalah dengan puisi Neno itu, karena bagian dari doa yang dipanjatkan umat kepada Sang Khalik.
Sepenggal kalimat pada puisi Neno yang menuai polemik yakni, “Dan jangan, jangan Engkau tinggalkan kami, dan menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan, kami khawatir ya Allah, kami khawatir ya Allah, tak ada lagi yang menyembah-Mu.”
Menyoal polemik puisi Neno, K.H. Yahya Zainul Ma’arif, atau biasa disapa Buya Yahya pengasuh ponpes Al-Bahjah Cirebon, menjelaskan sepenggal kalimat yang dipersoalkan itu.
Buya Yahya menilai, kalimat yang dipersoalkan itu bukan mengancam Allah. Sebab, Nabi Muhammad juga pernah berdoa seperti itu saat Perang Badar 17 Ramadhan 2 Hijriah. Hal ini tercantum dalam hadis riwayat Muslim.
“Tentang kalimat itu, ‘jika Engkau tidak memenangkan kami, maka kami khawatir tidak ada yang menyembah-Mu di muka bumi. Jawabannya adalah, bukan mengancam Allah. Kalau mengancam Allah begini, ‘ya Allah, kalau Engkau tidak memenangkan kami, kami tidak akan menyembah-Mu. Itu kurang ajar. Akan tetapi dia mengatakan, ‘ya Allah jika Engkau tidak memenangkan kami, maka kami takut tidak ada yang menyembah-Mu. Kalimat ini bukan kalimat ancaman, bukan mengancam Allah. Akan tetapi ini rasa khawatir. Kalimat ini siapa yang pertama mengucapkan? Ini yang pertama mengucapkan adalah Baginda Nabi Besar Muhammad waktu di Perang Badar,” ujar Buya Yahya dalam video di Youtube.
Buya menjelaskan, saat Perang Badar, pasukan Nabi Muhammad hanya sekitar 300 orang melawan pasukan kafir Quraisy seribu lebih. Perang yang tidak seimbang secara jumlah. Di saat itulah, Nabi meminta kepada Allah untuk mengabulkan janji-Nya.
“Nabi mengadu ke Allah, ya Allah penuhi janji-Mu. Nabi serius berjuang di jalan Allah, maka sesuai janji Allah, Allah akan menolongnya. Maka Nabi tagih janji Allah. Ini bukan berarti mengancam Allah. Akan tetapi rasa kekhawatiran Nabi, karena Nabi ingin setiap pojok rumah ada orang sujud, setiap sejengkal tanah ada orang sujud. Karena kalau orang Islam kalah, kemudian orang kafir tidak ada yang sujud. Akhirnya bumi ini tempat bermaksiat semuanya,” ujar Buya Yahya.
Buya Yahya menegaskan, penjelasannya ini hanya untuk menerangkan makna kalimat yang menjadi polemik di tengah masyarakat. Dia tidak ingin penjelasannya ini diasumsikan mendukung atau membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lainnya.
“Ini zamannya zaman fitnah. Dipotong begini, dipikir nanti kita memusuhi ini atau mendukung ini. Kita bicara tentang ilmiah permasalahan. Terlepas siapa yang ngomong. Bapakku, anakku, keponakanku, sama,” tegasnya.
“Kami hanya mengomentari kalimat ini. Itu bukan menantang Allah,” tandas pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah ini.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir