Pentingnya Eksistensi Kelompok Al-Mutawassimin

Pentingnya Eksistensi Kelompok Al-Mutawassimin

New Normal dan Citizen Responsibility
Ilustrasi laki-laki memberikan bahan makanan. (Ils: Dribbble/@Uran)

Suaramuslim.net – Al-Qur’an menyebut Al-Mutawassimin pada orang memiliki hati jernih dan nalar positif dalam melihat realitas di sekelilingnya. Berbagai peristiwa yang dilihatnya menggerakkan hatinya untuk memberi nasihat pada masyarakatnya.

Adanya Al-Mutawassimin membuat tersebarnya kebaikan di tengah masyarakat, sehingga tertanam dan tumbuh generasi-generasi agung yang mereproduksi. Sementara, ketidakhadiran mereka bukan hanya memantik adanya penolakan terhadap kebaikan tetapi justru penghalang tumbuhnya kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. 

Situasi seperti inilah yang mengundang azab Allah. Maraknya perzinaan dan homoseksual, pengurangan timbangan (takaran), perbudakan, perdukunan, dan penyembahan kepada selain Allah, merupakan pintu masuk porak porandanya tatanan sosial dan hancurnya masyarakat. Al-Qur’an merekam sejarah kehancuran kaum Nabi Luth, kaum Ad, Tsamud, Ashabul Aikah, dan Firaun, yang disebabkan minimnya kelompok Al-Mutawassimin.  

Al-Mutawassimin dan tumbuhnya kebaikan

Al-Qur’an menyambut baik orang yang tanggap terhadap dampak sosial menyebarnya perbuatan buruk. Mereka ini memiliki kepekaan sosial yang lebih, sehingga menyarankan anggota masyarakatnya untuk terhindar dari munculnya perbuatan buruk dan menyimpang. 

Allah telah memberikan bekal yang cukup kepada seluruh umat manusia untuk mengetahui hakikat adanya Allah, kebenaran kitab suci, eksistensi rasul, adanya malaikat, kepastian adanya hari kiamat, dan ketetapan takdir. Bekal itu di antaranya: 

Pertama, akal sehat. Manusia dianugerahi akal sehat guna membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan akal itu manusia bisa memperkirakan setiap perbuatan yang dilakukan mengandung kebaikan dan keburukan serta dampaknya. 

Kedua, hati nurani. Dengan adanya hati nurani ini manusia bisa mempertimbangkan segala sesuatu secara mendalam, baik manfaat atau mudharatnya sesuatu. Hati nurani tidak pernah bohong, sehingga bisa mengontrol setiap langkah dan gerak manusia. 

Ketiga, realitas dan peristiwa sekitar kita. Realitas atau peristiwa yang ada ada di sekitar kita, dan bisa kita amati akan membimbing kita untuk bisa membedakan yang baik dan buruk. Orang yang hidupnya mulia bisa membuat kita bisa mengambil pelajaran tentang perilaku apa yang membuat mereka mulia. Dan pada saat yang sama, kita bisa melihat kehinaan seseorang di sekitar kita, sehingga kita bisa berpikir apa yang membuat orang terhina di hadapan manusia. 

Tiga perangkat inilah yang bisa membuat manusia senantiasa jernih dalam berpikir dan lurus dalam bertindak. Bahkan dia menjadi cermin bagi orang lain untuk dijadikan teladan dalam bertindak berperilaku. Orang yang demikian inilah yang bisa dikategorikan sebagai Al-Mutawassimin. 

Orang yang demikian ini oleh Al-Qur’an disebut sebagai manusia peka dan peduli terhadap lingkungannya. Dia bukan hanya generasi yang peduli terhadap kebaikan tetapi senantiasa menyerukan orang lain berbuat baik. 

Orang ini mampu mengenal tanda-tanda kebaikan sekaligus bisa mengestimasi adanya keburukan dari tindakan masyarakatnya. Allah menarasikan orang seperti ini sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّلۡمُتَوَسِّمِينَ

“Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (Al-Hijr: 75).

Sebelum dan sesudah ayat ini memotret kehancuran kaum terdahulu karena menolak dakwah nabi dan rasul mereka. Al-Qur’an menunjukkan adanya kaum yang terjungkir balik akal pikirannya, sehingga melakukan persetubuhan sesama jenis. Para laki-laki tidak memiliki syahwat terhadap perempuan, tetapi justru menyukai sesama laki-laki. Kondisi yang demikian ini membuat mereka dijungkirbalikkan Allah hingga musnah tiada bekas. Hal ini sebagaimana firman-Nya:

فَجَعَلۡنَا عَٰلِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمۡطَرۡنَا عَلَيۡهِمۡ حِجَارَةٗ مِّن سِجِّيلٍ

“Maka Kami jungkirbalikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.” (Al-Hijr: 74).

Mereka merupakan komunitas masyarakat yang tidak memiliki kepekaan atas dampak dari perbuatan yang mereka lakukan. Bukankah dengan kawin sesama akan memutus mata rantai generasi dan tumbuhnya penyakit yang tak wajar? 

Orang-orang yang memiliki kecerdasan dan kepekaan inilah yang disebut Al-Qur’an sebagai kelompok Al-Mutawassimin.

Al-Qur’an merekam sejumlah kehancuran berbagai kaum terdahulu. Hal itu disebabkan oleh pola tingkah perbuatan yang melampaui batas dan di luar kewajaran.  

Hancurnya kaum Ad, kaum Tsamud, Ashabul Aikah, kaum Sodom, dan kerajaan milik Firaun tidak lain karena perilaku mereka yang menyimpang. Hancurnya mereka itu semua disebabkan tidak adanya sekelompok masyarakat yang peka terhadap adanya penyimpangan dan enggan melakukan perbaikan. 

Kalau kita lihat realitas hancurnya masyarakat nabi-nabi terdahulu disebabkan oleh satu satu perilaku mereka. Di antaranya, berzina sesama jenis, mencuri timbangan, tidak percaya adanya akhirat, atau menyembah berhala saja. Sementara saat ini kita dapati di sekitar kita begitu banyak orang melakukan semuanya dalam satu waktu. Semaraknya kaum homoseksual yang memperjuangkan perkawinan sejenis, pencurian takaran/timbangan, menolak adanya akhirat, dan mereka melakukan pengkultusan/penyembahan terhadap salah satu tokoh hingga menolak agama yang dibawa oleh tokoh agama. 

Bahkan eksistensi mereka memperoleh dukungan dari para intelektual dan cerdik pandai. Mereka begitu gigih memperjuangkan paham menyimpang mereka dengan berbagai cara serta difasilitasi oleh penguasa, serta berani mengancam eksistensi kelompok-kelompok Al-Mutawassimin.

Ketika kelompok Al-Mutawassimin ini diganggu keberadaannya dan kontribusinya dihilanglenyapkan, maka bisa jadi akan mempercepat adanya azab dan hancurnya tatanan masyarakat. Ketika orang-orang kritis dan peka terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh elite penguasa, dan penyimpangan itu demikian massif dan sulit terbendung, maka keadilan dan kemakmuran akan berganti penindasan dan kesengsaraan kolektif. 

Surabaya, 14 Juli 2020
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment