Suaramuslim.net – Suatu saat, Bung Karno menggelorakan semangat pemuda dengan penuh karisma, “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” (Rhien Soemohadi Widjojo, Bung Karno Singa Podium, 421). Kata-kata yang disampaikan dengan berapi-api ini, pasti membuat hati orang-orang yang mendengarnya bergetar. Dari retorika yang digelorakan, terlihat jelas bagaimana kedahsyatan potensi pemuda.
Sejenak kita melihat ke belakang, saat zaman penjajahan Belanda. Siapakah lakon-lakon yang dengan lantang menentang dan mengupayakan kemerdekaan? Nyatanya, kabanyakan dari mereka adalah para pemuda. H.O.S Tjokro Aminoto (1882-1934 sebagai Bapak Bangsa yang melahirkan banyak pahlawan), misalnya, saat menerima amanah dari H. Samanhudi untuk memegang pimpinan Syarikat Islam, usianya baru 30 tahun. Kemudian, H. Agus Salim (1884-1954), sang diplomat ulung, aktif di Syarikat Islam ketika berusia 28 tahun.
Demikian juga Abdoel Moeis (1890-1959) ketika aktif dalam National Congres Central Sarikat Islam di Bandung tahun 1916, usianya baru 26 tahun. Soekarno sendiri saat mendirikan PNI baru berusia 26 tahun. Soekiman Wirjosandjojo (1896) di usianya yang baru 29 tahun, sudah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia pada 11 Januari 1925 di Belanda. Mohammad Hatta (1902-1980) ketika ditangkap di Den Haag sebagai aktivis Perhimpunan Indonesia, baru berusia 25 tahun.
Selain itu, ada S.M. Kartosuwiryo (1905-1962) ketika mewakili Syarikat Islam dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928, usianya baru 23 tahun (M. Suryanegara, Api Sejarah I, 536). Mohammad Natsir, saat usianya masih 26 tahun, ia sudah memikirkan bagaimana harus memajukan bangsa lewat jalur pendidikan (Tempo, Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim, 2011). Pendidikan yang didirikannya adalah contoh konkret Natsir muda dalam berjuang melalui ranah pendidikan.
Bukan hanya para pemuda. Para pemudi pun juga turut berjasa dalam arena perjuangan Indonesia. Sebut saja misalnya R.A. Kartini (1879-1904) pada usia 20 tahun sudah berkirim surat dengan Abendanon mengenai cita-cita pendidikan. Demikian juga Raden Dewi Sartika (1884), pada usia 20 tahun ia berhasil membangun Sekolah Isteri di Bandung pada 16 Januasi 1904. Rahma El-Yunusiah (1900) pun tak kalah menarik. Pada usia 23 tahun sudah mendirikan Madrasah Diniah Lilbanat, bahkan turut memelopori berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (Mansur, 2015: 536) Dan pejuang wanita lainnya yang tidak bisa disebutkan semua dalam tulisan singkat ini.
Contoh-contoh tersebut membuktikan bagaimana pemuda-pemuda mengisi panggung perjuangan bangsa sehingga di kemudian hari berjasa besar dalam upaya memerdekakan bangsa Indonesia dari kolonialisme. Pada momen Hari Sumpah Pemuda, sudah seyogianya para pemuda menilik, menginstrospeksi kembali, dan mengevaluasi apa yang harus dipersembahkan untuk bangsanya. Jika para pemuda pra kemerdekaan berjuang secara sungguh-sungguh untuk mengupayakan kemerdekaan, maka perjuangan apa yang akan dijadikan agenda bagi pemuda di era digital ini.
Apa penjajahan sudah benar-benar usai? Secara fisik memang terlihat merdeka. Penjajahan lain dalam bentuk yang tidak kentara (tampak) pun masih tetap ada. Siapa pemuda yang berjuang melalui sektor ekonomi agar bangsa Indonesia menjadi pionir di negeri sendiri? Siapa yang mau berjuang di bidang sosial, politik, budaya, dan bidang-bidang lain yang kenyataannya masih belum benar-benar mandiri dan merdeka lahir-batin?
Sekali lagi, apa peran pemuda di era informasi dan teknologi seperti sekarang ini bagi bangsa? Di saat Indonesia akan terus mengalami apa yang disebut dengan “bonus demografi” hingga tahun 2025, di mana usia penduduk yang produktif (20-50 tahun) menjadi dominan (Darwin Purba, Menuju Indonesia Baru, 310). Jika usia-usia produktif ini disia-siakan, maka tak bisa dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Padahal, para pejuang muda prakemerdekaan dengan susah payah, bahkan harus menumpahkan darah mereka untuk merebut kemerdekaan yang dinikmati hingga detik ini.
Semangat Chairil Anwar dalam puisi “Aku”, tampaknya sangat dibutuhkan bagi pemuda zaman sekarang:
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Hasan Asphani, Chairil Anwar, 126)
Semangat Chairil muda melampau zamannya. Ia bertekad tetap berjuang dan ingin hidup seribu tahun lagi. Meski hidup seribu tahun pada kenyataannya tak terjadi, tapi semangat dan gelora Charil bagi para pemuda masih relevan untuk diteladani. Sebagai gambaran pemuda yang tak gampang menyerah dengan masalah, justru mengatasinya dengan gagah, serta berusaha berperan yang terbaik bagi bangsanya. Wallahu a’lam.
Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc
Editor: Oki Aryono
*Alumnus Universitas Al Azhar Mesir