Perhatikan Tiga Hal ini Sebelum Menjadi Guru

Perhatikan Tiga Hal ini Sebelum Menjadi Guru

Perhatikan Tiga Hal ini Sebelum Menjadi Guru
Ilustrasi anak-anak belajar menggunakan globe.

Suaramuslim.net – Madrasah tempat saya mengajar kedatangan alumni Prodi Pendidikan Matematika. Ia lulus dalam jangka waktu 3 tahun 8 bulan. Alumni yang pernah sekolah di SMK Negeri 4 Malang tersebut ingin menemui kepala sekolah dan menyerahkan hasil tugas akhirnya (skripsi). Skripsi yang ia tulis membahas pengembangan media permainan Monopoli pada pembelajaran materi transformasi untuk kelas VII.

Sayangnya, karena kepala sekolah sedang mendampingi anak-anak dalam prosesi wisuda, maka saya menemani gadis muda yang bercita-cita ingin lanjut jenjang magister di Unesa tersebut.

“Rencana mau lanjut S2 lewat LPDP mas…,” kata gadis dengan nama lengkap Erlanda Nathasia Subroto.

Mbak Erlanda sebagai lulusan Pendidikan Matematika saya tanyai, “Apakah sampean berminat menjadi guru?” Ia bilang menjadi guru di kota Malang ini butuh koneksi kuat. Sebetulnya yang ia katakan tidak sepenuhnya benar, pasalnya lowongan guru itu cukup banyak. Dikarenakan sekolah negeri krisis tenaga pengajar. Diakui Kepala Dinas Pendidikan kota Malang, “Kekurangannya masih banyak. Kan waktu itu 800 sekian. Sekarang ini mendapat 237 ASN sehingga boleh dikatakan hanya 30 persen,” ujar Dra. Zubaidah kepada wartawan Malang Times (9/3/2019).

Guru adalah orang terdidik yang terpanggil jiwanya untuk mengajar meski tidak dapat reward yang layak. Namun nyatanya, tak semua sarjana dari Fakultas Keguruan terpanggil jiwanya untuk menjadi guru. Bila tidak terpanggil jiwanya apalagi disertai militansi, maka ia takkan bertahan lama menjadi seorang guru.

Sebelum seseorang memutuskan menjadi guru di sekolah negeri maupun swasta, sebaiknya ia memerhatikan tiga hal berikut:

Pertama, apakah ia menganggap guru sebagai profesi dan mengejar materinya?

Kedua, apakah ia menjadi guru karena panggilan jiwa?

Ketiga, mampukah ia konsisten memperbaharui ilmu?

Bila materi yang dijadikan prioritas utama, maka yang ia dapatkan hanya kekecewaan dan kelelahan. Pasalnya, gaji guru hanya dikisaran Rp150.000 – Rp950.000. Baik menjadi honorer di negeri maupun guru tetap di lembaga pendidikan swasta.

Di Kepulauan Alor misalnya, ada guru PAUD mengajar selama empat tahun tanpa gaji. Setelah empat tahun, guru PAUD itu mendapat gaji Rp800.000. Itupun bukan dari pemerintah, melainkan dari gereja. Apabila gaji yang didapat belum mencukupi, seorang guru pasti mencari tambahan berupa; membuka les privat, menjadi petugas SPBU, hingga menjadi pengemudi ojek online.

Kemudian masih saya jumpai sebagian orang bertitel magister gengsi mengajar level SD hingga SMA. Pembaca setia Suaramuslim.net tak perlu heran, karena rata-rata mereka ingin merasakan pengalaman menjadi dosen di perguruan tinggi. Tapi perlu diketahui, bapak mertua saya, Dr. Safi’udin M.Si tak gengsi mengajar di SMAN 4 Probolinggo, begitu pula Dr. Sutirjo M.Pd, mantan guru saya di MTsN Negeri 1 Malang yang tak gengsi mengajar mata pelajaran biologi.

Terakhir, menjadi guru harus konsisten memperbaharui ilmu, bisa dengan membaca koran, makalah dan buku. Selain itu mengikuti seminar, workshop dan diklat. Dengan rajin membaca, seorang guru akan memberikan informasi dan wawasan baru kepada anak didiknya. Dengan membaca, ia akan terdorong untuk membuahkan karya tulis.

Kata elite Muhammadiyah Jawa timur, Prof Imam Robandi, guru yang suka menulis, bisa dipastikan muridnya pintar-pintar. Karena murid akan terbiasa dididik dan diajari oleh guru yang terbiasa melakukan keteraturan dalam tulisannya. Wallahu a’lam.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment