Rekonsiliasi Demi Cinta Tanah Air?

Rekonsiliasi Demi Cinta Tanah Air?

Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo Demi Cinta Tanah Air
Prabowo Subianto (kanan) bersalaman dengan Presiden RI Joko Widodo. (Foto: Instagram/@Prabowo)

Suaramuslim.net – Baru-baru ini beredar pidato Prabowo yang mengisahkan tiga episode sejarah yang dia jadikan petunjuk mengapa dia menerima tawaran Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Satu cuplikan dari sejarah perang saudara di AS antara Lincoln vs Seaward, Jepang antara Tokugawa vs Mitsunari sesudah kematian Hideyoshi dan Tiongkok antara Mao Zedong vs Deng Ziaoping. Meneladani cuplikan sejarah tersebut, alasan pokok penerimaan rekonsiliasi itu adalah bahwa dia dan Jokowi sama-sama pecinta tanah air.

Apakah cuplikan sejarah itu cocok benar dengan situasi “perang saudara” paling mutakhir di Indonesia mungkin sebuah wacana yang easily debatable. Perbedaan pokoknya adalah bahwa ada pihak yang mengaku pecinta sambil menuduh pihak berseberangan sebagai pengkhianat tanah air. Yang satu mendaku Pancasila sambil menuduh yang lain sebagai anti-Pancasila, anti-kebhinnekaan.

Masalahnya adalah para pendukungnya hingga saat ini masih saja dituduh pengkhianat Pancasila; ada kelompok radikal, taliban, anti-NKRI di belakang Prabowo. Langkah Prabowo ini, jika tidak segera dibarengi dengan aksi mengakhiri fitnah besar ini, tidak akan pernah mendamaikan perang saudara ini. Bahkan narasi perang melawan radikalisme ini justru makin kuat karena masih menjadi tugas bagi banyak menteri kabinet baru.

Bagaimana mungkin membangun pertahanan dengan memusuhi Islam di Indonesia?????

Perlu diingat bahwa dukungan bagi Prabowo oleh “kelompok radikal” itu disertai prasyarat bahwa Prabowo harus mengagendakan “Kembali ke UUD45 sebelum diamandemen.”

Mengapa? Karena sejak rangkaian amandemen atas UUD45 itu, Republik ini justru mengalami deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin menjauh dari cita-cita para pendiri bangsa sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD45 dan batang tubuhnya sesuai Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Tanpa agenda “Kembali ke UUD45” ini, semua tugas pertahanan yang diamanatkan di atas pundaknya sekarang hanya tinggal omong kosong. Republik ini sudah runtuh sejak pondasinya dibongkar lalu kedaulatannya dipreteli; pangan, energi… You name it.

Bagi “kelompok radikal” itu jelas bahwa UUD45 adalah pernyataan perlawanan terhadap penjajahan dalam bentuk apa pun. Mengubah UUD45 menjadi UUD 2002 itu berarti membuka jalan bagi penjarahan nekolimik besar-besaran atas kekayaan negeri ini.

Salah satu misi Republik ini adalah menjaga segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Sulit mengatakan bahwa penjagaan itu telah efektif disediakan sebagai public goods bagi rakyat kebanyakan. Saat hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, pembantaian warga pendatang di Wamena terjadi tanpa pertanggungjawaban eksekutif yang jelas, sulit mengatakan bahwa tugas konstitusional ini telah dilaksanakan dengan baik.

Segera perlu diingat bahwa tugas-tugas berbangsa dan bernegara tidak selesai di bilik-bilik suara. “Kelompok radikal” ini telah memastikan untuk melakukan jihad konstitusi untuk melakukan perlawanan atas proyek sekulerisasi sebagai proksi deislamisasi besar-besaran yang semakin sengit terjadi melanda negeri yang kemerdekaannya telah diperjuangkan dengan keringat, darah dan air mata para ulama dan santri.

Jihad konstitusi ini adalah revitalisasi Resolusi Jihad yang menjadi ruh perlawanan melawan Sekutu yang mencoba hadir kembali di Surabaya di penghujung 1945. Jadi, soal cinta tanah air ini, siapa pun tidak perlu mengajari para ulama dan santri.*

Gunung Anyar, 24 Oktober 2019.

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment