Suaramuslim.net – Masjid sebagai sarana terdepan pembinaan jamaah dalam era globalisasi informasi perlu melengkapi diri dengan perpustakaan yang dapat dibuka oleh jamaah, berupa bahan bacaan buku maupun elektronik semisal tersedianya wifi. Ini semua akan menjadi sumber pengembangan wawasan ilmu agama maupun umum, termasuk ekonomi dan politik.
Memang harus diakui bahwa buku yang bermutu termasuk barang yang mahal. Namun dengan tersedianya perpustakaan buku yang mahal itu akan menjadi terjangkau karena bukan dibeli oleh dan untuk satu orang tetapi dibeli dan dipakai bersama.
Ketersediaan buku sumber ilmu juga akan kian mudah jika masjid dapat menggalakkan wakaf buku. Wakaf buku tidak harus buku baru. Buku bermutu baik yang pernah dibaca akan merupakan shadaqah jariyah jika diwakafkan ataupun sekedar dipinjamkan. Pahala akan bertumpuk-tumpuk jika buku itu dibaca dan dimanfaatkan untuk pengembangan diri, kegiatan bersama, ataupun bahkan lebih luas lagi jika ilmu dari kandungannya dikembangkan.
Budaya membaca dan menulis di kalangan umat Islam Indonesia masih sangat rendah. Padahal sejarah menunjukkan bahwa umat Islam di masa lalu mencapai kejayaan di masa mereka punya pemerintahan yang mendorong pengadaan dan pengembangan perpustakaan untuk penguasaan berbagai macam ilmu.
Dari bahan bacaan itu dapat dikembangkan penalaran, ataupun pemikiran bersama lebih lanjut dengan mendiskusikan materi yang sudah dibaca lebih baik lagi jika kajian seperti ini dilengkapi dengan kehadiran narasumber yang kompeten.
Dalam zaman now “bahan bacaan” sebagai sumber literasi itu dapat juga kita peroleh dari jaringan internet. Tersedianya free wifi di masjid, setiap Sabtu dan Ahad sore misalnya, akan “mempertemukan” sejumlah “remaja” untuk memfasilitasi pembinaan remaja masjid mempersiapkan diri, agar lebih berperan di masa depan. Semoga.
Merintis Perpustakaan
Perpustakaan besar memang “tanpa batas”; konon ada yang bergedung dengan 40 lantai, memiliki jutaan buku, dan majalah, brosur, leaflet, film, maupun literatur dalam bentuk data elektronik (IT; CD audio, video, ppt, tape recorder, piringan hitam, dsb).
Perpustakaan ini juga memiliki jaringan antar perpustakaan sehingga tak ada sumber ilmu yang tidak dapat diakses jika ada ada yang memerlukannya. Bahkan ada yg menyediakan dana untuk “membeli” buku yang “terpaksa” dibeli oleh anggota perpustakaan karena buku yang dimaksud itu tidak tersedia di koleksinya. Anggaran untuk perpustakaan seperti itu memang besar, karena melibatkan sarana dan tenaga yang tidak sedikit!
Untuk memulai sebuah “perpustakaan” dapat diawali dari yang sederhana, sehingga ada yang berupa perpustakaan keliling. Misalnya saja “Perpustakaan Gendhong” (menyediakan sejumlah bahan bacaan yang cukup untuk digendong), ada juga yang bahan bacaan itu diangkut dengan sepeda “onthel”, sepeda motor, perahu, atau pun mobil.
Untuk di masjid perpustakaan dapat dimulai dengan menyediakan “beberapa” buku lama atau pun baru sumbangan jamaah yang mungkin sudah tidk pernah dibaca lagi. Buku ditata sesuai dengan isinya untuk kemudahan mencari; disediakan rak atau meja di “pojok belakang” masjid (agar tidak mengganggu jamaah yang shalat); jika ada lemari akan lebih baik.
Penulis: dr. Rasyid Mohammad Tauhid al-Amien, M.Sc., Dipl. HP. Ed, AIF*
Editor: Muhammad Nashir
*Mantan Ketua Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia (BPPMI) Jawa Timur