Persekutuan Israel, Iran dan Amerika Serikat

Persekutuan Israel, Iran dan Amerika Serikat

Persekutuan Israel, Iran dan Amerika Serikat

Judul Buku        : Persekutuan Israel, Iran dan Amerika Serikat (Hubungan Rahasia Tiga Negara Di Balik Huru-Hara Timur Tengah)
Penulis               : Trita Parsi
Cetakan             : I (Pertama)
Tebal                  : 364 hlm.

Suaramuslim.net – Buku ini merupakan adaptasi dari penelitian disertasi Trita Parsi di School of Advanced International Studies di Universitas John Hopkins, AS pada tahun 2007 di bawah supervisi Francis Fukuyama, penulis buku fenomenal The End of History. Dalam sebuah wawancara ekslusif [i] khusus tentang buku ini, Trita Parsi menyatakan bahwa beliau ingin melakukan penelitian tentang sejauh mana ideologi sebuah negara memengaruhi kebijakan luar negeri negara tersebut. Israel dan Iran adalah dua contoh terbaik dalam topik penelitian ini. Israel sebagai negara berideologi Yahudi dan Iran sebagai negara yang menggunakan ajaran-ajaran Syiah sebagai fondasi resmi ideologi negaranya. Trita Parsi juga ingin mengungkap sejauh mana pasang-surut hubungan Israel dengan Iran telah memengaruhi sebagian besar kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah.

Dengan dua tujuan utama di atas, buku ini kemudian berisi perjalanan hubungan segitiga antara ketiga negara selama lebih dari 60 tahun ke belakang pasca berakhirnya Perang Dunia II—era Perang Dingin hingga era Unipolar. Yakni pasca keruntuhan negara adidaya Uni Soviet sebagai rival Amerika Serikat dalam era Perang Dingin. Derajat permusuhan dan persahabatan ketiga negara ini selalu mengalami pasang surut sesuai dengan kecenderungan politik masing-masing rezim yang berkuasa. Tetapi yang pasti, dalam kenyataan sejarahnya, sebagian besar huru-hara politik, ekonomi, dan militer di Timur Tengah merupakan akibat, baik langsung ataupun tidak, dari pasang surut hubungan ketiga negara ini.

Dengan akses terhadap dokumen-dokumen rahasia-negara-tingkat-tinggi di masing-masing negara dan wawancara terhadap tidak kurang dari 130 pejabat tinggi negara dari masing-masing negara—sebagai saksi dan pelaku sejarah— buku ini memberikan informasi yang berharga untuk memperbaiki pandangan kita, khususnya umat Islam di Indonesia, tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Timur Tengah selama lebih dari setengah abad ke belakang.

Ketergantungan pragmatis Iran pada Israel—yang mampu memberi Iran akses terhadap persenjataan produk Amerika dan perbaikan hubungan diplomatik—misalnya, membuat kita sebagai umat Islam di Indonesia tidak bisa percaya terhadap keseriusan Iran dalam isu pembebasan wilayah Baitul Maqdis yang dihuni oleh warga Palestina. Kampanye dan propaganda media pemerintahan Iran, yang mulai masif digunakan sejak pemerintahan Revolusi Iran, yang secara konsisten mengecam Israel tidak akan pernah bertransformasi menjadi kebijakan kongkrit apapun, misalnya mengirim bantuan militer kepada kelompok pejuang di Palestina. Sebab sebagaimana diyakini oleh Israel sendiri, Iran tidak akan pernah berani menyerang Negara Yahudi ini secara militer.

Buku ini mencatat keterangan dari salah satu pejabat Iran bahwa negara ini memiliki dua jenis kebijakan luar negeri mengenai isu wilayah Baitul Maqdis yang dihuni warga Palestina. Yaitu kebijakan retorika dan kebijakan operasional.

Dalam kebijakan retorika, Iran akan mengecam sekeras mungkin setiap tindakan Israel di wilayah Baitul Maqdis. Tetapi, dalam kebijakan operasional, Iran akan tetap menjaga hubungan pragmatisnya dengan Negara Yahudi. Bagi Israel sendiri, Iran merupakan sekutu alami bagi Negara Yahudi, misalnya, sebagai negara yang sama-sama non-Arab di Timur Tengah dan sebagai konsekwensi logis dari sebuah doktrin kebijakan luar negeri yang dikenal dengan istilah “doktrin periperial”—yang pertama kali diperkenalkan oleh Perdana Menteri David Ben-Gurion.

Doktrin ini—“periperial” artinya “wilayah pinggiran”—mengungkapkan persepsi Negara Yahudi tentang ketidakmampuannya membangun hubungan damai dengan negara-negara di lingkaran-dalam Arab-Timur Tengah yang mendorongnya untuk membangun aliansi dengan negara-negara di pinggiran wilayah Timur Tengah, yaitu, Iran di sisi Timur, Ethiopia di sisi selatan, dan Turki di sisi utara.

Di sisi lain, sebagai negara yang berpopulasi warga Yahudi terbesar di Timur Tengah setelah Israel sendiri, Iran merupakan negara yang sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan serangan militer-nuklir dari Israel. Dengan kemunculan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya pasca runtuhnya Uni Soviet, hubungan Iran-Israel menjadi semakin erat sekaligus rumit, sebab kedekatan salah satu negara terhadap negara adidaya ini cenderung akan mengorbankan kepentingan negara lainnya.

Misalnya, ketika Iran diisukan sedang mengembangkan teknologi nuklir dan dukungannya terhadap kelompok Hizbullah di Lebanon meningkat, Israel merasa terancam sehingga kelompok lobi pro-Yahudi di Amerika mendorong pemerintahan Negeri Paman Sam untuk menjatuhkan sanksi isolasi terhadap Iran—buku ini juga mengungkap peran sebuah lembaga pro-Yahudi di Amerika yang “lebih pro-Israel dibandingkan pemerintahan Israel sendiri”.

Alhasil, terhadap pertanyaan sejauh mana ideologi Syiah Iran dan ideologi Yahudi Israel memengaruhi kebijakan luar negeri kedua negara telah terjawab. Kepentingan geopolitik-lah, bukan ideologi, yang justru menjadi fondasi dan orientasi kebijakan luar negeri kedua negara ini. Lalu Trita Parsi menyarankan sebuah pendekatan “integrasi regional dan keamanan kolektif”, yang menekankan keterlibatan peran Iran dalam proses pembangunan tatanan dunia baru di Timur Tengah.

Dalam konteks ini, sikap oposisi, dalam beberapa hal “oposisi retorika” Iran terhadap Amerika, misalnya, dapat dipahami sebagai respon terhadap kebijakan isolasi Amerika terhadap Iran, bukan semata-mata permusuhan ideologis Iran terhadap ideologi kapitalisme Amerika—sebab pada kenyatannya, dalam konteks dunia unipolar, Iran tetap bergantung pada Amerika untuk menjadi kekuatan regional di Timur Tengah, baik restu-diplomatik, suplai senjata, maupun hubungan perdagangan, terutama minyak, dan barang lainnya.

Dengan demikian, hubungan Israel, Iran, dan Amerika Serikat adalah sebuah keniscayaan yang didikte hukum-besi geopolitik dan kepentingan nasional masing-masing negara. Israel membutuhkan Iran sebagai sesama negara ‘terasing-non-Arab’ di tengah-tengah negara Arab di wilayah Timur Tengah yang sama-sama memiliki kecenderungan konfrontatif dengan negara Arab; Iran membutuhkan Israel untuk mendapatkan akses diplomatik dan suplai persenjataan dari Amerika Serikat; dan Amerika Serikat berkepentingan atas relasi kedua negara ini—sebagai kekuatan regional di Timur Tengah—untuk menjaga kepentingan Amerika Serikat itu sendiri.

Kesimpulan dan pendekatan Trita Parsi ini harus lebih hati-hati diperiksa. Meskipun Trita Parsi telah ‘berhasil membongkar’ secara tidak langsung hubungan yang dengan penuh kerja keras berusaha ditutup-tutupi, akan tetapi pandangan bahwa ideologi Syiah dan Yahudi tidak bekerja dalam spektrum kebijakan kedua negara adalah pandangan khas akademisi sekular.

Bagi kita sebagai umat Islam di akhir zaman, kepentingan kita terhadap relasi ketiga negara ini adalah eksistensi wilayah Baitul Maqdis sebagai tempat suci ketiga dalam ajaran Islam yang dinubuatkan Rasulullah SAW akan menjadi pusat perjuangan umat Islam di seluruh dunia. Dengan berbagai fakta sejarah yang disajikan buku ini, tentu saja kita harus semakin paham dan yakin bahwa perjuangan pembebasan Baitul Maqdis—yang saat ini masih dikangkangi oleh hubungan segitiga negara ini—tidak bisa kita sandarkan kepada metode-metode dan pendekatan-pendekatan selain dari apa yang diajarkan Rasulullah SAW sendiri.

Sekaligus kita tidak lagi terbuai dengan propaganda media yang memberikan citra pemihakan dan pembelaan kepada warga Palestina, padahal retorika tersebut hanya sebuah basa-basi politik untuk mendapatkan simpati umat Islam di seluruh dunia. Sebab kepentingan Iran, sejak era Shah, Khomeini hingga Ahmadinejad, bukan itu—pembebasan Baitul Maqdis-—tetapi supremasi negaranya di regional Timur Tengah, yang mendorong negara ini secara konsisten tetap menjaga hubungan baik, bahkan memberikan layanan terbaik, kepada “Setan Besar” dan “Amerika Kecil”.  Allaahu a’lam

Peresensi: Imam Sofyan*

[i] Wawancara ini bisa diakses secara online di akun Youtube “UC Berkeley Events” dengan judul “Conversation with History – Trita Parsi”. “Conversation with History” merupakan serial wawancara yang dipandu oleh Harry Kreisler, Direktur Eksekutif Institute of International Studies, University of California at Berkeley.

*Peresensi adalah penerjemah buku Persekutuan Israel, Iran dan Amerika Serikat.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment