Polemik Penghapusan Kafir dan Keterbelahan Umat Islam

Polemik Penghapusan Kafir dan Keterbelahan Umat Islam

Polemik Penghapusan Kafir dan Keterbelahan Umat Islam
Ilustrasi ragam agama (Foto: ankommenapp.de)

Suaramuslim.net – Hasil Munas dan Bahtsul Masail NU benar-benar memantik polemik di tengah masyarakat. Hal ini terkait dengan larangan menyebut “kafir” bagi kelompok non muslim Indonesia. Karena mereka adalah warga negara Indonesia, dan penyebutan kafir mengandung kekerasan teologis. Upaya penghapusan kata kafir, di mata publik seolah-olah dilatarbelakangi adanya kelompok non muslim tertekan atau terhinakan oleh kata-kata tersebut, dan umat Islam seakan-akan tak toleran.

Padahal demikian ini jauh dari realitas yang sebenarnya, di mana umat Islam memberi toleransi dan kebebasan beragama kepada kelompok non muslim untuk melaksanakan ajaran agamanya. Warga non muslim hidup tanpa mendapatkan ancaman dari umat Islam dan bahkan umat Islam tidak pernah memanggil warga non muslim dengan panggilan kafir.

Penyebutan kafir sebagaimana penegasan Al Quran bukan sebagai bahan hinaan tetapi sebagai pembeda identitas bagi siapa pun yang tidak menerima perintah yang dibawa oleh utusan Allah (Nabi dan Rasul). Diakui atau tidak, larangan penyebutan kafir bagi kelompok non muslim, telah menciptakan konflik dan membelah tubuh umat Islam.

Penghapusan Kata “Kafir”

Media sosial diramaikan dengan polemik pasca keputusan Bahtsul Masail di Munas NU di Kota Banjar Jawa Barat Kamis, 28 Februari 2019, yang merekomendasikan untuk tidak menyebut kafir tetapi cukup mengatakan non muslim. Argumennya, mereka adalah warga negara yang tidak memerangi umat Islam. Mereka memandang bahwa istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Sehingga setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi.

Disadari atau tidak, wacana penghilangan istilah kafir telah menguras energi antar umat Islam untuk saling menguatkan argumennya masing-masing. Dalam pandangan Islam, penyebutan “kafir” hanya untuk membedakan dengan mukmin, dan semata sebagai identitas pembeda, bukan menunjukkan adanya permusuhan atau penghinaan.

Istilah kafir menunjuk pada orang yang menutup diri dan tidak mau menerima iman, sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad saat berdakwah menyampaikan risalah kebenaran Islam kepada Abu Jahal dan Abu Lahab. Nabi menyebut keduanya sebagai kafir karena keduanya terhalang dari petunjuk karena menolak dakwah Islam.

Penyebutan kafir untuk orang non muslim sebenarnya tidak berbeda ketika orang Nasrani ketika menyebut orang yang tidak mengikuti ajaran Injil, dengan sebutan “domba tersesat” dan umat Islam tidak merasa terhina dan biasa-biasa saja atas wacana yang memang riil untuk konsumsi di kalangan internal kaum Nasrani. Dengan kata lain, istilah kafir bukan sebutan untuk menghinakan golongan yang menganut agama selain Islam tetapi disematkan pada mereka yang tidak mau menerima ajaran Islam.

Implikasi penghapusan istilah kafir ini jelas akan berimplikasi luas. Di antaranya, akan mengubah konsep yang sudah diteguhkan Al Quran yang menyebut istilah kafir ratusan kali. Bahkan Allah menurunkan surat khusus yang bernama Al Kafirun untuk menggambarkan adanya penolakan sekelompok orang Quraisy terhadap dakwah Nabi dan kemudian Nabi memutuskan untu tidak mengikuti tawaran mereka untuk berkompromi dalam peribadatan.  

Penyebutan kafir menunjukkan perilaku yang berbeda antara orang yang ingkar dan orang yang taat pada agama. Penyebutan Kafir semata untuk menunjukkan identitas bagi siapapun yang menolak kebenaran dan menghalang-halangi orang untuk menerima kebenaran.

Namun perilaku agung Nabi masih ditunjukkan kepada orang-orang yang kafir ketika tetap menolak ajarannya. Nabi mengajarkan untuk memberi perlindungan pada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin. Bahkan Nabi mengancam akan menghukum orang yang menzalimi orang kafir yang telah terikat perjanjian damai dengan umat Islam. Al Quran menjelaskan bahwa istilah kafir dilekatkan pada orang yang memiliki sejumlah perilaku, di antaranya pada orang yang meyakini keserupaan Allah dengan yang lain, seperti: 

“Sungguh telah kafir orang yang berkata bahwa Allah itu adalah Al-Masih ibnu Maryam.” (QS Al-Maidah 17)

Jadi orang yang mempertuhankan Isa Al-Masih dan atau tidak mempertuhankan Allah dalam sistem keyakinan Islam disebut kafir.

Implikasi dari upaya penggantian istilah kafir menjadi non muslim, di antaranya ada kesan umat Islam tak toleran terhadap non muslim. Dan publik tergambar di benaknya bahwa Islam selama ini sebagai ancaman sehingga harus menghilangkan istilah kafir agar Islam terlihat menyejukkan bagi kelompok non muslim. Perubahan penyebutan kafir hanyalah pengkaburan konsep dan sekadar upaya kompromi daripada untuk penyebaran kebenaran.

Dikatakan pengkaburan konsep, karena istilah kafir merupakan ketetapan Allah atas pihak-pihak yang menolak petunjuk-Nya, sekaligus sebagai pembeda atas hamba-hamba yang patuh dan taat pada ajaran yang dibawa para utusan-Nya. Namun yang terlihat justru kompromi terhadap kelompok non muslim yang justru membelah ukhuwah Islamiyah.

Realitas empirik menunjukkan bahwa kompromi yang dilakukan terhadap warga non muslim, dengan alasan sebagai strategi dakwah, justru melemahkan Islam sendiri karena mereka juga memiliki standar kebenaran yang ingin disampaikan pada orang lain yang dianggap sebagai domba yang sesat. Penghapusan penyebutan istilah kafir, seolah-olah menunjukkan Islam sebagai agama yang toleran dan egaliter, dan hal itu disambut baik oleh warga non muslim.

Namun fakta empirik justru menunjukkan adanya eskalasi keterbelahan dan konflik antar umat Islam karena memandang orang-orang yang berupaya mengganti kata kafir dianggap merendahkan agama mereka sendiri.

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment