Suaramuslim.net – Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri tentang penanganan radikalisme pada Aparatur Sipil Negara (ASN) sejak pertengahan November 2019. Ada enam menteri yang ikut di dalamnya yaitu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Komunikasi dan Informatika.
SKB juga melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Komisi Aparatur Sipil Negara.
Ada 10 jenis pelanggaran yang dimasukkan dalam SKB tersebut yaitu:
1. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
2. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antar-golongan.
3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost Instagram, dan sejenisnya).
4. Membuat pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
5. Menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.
6. Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
7. Mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
8. Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislikes, love, retweet, atau comment di media sosial.
9. Menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
10. Melakukan pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.
Wapres Ma’ruf Amin: SKB 11 Menteri Supaya ASN Tak Terpapar Radikalisme
Wakil Presiden Ma’ruf Amin tak masalah dengan penerbitan SKB 11 Menteri ini. Menurut dia, upaya tersebut adalah bentuk pengawasan, agar tidak ada ASN yang terpapar radikalisme.
“Saya kira enggak ada masalah, supaya jangan ada ASN yang terpapar. Jadi itu pengawasan juga. Jadi enggak ada masalah,” kata Ma’ruf Amin di Hotel Sahid, Jakarta, Senin (2/12).
Ma’ruf mengatakan, jika ada indikasi ASN terpapar radikalisme maka perlu tindakan preventif untuk menanganinya. Andai kata diketahui ada yang terpapar, imbuhnya, perlu adanya upaya untuk deradikalisasi.
Komisioner ASN: Latar Belakang Lahirnya SKB
Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Arie Budhiman menyampaikan, ada empat perspektif dari lahirnya SKB 11 Menteri ini. Pertama adalah tentang platform ASN, yakni prinsip dasar ASN. Hal itu diatur sesuai undang-undang terkait nilai dasar, kode etik, dan perilaku.
“Yang teratas itu memegang teguh ideologi Pancasila. Jadi ini final. Sehingga ASN harus loyal, punya komitmen tinggi memegang kode etik ini,” jelas dia.
Yang kedua adalah perspektif cara pandang preventif atau pencegahan. Latar belakang pencegahan itu haruslah bukan hal yang menjadikan reaksi berlebihan, melainkan sebagai bentuk kepedulian.
“Mari kita lihat eskalasi pertumbuhan radikalisme. Setara Institute sudah melakukan riset, ada hasilnya, meski kadarnya tadi dibilang debatable. Kalau kita lihat, setiap hari kita diserbu tsunami informasi radikalisme, di genggaman setiap ASN itu selalu ada. Mungkin bahkan ratusan ribu pesan. Kita menghadapi multiadsense, secara preventif memang harus dicegah,” jelas Arie.
Ketiga, lanjutnya, KASN sesuai fungsinya berusaha melindungi 4,2 juta ASN di seluruh Indonesia. Dengan rentang skala yang luas itu, maka diperlukan instrumen pembantu perlindungan ASN dari paham radikalisme.
Dan yang keempat, KASN sebagai penjaga netralitas pemerintah dalam menghadapi problem yang berkaitan dengan ASN.
“Jadi SKB ini cara pandang rumah tangga kami itu menjadi instrumen preventif mitigasi ideologi radikal dan juga merupakan respon pemerintah yang ingin menjaga ASN ini. ASN harus profesional. Lakukan pelayanan publik yang tidak hanya baik, tapi harus berintegritas,” ujar Arie.
BPIP: Masih Ada ASN Caci Maki Atasan di Medsos
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono menjelaskan latar belakang pemerintah menerbitkan SKB 11 menteri tersebut. Menurut Hariyono, masih ada ASN di lembaga negara yang ikut menyebarkan ujaran kebencian meski sudah diingatkan berkali-kali oleh atasannya.
“Selama ini banyak pimpinan dan atasan langsung sudah mengingatkan. Sehingga kalau melihat data dalam diskusi kami, dengan beberapa pejabat tinggi itu, sudah diingatkan pun ASN masih tidak mampu mengurangi kebiasaan (menyebarkan) ujaran kebencian,” ujar Hariyono, Senin (25/11).
Menurut Hariyono, pemerintah perlu bertindak tegas terhadap terhadap ASN yang menyebarkan ujaran kebencian dan terpapar radikalisme meski sudah berkali-kali diperingatkan.
“ASN terutama di medsos itu masih suka mengumbar ujaran kebencian, bahkan mencaci maki pimpinan maupun lembaga negara. Kan ironis. Nah inilah yang ingin kita tertibkan,” tegas Hariyono.
Kembalinya Orde Baru?
Wakil Koordinator Kontras Feri Kusuma menilai SKB ini menyerupai kebijakan di era Orde Baru. Feri mengatakan, aturan tersebut tak ubahnya dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 12 tahun 1969 tentang larangan bagi PNS ikut aktif dalam partai politik dan aspirasi politik PNS hanya disalurkan kepada Golkar.
“Ini tidak jauh berbeda dengan era orde baru. Di era orde baru pernah ada peraturan Mendagri 1969 itu yang memberikan larangan bagi ASN untuk tidak memilih partai politik di luar Golongan Karya pada masa itu,” ujar Feri di Kantor Imparsial, Jakarta, Senin (2/12).
Feri menilai 11 poin dalam peraturan tersebut memiliki motivasi yang mengarah pada proteksi ASN supaya tidak melontarkan ujaran kebencian kepada pemerintah. Kendati demikian, Feri mempertanyakan keberadaan nomenklatur pemerintah dalam peraturan tersebut.
“Nomenklatur pemerintah menyejajarkan diri dengan UUD 1945, Pancasila NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Padahal ini kan entitas yang berbeda,” katanya.
Feri menduga, aturan tersebut sebagai alat kontrol pemerintah terhadap ASN agar tidak melakukan kritik. Di sisi lain, ia khawatir peraturan tersebut akan menimbulkan penggunaan kekuasaan terhadap ASN yang cukup vokal.
“Potensi menyerupai Permendagri 1969 itu sangat besar. Jadi misalnya ketika ada kebijakan yang bertentangan, dan ASN itu mengkritisi, bisa juga kemudian ditafsirkan sebagai ujaran kebencian,” katanya.
Senada dengan Kontras, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai SKB tidak akan memangkas radikalisme. Sebaliknya, adanya SKB ini seolah justru mengembalikan Indonesia pada era prareformasi.
Menurut Usman, aturan yang dimuat dalam SKB bersifat samar. Aturan itu juga tidak memiliki dasar yang kuat dan terlalu luas.
Sebagai contoh, ASN dilarang memberikan “like” pada unggahan media sosial bermuatan ujaran kebencian terhadap semboyan bangsa, tapi tidak ada definisi mengenai ujaran kebencian.
“Larangan ini tak ada hubungannya dengan keamanan nasional, ketertiban umum, atau kesehatan masyarakat,” ujar Usman.
Oleh karena itu, menurut Usman, SKB ini harus direvisi, disesuaikan dengan standar internasional dan konstitusi yang berlaku di Indonesia. Untuk memastikan agar kebebasan berekspresi tetap terjamin.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun ikut mengkritik SKB ini. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyebut di pengaturan soal apa yang disebut melanggar di posisi angka satu, dikatakan bahwa tidak boleh mengkritik pemerintah. Itu sebenarnya tidak bisa.
Anam berpandangan, langkah tersebut justru akan bertentangan dengan tujuan memberantas kebencian berbasis SARA. Sebab, menurut dia, memberantas kebencian dilakukan dengan membangun toleransi. Dengan begitu, kemungkinan bibit radikalisme berkembang juga bisa ditekan.
Namun sebaliknya, jika langkah yang ditempuh adalah dengan memerangi radikalisme, menurut Anam, intoleransi justru menguat. Sebab, kecurigaan atau prasangka buruk orang akan meningkat sehingga dengan mudah mencurigai seseorang.
“Kalau kita memerangi radikalisme, belum tentu ruang intoleransi semakin sedikit, yang ada adalah ruang intoleransi semakin lebar, orang semakin prejudice, orang gampang menstigma, dan sebagainya,” tutur dia.
Sementara itu, Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti berpendapat bahwa pembentukan SKB 11 Menteri tidak produktif.
“SKB ini menurut saya tidak perlu-perlu amat. Pertama kan yang diatur sebenarnya sudah diatur. Jangankan kepada bangsa dan negara, ujaran kebencian kepada siapa pun oleh siapa pun itu tidak boleh. Hoaks tidak boleh. Termasuk mendukung gerakan yang tidak sesuai undang-undang dan Pancasila juga tidak boleh,” ucap Ray.
Dia menyebut, SKB 11 Menteri hanya akan tumpang tindih dengan aturan yang berlaku dalam undang-undang ASN. Terlebih, jika KASN masuk menjadi bagian SKB 11 Menteri, dikhawatirkan malah jauh dari niat melindungi.
“Kalau ada orang menyerukan, mengadukan, ada tindakan ASN yang tidak patuh dan diperiksa, pertanyaannya siapa yang membela ASN itu atau bagaimana kalau aduannya tidak tepat. Justru menurut saya KASN ini harusnya ada di luar SKB itu,” terangnya.
Ray mengambil contoh, jika ASN lalai dalam pelayanan publik, ini bukan hal yang bisa dilaporkan sebagai tindak pidana. Justru di sini KASN yang berperan karena memang menangani masalah kode etik.
“Kalau terkait ujaran kebencian, pandangan, sikap yang dianggap tidak netral, bagaimana mengatasi ini ya lagi-lagi adukan ke KASN,” sebut Ray.
Jika tetap KASN masuk ke SKB 11 Menteri, lanjutnya, dikhawatirkan independensi terhadap ASN dan pemerintah akan rusak. Apalagi disalahgunakan menindak ASN dengan masalah ujaran kebencian terhadap pemerintah, yang sejauh ini maknanya sendiri tidak tetap alias karet. Dia mengingatkan bahwa model ASN saat ini berbeda dengan zaman Orde Baru.
“Kalau ada ASN melanggar Pancasila, UUD 1945, yang semacam itu, langsung saja bawa ke polisi, buat apa ke SKB. Kalau melanggar etik, bawa ke KASN. Yang saya khawatirkan itu malah diutamakan soal ujaran kebencian kepada pemerintah saja. Dikasuskan, dipanggil polisi bolak balik, kasusnya sih mungkin dibiarkan saja, tapi dipanggil polisi saja sudah mengerikan,” Ray menandaskan.
Berikutnya, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai SKB berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi Aparat Sipil Negara dan pekerja di sektor pemerintah. Dia menegaskan, kebebasan berpendapat dan berekpresi bagi setiap Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Isnur mengatakan SKB ini tidak memiliki indikator dan definisi yang jelas, sangat rentan menjadi ajang fitnah dan bisa menyasar terhadap ASN yang kritis terhadap instansi dan pemerintahan secara umum.
Dia menjelaskan definisi cakupan radikalisme. Salah satunya adalah intoleransi. Menurut dia, intoleran dan radikalisme berbeda. Selain itu, kategori kebencian juga tak terukur. Sama halnya dengan ujaran Kebencian terhadap Pancasila, bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
“Pemerintah tidak jelas batasan dan indikatornya. Tidak jelasnya rumusan ini sangat berpotensial menjadi “karet” dan juga menjadi salah penanganan,” kata dia.
Dia menjelaskan, kata “mengarah” jelas sangat kabur dan tidak jelas pengaturan, sehingga akan menjadi ketentuan karet yang mudah disalahgunakan.
Dia juga melihat SKB itu tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Isnur hanya bisa menemukan UU Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaaan dan UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara serta sejumlah aturan turunannya.
Namun, dia menambahkan, tidak ada dasar dan payung hukum tentang definisi radikalisme dan intoleran yang konkret.
Kita khawatir, melalui SKB ini akan menghancurkan semangat negara hukum dan penghormatan serta perlindungan HAM yang merupakan semangat yang dibangun dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pelanggaran terkait radikalisme dalam lingkup ASN tumpang tindih dengan aturan perundangan yang ada. Misalnya Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah tentang Disiplin PNS atau ASN dan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sebaiknya, pemerintah melakukan penguatan pada kinerja intelijen. Cukup dengan penguatan intelijen, dan penguatan aparat keamanan. Sebagai masyarakat, kita ingin setiap peraturan yang lahir itu menyejukkan dan bisa menjaga kondusifitas, tidak kemudian mengundang kontroversi apalagi di masyarakat.
Apakah, Jokowi semakin jauh dari cita-cita Reformasi yang digaungkannya sendiri?