Suaramuslim.net – Pada 2006, majalah Time menobatkan “you” sebagai tokoh terpilih. You, alias Anda, tidak lain sesiapa saja yang memberikan kontribusi secara anonim untuk pelbagai laman daring semisal Wikipedia, YouTube, Facebook, MySpace, dan lain sebagainya. Untuk mewakili sang “tokoh”, majalah tersebut menampilkan komputer dengan layar yang menangkap pose wajah kita selaku pembacanya.
Time, apa pun komentar kritikus atas pemilihan 12 tahun lampau tersebut, jeli melihat realita yang justru kini menemukan peruahannya. Orang berduyun-duyun ingin tampil dan menampilkan diri. Ekspos diri melalui dunia maya, khususnya kanal media sosial, sudah jadi keseharian dan ajang memantaskan diri. Kadang juga mementaskan diri selain juga ingin mengais banyak keuntungan. Tidak hanya mereka yang masih labil secara emosi, orang-orang dewasa yang mestinya bijak bestari bersikap pun bisa takluk bila berurusan dengan unjuk diri lewat ranah maya.
Media sosial satu pesona yang di situlah cermin kita tampil bukan apa adanya, melainkan ada maunya. Dan para pejabat negeri ini bersama para politikus, tidak mau tertinggal. Khusus yang memegang posisi, eksistensi diri justru dibarometeri dengan unjuk diri di cermin digital.
You, sebagaimana diapresiasi Time, sayangnya menunjukkan banalitas atau kedangkalan di negeri ini. Betapa jejak-jejak digital tak lagi mengindahkan akurasi informasi. Tapi di situlah tabiat temuan canggih manusia. Alih-alih untuk jujur dan apa adanya, kecenderungan untuk memoles dan menipu menyeruak. Kalau sekadar untuk mengelabui sekadar demi meraih jutaan likers atau komentator, itu soal yang bisa ditepikan. Namun, bagaimana bila pelakunya pejabat negeri yang harusnya berikan keteladanan dan kebijakan efektif?
Bukan kali pertama media asing memberitakan gempita anak negeri ini berpose di tengah bencana. Dan ini sejatinya bukan milik eksklusif rakyat di sini. Entah mengapa, bersama hadirnya empat banyak warga, selalu ada yang hanya memburu pose. Repotnya, bila itu diteladankan pejabat. Alih-alih segera mengatasi bencana, yang ada malah menebarkan pose-pose kepedulian yang hanya semu bahkan sarat dusta.
Rekayasa dan teknik pencitraan politik di tengah musibah memang keterlaluan. Sukar dinalar adanya dalam kacamata nurani. Tapi nyatanya ada dan terus eksis. Sebab, ada yang memetiknya sebagai senjata politik. Alat legitimasi mempertahankan kekuasaan. Tsunami memakan korban jiwa ratusan cukup direspon dengan aksi pose yang hanya laris bagi ratusan jutaan pemberi jempol di media sosial. Bagi korban apa maknanya?
Ada benarnya kritik di The Atlantic atas putusan Time, bahwa majalah legendaris itu hanya menyokong kedustaan di balik budaya populer. Orang ingin eksis dan kontributif dengan sematan bagus-bagus, namun sejatinya ingin hadirkan ke-aku-an. Tanpa peduli bagaimana imbasnya. Maka, sungguh celaka negeri ini bila para pejabat tinggi getol mempertontonkan perilaku becermin. Dari aksi kepedulian yang tak perlu ekspos hingga kegagahan yang dibuat-buat. Atau sekadar ingin hadir di lokasi bencana tapi miskin aksi empati yang nyata. Yang ada: idaman limpahan suara bagi saya dan singgasana.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net