Pro Kontra Vaksin Measles Rubella

Pro Kontra Vaksin Measles Rubella

Pro Kontra Vaksin Measles Rubella
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Dr Kohar Hari Santoso (sebelah kiri), dan Sekretaris MUI Jawa Timur, Ust Muhammad Yunus M.Pd.I (kanan) bersama announcer Suara Muslim Surabaya setelah siaran Ranah Publik (24/8/18).

Suaramuslim.net – Teka-teki status halal-haram vaksin measles rubella (MR) terjawab sudah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya menyebut vaksin yang diproduksi Serum Institute of India (SII) mengandung babi (21/8/18). Akan tetapi bukan berarti vaksin MR tak boleh dipergunakan. Karena bersamaan justitikasi, MUI turut merilis fatwa mubah terhadap vaksin ‘penawar’ campak dan rubella ini (21/8/18). Maka tak heran, saat kehalalan vaksin dipertanyakan, penolakan penggunaan vaksin marak terjadi di sejumlah wilayah.

Sebelumnya, ada prosedur soal halal yang luput dilakukan Kementerian Kesehatan dalam proses sertifikasi halal vaksin campak dan rubella, sehingga beredar pernyataan dari banyak pihak, termasuk mereka yang bergelar dokter, bahwa MUI sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap vaksin MR.

Hal ini dibantah oleh Sekretaris MUI Jawa Timur Ust Muhammad Yunus M.Pd.I dalam Talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (24/8/18) yang mengatakan pernyataan itu adalah sebuah kebohongan publik mengatasnamakan MUI. Menurut Yunus hal itu sangat merugikan nama baik MUI serta melanggar Undang Undang Jaminan Produk Halal.

“Soal Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang imunisasi, itu dorongan dan ajaran Islam untuk senantiasa menjaga kesehatan namun tentu dengan vaksin yang halal dan suci”, ujar Yunus.

Kehalalan Vaksin Oleh MUI

Senin malam (20/08/18) MUI menetapkan penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya hukumnya haram, karena dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi, tetapi boleh digunakan.

“Alasan MUI menetapkan vaksin MR masih boleh digunakan karena ada kondisi keterpaksaan atau darurat syar’iyyah, merujuk pada fatwa terbaru Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR dari Serum Institute of India (SII) untuk imunisasi. vaksin MR mengandung unsur haram tapi saat ini boleh digunakan.” Ucap Yunus.

Yunus mengatakan ada tiga negara yang memproduksi vaksin MR di dunia, yakni Jepang, Cina dan India. Vaksin produksi Jepang hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sementara, produksi vaksin dari Cina belum lolos uji keamanan, sehingga tidak direkomendasikan. Adapun produksi vaksin MR dari India sudah digunakan oleh 150 negara di dunia dan mendapat legalitas dari organisasi kesehatan dunia (WHO).

“Vaksin boleh digunakan karena ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal. Namun, kebolehan penggunaan vaksin MR itu tidak berlaku jika ditemukan ada vaksin yang halal dan suci, namun hingga saat ini vaksin itu belum ditemukan”, jelas Yunus.

Yunus menyebut pihaknya menerima penjelasan dari Ikatan Dokter Anak, biofarma, dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) jika imunisasi tidak dilakukan maka akan terjadi wabah, karena Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah penderita campak terburuk kedua di dunia setelah India. Setiap tahun, rata-rata 2.700-2.800 anak terjangkit penyakit itu.

“Dan untuk membuat serum baru yang halal membutuhkan waktu yang tidak singkat, sekitar 10 hingga 15 tahun. Membutuhkan penelitian lebih lanjut, jika ada perubahan dari unsur yang sudah dibuat barangkali jaminan keamanan dan khasiat tidak seperti semula”, terang Yunus.

Meski fatwa mubah sudah dikeluarkan, hingga saat ini masih ada masyarakat yang menolak melakukan vaksin. Yunus menyebut jika Kemenkes beralasan saat ini Indonesia mengalami darurat untuk segera melakukan vaksin, maka MUI pun membutuhkan jawaban.

“Untuk menjawab kepada masyarakat seberapa darurat urgensinya, misalnya tidak divaksin sekarang maka akan meninggal besok, ini yang masih kita tunggu”, pungkas Yunus.

Antara Penyakit dan Imunisasi

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dr. Kohar Hari Santoso dalam talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm menjelaskan, beberapa hal perlu diperhatikan tentang penyakit MR agar kenal dengan seksama.

Bahkan di masyarakat kita kenal dengan istilah “kalo belum gabaken belum tuntas” seolah itu hal yang wajib hukumnya untuk sakit gabak, tetapi masalahnya  penyakit itu bukan hal yang sederhana, ada penyulit yang memberikan dampak lebih jauh bahkan komplikasinya berisiko sampai tingkat fatal di antaranya: diare, bronkomunia atau infeksi saluran paru  dan saluran nafas, hingga memberikan pengaruh mal nutrisi sehingga penyerapan zakat makanan terganggu.

“Oleh karena secara individual kita musti perhatikan betul, yang terkena pada kondisi imunitas yang cukup insya Allah tidak terjadi penyulit namun sebaliknya”, terang dr Kohar.

Mulai 2016 ada peningkatan terjangkit virus, oleh karenanya pemerintah berinisiatif melakukan imunasi secara massal dengan nama campaign imunisasion for measles rubella. Hal ini dilakukan karena angkanya begitu tinggi dan kuatir menyebar sehingga sulit ditangani bahkan hingga meninggal dunia.

Lanjut dr. Kohar penyakit satunya rubella yang dapat menyebabkan kelainan bawaan terutama saat menyerang pada trimester pertama kehamilan bisa menyebabkan kualitas masyarakat Indonesia menurun.

Kohar menyebut imunisasi adalah memasukkan virus yang sudah dilemahkan untuk membangkitkan imunitas tubuh manusia.

“Saya nggak usah imunisasi tetapi makan yang teratur kan bisa juga sehat. Pernyataan ini diibaratkan suatu negara yang tidak ada sistem keamanan yang sistematis seperti Korem, Kodim, Koramil, cuma masyarakatnya saja dilatih bela diri agar kuat. Kalau tiba-tiba musuh masuk ya ini yang disuruh perang. Tetapi kan tetap tidak ada sistematikanya, kalau tentara itu sudah terlatih, mereka bekerja dengan sistem one command and unity, maka kemungkinan menangnya ya tentara.” Tutur dr. Kohar.

Secara teori bagi yang sudah melakukan imunisasi 100 persen akan terlindungi dari MR, namun terkadang ada seseorang yang imunitasnya tidak tumbuh secara seksama.

“Jadi respon imun terhadap imunisasi mungkin bisa beragam, tetapi tidak akan fatal”, ungkapnya.

Yang menjadi perdebatan hingga saat ini adalah proses pembuatan vaksin MR karena mengandung salah satunya dari unsur babi, namun masyarakat jangan salah tangkap, dalam proses pembuatan vaksin ada templat kromosom yang dipakai untuk memicu terbentuknya sistem anti gain.

“Jadi, zat babi dalam MR bukan daging babi yang dicuil kemudian dicampurkan dalam vaksin, kemudian disuntikkan”, terang Kohar.

Harapan Vaksin Halal

Dr. Kohar menjelaskan, untuk membuat vaksin bukan waktu yang sederhana, membutuhkan waktu sekitar setahun, karena ada templatenya, framingnya yang dibuat. Jika media yang ditumbuhkan tidak bisa maka harus diulang serta diperbaiki supaya menghasilkan kualitas yang paling bagus dan bisa menimbulkan anti bodi yang kompeten untuk menampik penyakit.

Di sisi lain penyakit pun terus berkembang, berubah dan bermutasi, sehingga harus diikuti dengan kegiatan secara ilmiah, tapi secara umum dan kepentingan masyarakat luas maka harus disampaikan secara utuh, perlu ada penekanan sehingga sikap umat muslim jangan sampai terugikan.

“Karena pemahaman yang pendek pokoknya tidak ikut imunisasi maka kita sendiri yang rugi. Ketika ada kelompok masyarakat yang tidak terimunisasi berarti ada media penyakit yang tumbuh disana dan menjadi potensi menyebar pada kelompok lain, itu yang mesti kita simak bersama.” Jelas Kohar.

“Ini menjadi tantangan bagi para cendikiawan muslim untuk bergerak dan bangkit bekerjasama dengan LPPOM MUI membuat vaksin yang bebas dari unsur babi, karena sepertiga vaksin dunia diproduksi di Indonesia,” tutup dr. Kohar.

Sementara itu, Sekretaris MUI Jatim Ust Yunus menambahkan, keresahan masyarakat mengenai ada unsur yang tidak halal di dalam pembuatan vaksin perlu ditanggapi serius oleh negara. Negara harus terus mengupayakan bagaimana caranya agar vaksin bisa halal mulai dari bahan-bahannya, proses hingga hasil akhirnya.

Semoga ikhtiar imunisasi bisa menjauhkan anak-anak kita dari bahaya penyakit yang mengancam di masa depan, tutup Yunus.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment